Suasana Gedung Mahkamah Agung di Jalan Medan Merdeka Utara, Gambir, Jakarta Pusat, Jumat (12/1). | Republika/Putra M. Akbar

Nasional

Denda Putusan MA Mencapai Rp 5,6 Triliun

Jumlah pidana denda dan uang pengganti putusan MA mencapai Rp 5,6 triliun sepanjang 2020

JAKARTA — Ketua Mahkamah Agung (MA) Muhammad Syarifuddin melaporkan jumlah pidana denda dan uang pengganti dari putusan MA yang berkekuatan hukum tetap mencapai Rp 5,6 triliun sepanjang 2020. Ia mengatakan, denda dan uang ganti itu, di antaranya dari perkara pelanggaran lalu lintas, tindak pidana korupsi, narkotika, kehutanan, perlindungan anak, perikanan, dan pencucian uang. 

Syarifuddin menyebut, jumlah denda dan uang pengganti berdasarkan putusan pengadilan tingkat pertama yang berkekuatan hukum tetap di lingkungan peradilan umum dan peradilan militer lebih besar, yakni sebesar Rp 52,85 triliun. Selain itu, kontribusi dari penarikan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2019 tentang Jenis dan Tarif Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berlaku di Mahkamah Agung dan badan peradilan pada 2020 sebesar Rp 71,7 miliar.

Untuk realisasi anggaran MA pada 2020 sebesar Rp 9,4 triliun dari pagu sebesar Rp 9,85 triliun atau 95,45 persen. "Mahkamah Agung telah menerapkan secara penuh sistem pelaporan keuangan berbasis akrual sejak 2015," ujar Syarifuddin dalam Sidang Istimewa Laporan Tahunan Mahkamah Agung RI Tahun 2020 secara daring, di Jakarta, Rabu (17/2).

Secara keseluruhan, pada 2020, Mahkamah Agung memutus sebanyak 20.562 dari total beban perkara sebanyak 20.761 perkara. Dari jumlah beban tersebut, Mahkamah Agung berhasil memutus 20.562 perkara dan sisa perkara tahun 2020 sebanyak 199 perkara.

Sisa perkara tersebut tercatat sebagai sisa perkara terendah sepanjang sejarah berdirinya MA sehingga rasio produktivitas memutus MA pada 2020 sebesar 99,04 persen. 

Syarifuddin menambahkan, penanganan perkara pada masa pandemi Covid-19 membuat MA mengambil langkah cepat berinovasi dalam sistem peradilan, yakni mengubah mekanisme persidangan konvensional menjadi elektronik. Proses migrasi dari sistem peradilan konvensional ke elektronik terjadi pada 2021-2025.

Sementara, Presiden Joko Widodo mengingatkan, akselerasi penggunaan teknologi bukan tujuan akhir. Menurut dia, percepatan penggunaan teknologi merupakan pintu masuk transformasi yang lebih luas dan besar dalam penyelenggaraan peradilan untuk mempercepat terwujudnya peradilan modern.

Jokowi pun mengapresiasi upaya yang telah dilakukan Mahkamah Agung untuk memperluas implementasi e-Court dan e-Litigation pada perkara-perkara pidana, pidana militer, dan jinayah, serta peningkatan versi direktori putusan. "Saya juga gembira karena penyelesaian perkara melalui aplikasi e-Court mendapatkan respons yang sangat baik dari masyarakat pencari keadilan," ujarnya.

Jika dibandingkan pada 2019, jumlah perkara yang didaftarkan melalui e-Court pada 2020 ini meningkat 295 persen dan 8.560 perkara telah disidangkan secara e-Litigation. Jokowi menilai, upaya reformasi peradilan melalui penerapan sistem peradilan yang modern menjadi keharusan.

Mahkamah Agung dinilai mewujudkan kepastian hukum bagi masyarakat, pelaku usaha, dan investor melalui keputusan yang mengurangi disparitas pemidanaan. "Dengan kinerja dan reputasi yang makin baik, Mahkamah Agung dapat menghasilkan putusan-putusan landmark decisions dalam menggali nilai-nilai dan rasa keadilan masyarakat sehingga lembaga peradilan menjadi lembaga yang makin tepercaya," ujar Presiden.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat