Warga mwncoba terhubung ke media sosial. (ilustrasi) | EPA

Tajuk

Merevisi UU ITE

Jika memang serius merevisi UU ITE, segeralah melakukan langkah-langkah ke arah itu.

Wacana revisi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) mengemuka. Presiden Jokowi membuka wacana itu dalam rapat pimpinan TNI-Polri di Istana Negara, Senin (15/2).

Revisi dilakukan, terutama menghapus pasal-pasal karet yang penafsirannya bisa berbeda-beda. Yang mudah diinterpretasikan secara sepihak. Jokowi juga meminta kepolisian membuat pedoman interpretasi resmi terhadap pasal-pasal dalam UU ITE. Presiden akan meminta kepada DPR untuk bersama-sama merevisi UU ini.

Dua menteri di kabinet mendukung pernyataan Presiden Joko Widodo, yang membuka kemungkinan revisi RUU ITE. Menko Polhukam, Mahfud MD menyatakan, pemerintah akan mendiskusikan inisiatif untuk merevisi UU ITE. Sedangkan Menteri Komunikasi dan Informatika, Johnny Gerard Plate mengatakan, jika dalam perjalanannya UU ITE tidak dapat memberikan rasa keadilan, kemungkinan terbuka direvisi.

 
UU ITE sudah menjelma menjadi pasal karet, yang bisa dikenai kepada siapa saja.
 
 

Ini tentu kabar gembira. Semoga bukan isapan jempol atau basa-basi. UU ITE sudah menjelma menjadi pasal karet, yang bisa dikenai kepada siapa saja. Bahkan, dalam hal yang remeh-temeh. Pasal-pasal UU ITE yang ditafsirkan secara berbeda juga berpotensi untuk membungkam kemerdekaan mengeluarkan pendapat. Hal yang sebenarnya dijamin oleh konstitusi.

Pasal-pasal yang kerap dipersoalkan dalam UU ITE, khususnya Pasal 27 ayat (3) dan Pasal 28 ayat (2). Pasal 27 ayat (3) mengatur tentang defamasi alias pencemaran nama baik. Pasal ini dinilai berpotensi digunakan untuk represi ekspresi legal warga, aktivis, dan jurnalis. Serta rentan untuk represi warga yang mengkritik polisi, pemerintahan, dan presiden.

Sementara itu, Pasal 28 Ayat (2) mengatur tentang ujaran kebencian. Pasal ini dinilai dapat disalahgunakan menjadi alat represi kepada minoritas agama, termasuk juga warga yang mengkritik presiden, polisi, atau pemerintah.

Sudah banyak yang menjadi korban akibat penafsiran yang berbeda dari pasal-pasal itu.  Bahkan, ada kecenderungan saat ini orang menjadi lebih mudah dilaporkan ke polisi dengan tuduhan melanggar UU ITE.  

 Jaringan Kebebasan Berekspresi Asia Tenggara (SAFEnet) mendata, ada 287 kasus yang terkait kebebasan berekspresi daring dalam UU ITE. Lonjakan kasus tercatat selepas Presiden Jokowi menjabat.

Perinciannya, tiga kasus pada 2008, satu kasus (2009), dua kasus (2010), tiga kasus (2011), dan tujuh kasus (2017). Pembatasan ekspresi dengan UU ITE melonjak pada 2013 menjadi 20 kasus dan 36 kasus pada tahun berikutnya. Kasus itu menurun pada 2015 menjadi 30 kasus.

 
Jika pemerintah memang serius akan merevisi UU ITE, segeralah melakukan langkah-langkah ke arah itu.
 
 

Lonjakan tertinggi terjadi pada 2016, yakni mencapai 83 kasus. Pada tahun itu, bersamaan dengan judicial review UU ITE ke Mahkamah Konstitusi oleh politikus Golkar Setya Novanto dan politikus Gerindra Habiburahman. Pada 2017 hingga 2019, pembatasan ekspresi dengan UU ITE mengalami penurunan kasus menjadi 53 kasus (2017), 25 kasus (2018), dan 24 kasus (2019).

Kita menginginkan kehidupan demokrasi yang lebih sehat. Ini antara lain ditandai dengan terjaminnya kebebasan menyampaikan pendapat, termasuk melalui saluran elektronik. Namun, kita juga menghendaki penyampaian pendapat dilakukan secara sehat, termasuk cara menanggapi pendapat yang disampaikan.

Rambu-rambu dalam menyampaikan pendapat secara daring sangat perlu. Tapi, jangan sampai aturan tersebut justru berpotensi membuat masyarakat menjadi terhambat, bahkan takut untuk menyampaikan pendapatnya. Di sinilah pentingnya mengapa UU ITE perlu direvisi. Perlu aturan yang lebih sehat yang menjadi rambu-rambu dalam mengemukakan pendapat, bukan aturan yang memberangus kebebasan bersuara.

Jika pemerintah memang serius akan merevisi UU ITE, segeralah melakukan langkah-langkah ke arah itu. Kecuali bila memang rencana itu sekadar basa-basi.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat