Seorang Ibu merawat anaknya Muhammad Jumadil Ardiansyah (9) yang didiagnosa menderita gizi buruk di rumahnya di Tungkal Ilir, Tanjungjabung Barat, Jambi, Sabtu (27/6/2020). Data Dinas Kesehatan Provinsi Jambi tahun 2020 menyebutkan hingga April tahun ini | ANTARA FOTO/Wahdi Septiawan

Dialektika

Buruk Gizi di Masa Pandemi

Di masa pandemi, permasalahan gizi buruk diduga kuat meningkat.

OLEH YUSUF WIBISONO, Direktur IDEAS; ASKAR MUHAMMAD, Peneliti IDEAS; FAJRI AZHARI, Peneliti IDEAS

Pandemi telah menciptakan krisis kesehatan dengan kecepatan penularan virus dan banyaknya orang yang terinfeksi sehingga menumbangkan sistem kesehatan nasional dan korban jiwa yang besar. Namun selain krisis kesehatan terkait Covid-19, pandemi juga menimbulkan krisis kesehatan lain yang implikasinya berpotensi meledak di masa depan: memburuknya asupan gizi masyarakat di satu sisi serta terhentinya berbagai layanan kesehatan esensial di sisi lainnya.

Krisis ekonomi dari pandemi ini tidak hanya mengganggu rantai pasok produksi, tapi juga sekaligus menekan konsumsi dan permintaan agregat. Pengangguran dan kemiskinan melonjak drastis, menambah dalam permasalahan kemiskinan hingga mengancam hak warga negara yang paling mendasar: akses terhadap pangan.

Konsumsi pangan yang terlalu rendah dan tidak bergizi pada gilirannya memicu malanutrisi, yang pada penduduk usia dini akan membawa pada masalah serius: stunting (pendek), underweight (kurus), dan wasting (gizi kurang).

Sebelum pandemi, prevalensi stunting Indonesia sudah tinggi, di kisaran 31 persen pada 2018. Di masa pandemi, masalah kesehatan khususnya bagi kelompok rentan, seperti anak usia dini, cenderung meningkat dan tidak terdeteksi. Berbagai pembatasan mobilitas sosial, kekhawatiran masyarakat atas penyebaran virus hingga tumbangnya tenaga kesehatan karena terpapar virus, telah membuat banyak layanan kesehatan esensial menjadi terganggu bahkan terhenti.

photo
Profil kesehatan anak Indonesia, Maret 2020. Gizi buruk menghantui anak di masa pandemi. - (IDEAS/Dialektika Republika)

Investasi Generasi Negeri

Pembangunan penduduk usia dini adalah investasi bangsa. Kualitas generasi muda adalah krusial bagi nasib bangsa di masa depan. Dengan SDM berkualitas tinggi, jumlah penduduk yang besar, bahkan dengan bonus demografi, akan selalu diikuti dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Dan pembangunan SDM, kesehatan dan pendidikan, banyak ditentukan oleh asupan pangan bergizi, yang akan menentukan tingkat kesakitan dan kemampuan kognitif penduduk.

Dengan bonus demografi telah di hadapan, yaitu 2020-2030, Indonesia harus berbenah secepatnya. Pasca 2030, Indonesia akan memasuki fase maturity, dan pasca 2045 memasuki fase ageing society

Hingga kini, kondisi kesehatan generasi penerus negeri masih memprihatinkan. Pada 2020, sebelum pandemi, sepertiga anak Indonesia memiliki keluhan kesehatan, dengan kasus tertinggi dialami anak usia dini 0-4 tahun (43,7 persen). Hanya 62,4 persen anak yang dilindungi jaminan kesehatan, dengan kasus terendah dialami anak dari keluarga miskin (52,7 persen).

Seribu hari pertama kehidupan (1.000 HPK) anak adalah masa paling krusial yang akan menentukan perkembangan fisik, kerentanan penyakit, dan tingkat kecerdasan anak di masa depan. Indikator 1.000 HPK anak Indonesia meski menunjukkan kecenderungan meningkat, tapi masih jauh dari ideal.

photo
Rentan gizi anak negeri era pandemi. Gizi buruk menghantui anak di masa pandemi. - (IDEAS/Dialektika Republika)

Hanya sekitar 70 persen bayi umur 0-5 bulan yang menerima ASI eksklusif, sedangkan imunisasi lengkap baru mencakup sekitar 57 persen anak umur di bawah 2 tahun. Asupan pangan bergizi, yaitu minimal 4 jenis pangan yang beragam, berada di kisaran 70 persen anak di bawah 2 tahun.

Kondisi stunting disebabkan oleh berbagai faktor mulai dari kesehatan dan nutrisi ibu pada masa kehamilan yang buruk, kondisi pangan yang tidak tercukupi pada saat bayi dalam kandungan hingga masa kanak-kanak, hingga infeksi penyakit. Pada 2020, terdapat 11,4 persen ibu melahirkan dengan anak BBLR (berat badan lahir rendah), yaitu bayi dengan berat lahir kurang dari 2,5 kg. Stunting telah dimulai dari kandungan ibu. 

Lebih jauh, masalah stunting diperburuk oleh faktor multidimensi, seperti praktik pengasuhan anak yang kurang baik, terbatasnya layanan kesehatan, kurangnya akses terhadap makanan bergizi, serta kurangnya akses kepada air bersih dan sanitasi. Kasus ibu melahirkan dengan anak BBLR secara umum lebih banyak terjadi di wilayah perdesaan dan luar Jawa. Namun, dengan populasi yang jauh lebih besar, jumlah absolut kasus gizi buruk di Jawa dan wilayah perkotaan adalah ekstensif.

 
Di masa pandemi, permasalahan gizi buruk diduga kuat meningkat sebagai hasil kombinasi dari jatuhnya daya beli masyarakat dan terganggunya layanan kesehatan.
 
 

Di masa pandemi, permasalahan gizi buruk diduga kuat meningkat sebagai hasil kombinasi dari jatuhnya daya beli masyarakat dan terganggunya layanan kesehatan esensial terutama bagi kelompok rentan, seperti ibu dan anak. Jatuhnya daya beli membuat akses pangan dan asupan gizi masyarakat miskin memburuk. Ironisnya, ketika kebutuhan akan dukungan melawan gizi buruk dan stunting meningkat, intervensi gizi oleh pemerintah justru melemah. 

Temuan lapangan dari program pencegahan stunting oleh LAZ Dompet Dhuafa (DD) di sepanjang paruh kedua 2020 memberikan gambaran awal permasalahan rendahnya asupan gizi dan tingginya kasus gizi buruk di masa pandemi ini. Di bawah payung “Kampung Tangguh Cekal Corona”, DD melakukan pemantauan terhadap 270 anak usia 0-5 tahun di 6 titik, yaitu Desa Neuheun (Aceh), Desa Gowok (Banten), Kelurahan Tengah (Jakarta), Desa Lambang Jaya (Jawa Barat), Desa Gili Gede Indah (Nusa Tenggara Barat), dan Desa Namosain (Nusa Tenggara Timur). 

Dari 59 balita yang teridentifikasi sebagai rentan gizi dan terpilih untuk mengikuti program pencegahan stunting DD, 21 balita terkategori memiliki tinggi badan normal, 24 balita pendek, dan 14 balita sangat pendek, dengan rata-rata nilai z-score TB/U (stunting) adalah -2,24.

Pada saat yang sama, 12 balita terkategori memiliki berat badan normal, 29 balita kurus dan 18 balita sangat kurus, dengan rata-rata nilai z-score BB/U (underweight) adalah -2,64. Masalah gizi buruk di masa pandemi nyata terlihat di penjuru negeri, bahkan ditemui di Ibu Kota.

photo
Model intervensi gizi untuk pencegahan stunting di era pandemi. Gizi buruk menghantui anak di masa pandemi. - (IDEAS/Dialektika Republika)

Intervensi Gizi

Menghadapi stunting, pemerintah melakukan berbagai intervensi, terutama intervensi gizi berfokus pada masa 1.000 HPK anak. Intervensi gizi pada ibu hamil dan menyusui berupa pemberian makanan tambahan (PMT), pemeriksaan kehamilan, pemberian imunisasi, inisiasi menyusui dini (IMD), promosi ASI eksklusif, imunisasi dasar, dan pemantauan tumbuh kembang bayi.

Intervensi gizi pada anak berupa pemberian ASI hingga bayi usia 23 bulan, pemberian makanan pendamping (MP) ASI, hingga imunisasi lengkap. 

Namun demikian, hingga 2018, prevalensi stunting pada balita masih berada di kisaran 31 persen, dengan variasi antardaerah yang sangat tinggi. Berbagai program intervensi pemerintah banyak terkendala alokasi anggaran yang belum optimal, lemahnya koordinasi antarinstansi, perbedaan sifat dan tingkat permasalahan antardaerah, serta kelemahan pada rancangan, cakupan, kualitas, sasaran, dan kapasitas pemerintah untuk melaksanakan berbagai program penanganan stunting.

Di masa pandemi, intervensi gizi dari pemerintah melemah, seiring penyebaran virus yang semakin masif dan meningkatnya beban sistem kesehatan nasional. Posyandu dan puskesmas yang merupakan ujung tombak intervensi gizi spesifik, banyak terganggu operasionalnya, terutama di wilayah zona merah pandemi.

Sebagai misal, fasilitator kesehatan DD di NTB melaporkan fasilitas kesehatan di titik intervensi mereka masih beroperasi dengan relatif normal. Namun fasilitator di Jakarta melaporkan puskesmas beroperasi tidak normal, bahkan aktivitas posyandu secara umum terhenti.

photo
Intervensi nutrisi di masa pandemi. Gizi buruk menghantui anak di masa pandemi. - (IDEAS/Dialektika Republika)

Fasilitator di NTT juga melaporkan posyandu mulai terhenti sejak November 2020 seiring pertambahan kasus Covid-19 yang menimbulkan kekhawatiran. Lebih jauh, intervensi gizi pemerintah juga seringkali jauh dari memadai. Sebagai misal, program PMT nilainya sangat kecil sehingga tidak signifikan dalam meningkatkan status gizi.

Program pencegahan stunting DD adalah salah satu contoh partisipasi masyarakat dalam menanggulangi dampak pandemi, dengan fokus pada akses pangan kelompok miskin. Program diawali dengan survei kawasan dan screening untuk identifikasi kelompok rentan gizi.

Setelah mendapatkan komitmen untuk mengikuti program secara penuh, peserta program selama 14 hari mendapat nutrisi intensif berupa pangan tinggi kalori-protein, serta ASI eksklusif dan MP-ASI. Intervensi lanjutan melatih peserta untuk mampu mengolah dan terbiasa dengan pangan yang beraneka jenis (4 bintang), yaitu karbohidrat, protein hewani-nabati, vitamin-mineral dan lemak.

 
Program pencegahan stunting DD adalah salah satu contoh partisipasi masyarakat dalam menanggulangi dampak pandemi.
 
 

Program dilanjutkan dengan mendorong kemandirian keluarga miskin untuk pasokan pangan melalui kebun gizi, budidaya ternak dan penanaman pohon kelor. Di setiap tahapan, diikuti dengan upaya membangun partisipasi masyarakat lokal dan infrastruktur komunitas. Di akhir program, diikuti upaya mendorong keberlanjutan program dalam jangka panjang. 

Dari pengamatan terhadap 59 balita setelah mendapat intervensi gizi awal dan lanjutan selama 28 hari, terlihat hasil yang positif. Nilai rata-rata z-score TB/U (stunting) membaik dari semula -2,24 menjadi -1,99. Balita dengan tinggi badan normal bertambah dari 21 anak menjadi 31 anak.

Nilai rata-rata z-score BB/U (underweight) juga membaik dari -2,64 menjadi -2,27. Balita dengan berat badan normal bertambah dari 12 anak menjadi 20 anak.

Namun demikian, dampak intervensi terhadap anak sangat bervariasi. Dalam kasus berat badan anak (BB/U) misalnya, terdapat 5 anak dengan nilai z-score yang justru semakin buruk setelah 28 hari program, dan 5 anak lainnya dengan perubahan z-score yang tidak signifikan.

Di saat yang sama, terdapat 2 anak yang membaik sangat signifikan, bahkan mampu melompat dari kategori “sangat kurus” langsung menjadi kategori “normal”.

photo
Profil ibu dengan anak Berat Badan Lahir Rendah, 2020. Gizi buruk menghantui anak di masa pandemi. - (IDEAS/Dialektika Republika)

Beberapa Best Practices

Rendahnya asupan gizi terjadi ketika individu tidak memiliki cukup sumber daya untuk memenuhi kebutuhan kalori, gizi dan nutrisi pada tingkat paling minimal. Masalah gizi buruk karenanya berakar dari rendahnya daya beli kelompok miskin, yang menghalangi kelompok miskin untuk mengakses pangan penting, tapi harganya mahal.

Semakin rendah tingkat penghasilan keluarga, semakin banyak kasus ibu melahirkan dengan anak BBLR. Dari temuan lapangan, fasilitator DD melaporkan kemiskinan individu dan komunitas adalah faktor signifikan pada kasus gizi buruk, seperti di kawasan padat dan kumuh perkotaan. 

Menghadapi harga pangan yang mahal, strategi umum yang ditempuh keluarga berpenghasilan rendah adalah dengan beralih ke pangan yang lebih murah atau diversifikasi pangan ke pangan yang diawetkan dan seringkali kurang sehat.

 
Menghadapi harga pangan yang mahal, strategi umum yang ditempuh keluarga berpenghasilan rendah adalah dengan beralih ke pangan yang lebih murah.
 
 

Dengan harga daging sapi, ikan segar, susu, daging ayam, telur, buah-buahan dan sayuran segar yang relatif tinggi, keluarga miskin dipaksa untuk memfokuskan konsumsinya pada pangan pokok yang terjangkau dan mengenyangkan: beras. Edukasi gizi dan kemampuan mengolah pangan dari jenis yang beragam, menjadi salah satu aspek penting penanggulangan gizi buruk.

Edukasi gizi menjadi semakin krusial dengan semakin maraknya perilaku konsumsi pangan yang tidak bijak, terutama oleh keluarga miskin yang pasif dan berpendidikan rendah. Semakin rendah tingkat pendidikan ibu, semakin banyak ditemui kasus ibu melahirkan dengan anak BBLR.

Konsumsi jenis pangan yang salah dan dalam jumlah yang berlebihan adalah salah satu bentuk kemiskinan pangan yang paling serius. Salah satu tantangan terbesar penanggulangan gizi buruk adalah pengeluaran rokok yang signifikan oleh keluarga miskin. 

Program pencegahan stunting oleh DD membuktikan bahwa di masa pandemi, ketika layanan fasilitas kesehatan banyak yang terhenti dan kekhawatiran masyarakat akan penularan virus meningkat, pemeriksaan kesehatan keliling (mobile surveillance) dari rumah ke rumah adalah signifikan bagi kelompok miskin.

 
Tantangan terbesar adalah minimnya ketersediaan tenaga kesehatan dan relawan yang bersedia melakukan pemeriksaan keliling, yang memang berisiko tinggi di masa pandemi.
 
 

Tantangan terbesar adalah minimnya ketersediaan tenaga kesehatan dan relawan yang bersedia melakukan pemeriksaan keliling, yang memang berisiko tinggi di masa pandemi.

Program ketahanan pangan keluarga miskin yang melekat dalam program pencegahan stunting DD juga memberi pelajaran pentingnya ketersediaan pangan dalam jumlah yang memadai (availability), akses pangan yang berkelanjutan (access), pemanfaatan pangan yang aman dan bergizi (utilization), dan stabilitas pangan terhadap guncangan ekonomi, bencana alam dan konflik sosial-politik (stability).

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat