Priyantono Oemar | Daan Yahya | Republika

Kisah Dalam Negeri

Pers dan Bahasa Indonesia

Kini, ketika media daring marak, pengaruh bahasa lisan di media daring sudah sampai taraf mengganggu.

OLEH PRIYANTONO OEMAR

Di Kongres Bahasa Indonesia Kedua (1952) ada pembahasan bahasa dan media. Bahkan, menampilkan empat pemakalah: Inu Perbantarasi membahas Bahasa Indonesia dalam Film, T Sjahril (Ketua PWI) dan Adinegoro yang masing-masing membawakan makalah dengan tema Fungsi Bahasa Indonesia dalam Pers, dan Kamarsyah yang menyampaikan makalah Bahasa Indonesia dalam Penyiaran Radio.

Saat itu, media masih masih menggunakan bahasa Indonesia yang didasari dari bahasa Melayu pasar, yang sama sekali berbeda dengan bahasa yang digunakan Balai Pustaka. Kongres kemudian memutuskan penertiban bahasa Indonesia berdasarkan ejaan van Ophuysien yang disusun awal tahun 1900 untuk kepentingan pengembangan bahasa Melayu tinggi, bukan untuk bahasa Indonesia.

Di Kongres Bahasa Indonesia Pertama (1938) juga ada tema pembahasan bahasa dan media. Namun, hanya satu orang pemakalah, yaitu Adinegoro, membawakan tema Bahasa Indonesia dalam Persuratkabaran. Kongres ini digelar juga berangkat dari keprihatinan buruknya penggunaan bahasa Indonesia di koran-koran, terutama koran-koran Cina-Melayu.

M Tabrani selaku pencetus penamaan bahasa Indonesia --sewaktu menjadi pemimpin redaksi Hindia Baroepada 1926-- malah menyampaikan makalah Bahasa dan Politik kendati ia adalah pemimpin redaksi Pemandangan saat kongres bahasa itu diadakan. Di Pemandangan ada rubrik Podjok yang diasuh redaktur Anwar Tjokroaminoto, yang sekali-sekali membahas perkembangan bahasa Indonesia.

Dalam upayanya mendukung pengembangan bahasa Indonesia, pers juga terlihat berupaya memperbaiki diri meski yang dipakai tetap bahasa Indonesia semiformal. Ketika Pemandangan masih menggunakan kata-kata Belanda di sana-sini, kritik dari pembaca pun muncu

 
l.Seorang pembaca mengkritik penggunaan directeur, hooftredacteur, directeur-hooftredacteur, plaatsvervangend hooftredacteur, eerste redacteur, dan lain-lain di daftar susunan manajemen-redaksi, pada 12 April 1940.
 
 

 

Seorang pembaca mengkritik penggunaan directeur, hooftredacteur, directeur-hooftredacteur, plaatsvervangend hooftredacteur, eerste redacteur, dan lain-lain di daftar susunan manajemen-redaksi, pada 12 April 1940. "Lho kok Bang Bedjat jang disalahin. Bang Bedjat sendiri sebetoelnja soedah tjari2, tapi dasar boekan ahli bahasa, helaas kaga' bisa dapat," jawab Bang Bedjat, nama samaran Anwar di rubrik Podjok.

Jawaban Bang Bedjat pun menjadi persoalan bahasa karena menampilkan bahasa lisan dalam bahasa tulisan --hal yang masih menjadi persoalan hingga kini. Pada 1974, Goenawan Mohammad pernah mengulas banyaknya koran yang gagap menyalin bahasa lisan ke bahasa tulis di media massa.

Tentang kritik pembaca itu, Bang Bedjat lantas mencoba mencari padanannya dalam bahasa Indonesia, semampu dia. Directeur sama dengan ketoea oesaha. Hooftredacteur sama dengan ketoea sidang pengarang... Tetapi bisa disingkat. Nama ketoea sidang pengarang dirobah djadi ketoea warta. Djadi directeur-hooftredacteur moesti bernama: Ketoea Oesaha Warta.

Di kali lain, Bang Bedjat mempersoalkan tiadanya penghargaan kepada bahasa Indonesia karena banyak orang menggunakan bahasa gado-gado:

Zeg, jij soedah nonton. Nanti eten bij ons adje deh.

Djawabnja: Olreeet.

Ketika Bang Bedjat menampilkan contoh lain, ia menyampaikannya dengan bahasa gado-gado juga:

Ada lagi segolongan jang mishandelen bahasa kita begini: Kowe toch soedah taoe, godverdomme, maar.... Kowe bandel! .....ensepoer2.

Ia juga menyebut, contoh lucu yang dilakukan orang Jawa. La, tadi itoe to, rak soedah saja kasi. Koq beloem diapa-apa'no. Itoe gimana to!

Kalau Bang Bedjat denger begitoe lantas djawab: Wah, la wong ik niet wat-wat koq dizoodoen-zoodoen.

Ada contoh yang disebutkan Goenawan Mohammad dari koran terbitan 1974, terkait bahasa lisan, seperti yang diulas Bang Bedjat:

Ah, saya sih paling nggak demen deh, denger gossip! Apalagi nggosipin orang. Saya orangnya acuhan saja...Boleh mereka khaki ama saya, tapi pokoknya tuh yang di atas aja deh, yang tahu, kata Ida Royani sambil menunjuk ke atas -ke langit.

"Kalangan pers Indonesia hingga kini belum bersepakat tentang sejauh mana bahasa pers Indonesia dapat merepresentasikan bahasa lisan yang umumnya memperoleh 'warna lokal' itu. Jika nggak telah masuk begitu saja ke dalam bahasa pers Indonesia, bagaimana dengan kata ndak yang di Jawa tengah lazim dipakai dalam percakapan berbahasa Indonesia?" kata Goenawan Mohammad setelah mencermati ragam bahasa lisan dalam pers Indonesia di acara Praseminar Politik Bahasa Nasional, Oktober 1974.

Penulisan kutipan seperti contoh yang disebut Goenawan, di masa lalu belum biasa digunakan. Wartawan di masa Hindia Belanda mengambil kalimat sumber berita menjadi kalimat tak langsung. Sehingga, sangat jarang menampilkan kutipan dari narasumber.

Di era 1950-an, penulisan kutipan sudah semakin banyak, terlebih buku-buku tentang penulisan berita yang mengajarkan soal itu juga sudah beredar luas.

Yang menjadi persoalan kemudian adalah cara penulisan untuk menjelaskan narasumbernya. Narasumber itu sedang berkata, sedang berujar, sedang menegaskan, sedang menampik, menjadi persoalan tersendiri ketika harus ditulis formal, baku sesuai kaidah bahasa, atau semiformal, seperti yang lazim dalam penggunaan bahasa jurnalistik.

"...," ujar dia menerangkan. "....," kata dia menegaskan. Menerangkan apa? Menegaskan apa? Tentu yang dimaksud adalah kalimat yang dikutip itu menegaskan sesuatu atau menerangkan sesuatu. Namun, jika "menerangkan" atau "menegaskan" dibuang karena keterbatasan kolom koran, tentu tak akan mengurangi makna dari "kata dia", "ujar dia".

Oleh karena itu, di kelas-kelas mata kuliah Bahasa Jurnalistik sejak 1980-an ada permakluman melanggar kaidah bahasa Indonesia demi menampilkan variasi. Hal itu dilakukan agar dari awal berita hingga akhir berita, tidak tertulis "ujar dia" atau "kata dia" melulu.

Maka, muncullah hal-hal yang tak sesuai kaidah bahasa Indonesa, tetapi diterima karena kesemiformalan bahasa jurnalistik, seperti: "....," tegas dia. "....," tampik ibu beranak dua itu ".....," tandas guru besar itu. "....," sergah mahasiswa pendiam itu.

Masalah yang muncul kemudian, banyak wartawan tak memahami makna kata. Sehingga, suatu saat muncul: "Bapak sudah pergi ke bandara tadi pagi," cetus penjaga rumah itu. Apa makna cetus? Tidak cocok dengan isi kalimat kutipannya.

Kini, ketika media daring marak, pengaruh bahasa lisan di media daring sudah sampai taraf mengganggu. Selamat Hari Pers Nasional, 9 Fabruari 2021.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat