Warga berlari saat terjadi ledakan di bandara di Aden, Yaman, Desember tahun lalu. | AP Photo

Opini

Yaman Menuju Damai?

Menghentikan bantuan logistik, teknis, dan intelijen sebagai upaya mengakhiri perang saudara di Yaman.

SMITH ALHADAR, Penasihat Indonesian Society for Middle East Studies

Pada 4 Februari lalu, Amerika Serikat di bawah Presiden Joe Biden mengumumkan penghentian penjualan senjata ke Arab Saudi, termasuk suku cadang pesawat tempur. Selain itu, menghentikan bantuan logistik, teknis, dan intelijen sebagai upaya mengakhiri perang saudara di Yaman.

Perang itu menewaskan 230 ribu orang, baik tentara maupun penduduk sipil akibat penyakit dan kelaparan. Menurut PBB, sekitar 80 persen penduduk Yaman kelaparan akibat perang. AS juga mencabut status milisi Houthi dari daftar organisasi teroris.

Maka itu, bantuan kemanusiaan PBB dapat masuk ke kawasan Yaman utara yang dikuasai Houthi. Dua hari kemudian, Utusan Khusus PBB untuk Yaman, Martin Griffiths, tiba di Teheran bertemu Menlu Iran Javad Zarif dan pejabat lainnya demi solusi politik perang di Yaman.

 
Perang itu menewaskan 230 ribu orang, baik tentara maupun penduduk sipil akibat penyakit dan kelaparan. 
 
 

Perang ini melibatkan kelompok Syiah Houthi dukungan Iran melawan pasukan Pemerintah Yaman di bawah Presiden Abd Rabbu Mansour Hadi, yang didukung koalisi militer pimpinan Saudi.

Saat Griffiths di Iran, AS mendesak Houthi menahan diri dari aksi yang mendestabilkan Saudi dan berkomitmen pada upaya Griffiths mencapai perdamaian. Iran dan Saudi mendukung sikap AS agar perang Yaman diselesaikan secara diplomatik.

Sebenarnya, sejak Mei 2018, penguasa de facto Saudi, Putra Mahkota Pangeran Muhammad bin Salman, menyampaikan kepada Gedung Putih tentang keinginannya mengakhiri perang dan akan mengontak Iran melalui pejabat Irak.

Sayangnya, Iran mengajukan syarat yang tak dapat dipenuhi Saudi, yaitu Riyadh harus mengakhiri kerja samanya dengan Israel.

Agaknya, Iran lebih suka perang tetap berlangsung untuk mengisolasi Saudi, sekaligus membuat Saudi sibuk di Yaman agar perhatiannya teralih dari politik ekspansionis Iran di kawasan bulan sabit subur.

Pada 6 Desember 2018, tebersit harapan pihak bertikai di Yaman akan segera berdamai ketika Griffiths berhasil membawa delegasi Houthi dan pemerintahan Yaman ke Kota Rimbo, tak jauh dari Stockholm, guna merundingkan perdamaian hingga 14 Desember.

Namun, saat itu jet-jet tempur Saudi dan Uni Emirat Arab (UEA) terus membombardir kota pelabuhan Hudaidah, yang dikendalikan Houthi. Hudaidah strategis sebab 80 persen impor Yaman masuk melalui kota ini.

 
Sayangnya, Iran mengajukan syarat yang tak dapat dipenuhi Saudi, yaitu Riyadh harus mengakhiri kerja samanya dengan Israel.
 
 

Tujuannya jelas, menekan Houthi dalam perundingan dan berupaya menduduki kota untuk memperkuat posisi tawar koalisi.

Kesediaan pihak bertikai untuk berunding, tak lepas dari dinamika internal Yaman dan kesulitan Saudi serta tekanan internasional setelah terbunuhnya wartawan senior Saudi, Jamal Khashoggi, pada 2 Oktober tahun yang sama.

Perang Yaman dimulai pada Maret 2015 saat koalisi Arab pimpinan Saudi menyerang Houthi. Saat itu Houthi berkoalisi dengan pasukan yang loyal pada mantan presiden Ali Abdullah Saleh untuk memulihkan pemerintahan Hadi.

Wajar kalau Saudi dan UEA khawatir Yaman di bawah Houthi dapat mengganggu Selat Bab El-Mandeb, tempat lalu-lalang puluhan tanker internasional dari Teluk ke Afrika dan Eropa melalui Laut Merah.

Di luar dugaan, perang yang tadinya diperkirakan singkat, ternyata berkepanjangan. Sementara itu, komunitas internasional terus menyuarakan keprihatinan atas tragedi yang terjadi di negara Arab termiskin itu. PBB juga menyalahkan Houthi atas pelanggaran HAM.

 
Tidak populernya perang ini, terlihat dari kritik  Khashoggi dan dai-dai populer di Saudi serta mundurnya delapan negara koalisi sehingga yang tersisa, Saudi dan UEA.
 
 

Lagi, di luar dugaan, Houthi memiliki rudal balistik untuk menyerang kota-kota di Saudi dan UEA. Kendati dampak kerusakan fisik tak signifikan, rudal Houthi cukup mengganggu keamanan kedua negara dan membangkitkan pertanyaan masyarakat soal manfaat perang.

Tidak populernya perang ini, terlihat dari kritik  Khashoggi dan dai-dai populer di Saudi serta mundurnya delapan negara koalisi sehingga yang tersisa, Saudi dan UEA.

Perang itu menguras miliaran dolar AS dana Saudi dan UEA saat pendapatan dari minyak berkurang akibat anjloknya harga minyak dunia. Houthi bersedia ke meja perundingan setelah posisinya di Hudaidah genting.

Pembunuhan terhadap Khashoggi, menciptakan momentum bagi Barat dan Kongres AS memaksa Saudi mengakhiri perang. Kongres AS menekan pemerintahan Presiden Donald Trump menghentikan bantuan militer kepada koalisi.

Ini diharapkan, menciptakan momentum dimulainya negosiasi rekonsiliasi. Namun, perundingan di Rimbo selama sembilan hari tidak membuahkan hasil. Dua tahun sebelumnya, perundingan 108 hari di Kuwait juga gagal total.

 
Namun, inilah waktunya perdamaian ditegakkan ketika pihak yang berperang telah kehilangan energi untuk meneruskannya. 
 
 

Kubu pemerintah menuntut perundingan berpijak pada Resolusi DK PBB 2216, hasil Inisiatif Arab Teluk, dan hasil Konferensi Dialog Nasional. Resolusi menuntut Houthi mundur dari wilayah yang diduduki  dan menyerahkan senjata beratnya.

Inisiatif Arab Teluk menuntut pengembalian posisi Hadi sebagai presiden. Konferensi Dialog Nasional menyerukan rekonsiliasi semua kekuatan politik, juga menuntut Yaman dibagi ke dalam enam wilayah federal. Houthi menolak ketiga basis perundingan itu.

Melihat besarnya persoalan Yaman, tak mudah bagi pemerintahan Biden mengatasinya. Namun, inilah waktunya perdamaian ditegakkan ketika pihak yang berperang telah kehilangan energi untuk meneruskannya. Perang ternyata hanya menciptakan kekonyolan dan penderitaan manusia. 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat