Subroto. | Daan Yahya/Republika

Narasi

Ujian Pertama Calon Pewarta

Bekerja itu harus sesuai dengan passion.

SUBROTO, Jurnalis Republika

Saat lulus kuliah aku menetapkan tiga cita-cita. Menjadi wartawan, dosen, dan pengacara. Tidak tahu mana yang akan dicapai duluan. Yang pasti aku mau jadi pengacara belakangan saja setelah dua cita-citaku tercapai.

Ketika kuliah aku sudah mempersiapkan  mencapai cita-citaku. Untuk menjadi wartawan aku belajar menulis dan mengikuti berbagai pelatihan jurnalistik. Sebelum  jadi wartawan beneran, sedikit banyak aku sudah bisa menulis. Beberapa press release yang aku buat dimuat di Harian Kedaulatan Rakyat, Yogyakarta. Juga di Tabloid Pramuka atau Tabloid Anak Sekolah milik Gramedia. Tulisanku juga pernah dimuat di sebuah majalah wisata. Tulisan cerpenku nampang tabloid dan di Majalah Anita Cemerlang, majalah remaja yang cukup terkenal saat itu.

Aku tak pernah ikut bergabung di press kampus selama kuliah di UGM. Tapi pernah mengelola Bulletin Kiprah yang diterbitkan Pramuka UGM. Disitu aku belajar dan mempraktikkan jurnalistik, menulis berita, ficer, tajuk, sampai bikin karikatur. 

 
Ketika merantau ke Jakarta, lowongan  kerja yang pertama aku lamar adalah wartawan. 
 
 

Ketika merantau ke Jakarta, lowongan  kerja yang pertama aku lamar adalah wartawan. Bulan November 1995 dari sebuah iklan di koran nasional aku mendapat informasi dibukanya pendaftaran untuk menjadi wartawan. Tidak disebutan medianya apa.

Aku mengirimkan berkas lamaran. Aku sertai juga kliping tulisanku yang pernah dimuat di media.  Tak sampai dua  minggu aku dipanggil untuk mengikuti seleksi. Tempat  seleksinya di Gedung Balai Remaja Tebet, Jakarta Pusat.

Aku datang ke gedung tempat seleksi itu. Banyak sekali pelamar yang datang.  Yang dites bukan hanya  calon wartawan tapi juga untuk bagian lain seperti iklan. Tak seorangpun  yang aku kenal. Disitulah aku pertama kali bertemu seseorang yang kelak menjadi  istriku, Maya May Syarah. Tapi  saat itu aku hanya melihat dari kejauhan.

Ceritanya, aku kenalan dengan  seorang peserta tes. Namanya Paul. Dia sudah bekerja di Majalah Sukma. Paul bercerita bahwa dia ikut melamar  menjadi wartawan dengan  sejumlah temannya dari Majalah Sukma. Semua  temannya dia ceritakan, termasuk Maya.  Dia bercerita sambil menunjuk satu persatu temannya dari kursi balkon dimana kami duduk. Aku tak tahu mengapa Paul mengenalkan secara detail teman-temannya kepada aku yang yang baru dikenalnya. 

 
Yang aku ingat,  yang mewawancaraiku salah satunya adalah Effendy Choirie. 
 
 

Jadi sebelum mengenal Maya,  aku sudah tahu banyak tentang dia dari Paul. Sayangnya Paul yang ramah dan suka bercerita itu belakangan tak lolos dalam rekrutmen wartawan itu. 

Tes pertama adalah wawancara.  Ada beberapa meja di lapangan di tengah gedung itu. Kami dipanggil satu-satu menghadap tim penguji.

Yang aku ingat,  yang mewawancaraiku salah satunya adalah Effendy Choirie. Gus Coi begitu teman-teman wartawan memanggilnya, terlihat  mengangguk-angguk membaca berkas lamaranku. Dia menanyakan mengapa aku ingin  menjadi wartawan.

“Itu cita-cita saya Pak,” jawabku.

Dia juga menanyakan kegiatanku selama kuliah. Aku mengatakan bahwa aku banyak aktif di kepramukaan, baik di UGM maupun Kota Yogyakarta. Aku juga  pernah ikut pelatihan dasar Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII),  dan punya kelompok studi di kampus. 

Terakhir, Gus Coi yang  belakangan  pindah profesi menjadi politisi itu,  menanyakan aku mau digaji berapa. “Terserah saja Pak, sesuai aturan perusahaan saja. Yang penting cukup untuk hidup di Jakarta,” jawabku.

 
Tapi aku sudah jawab semuanya dengan jujur. Dan aku menunjukkan keinginanku yang kuat menjadi wartawan.
 
 

“Berapa cukupnya untuk hidup di Jakarta ?” dia balik bertanya.

Aku bingung menjawab. Aku coba hitung-hitung dengan cepat.”Sekitar Rp 400 ribu cukup,” jawabku.

Waktu itu dolar AS  masih sekitar  Rp 1.500. Naik metromini di Jakarta sekali jalan hanya Rp 100.  Jadi  dengan gaji segitu, menurutku cukup untuk hidup sendiri di Jakarta.

Sesi wawancara selesai. Aku tak yakin apakah jawaban-jawabanku tadi memuaskan pewawancara atau tidak. Tapi aku sudah jawab semuanya dengan jujur. Dan aku menunjukkan keinginanku yang kuat menjadi wartawan.

Usai sesi wawancara kami diminta menunggu. Ada penugasan lainnya untuk calon wartawan. Kami membaca tugas yang diberikan. Tugasnya adalah membuat lima berita. Waktunya sekitar dua jam.

Kehebohan terjadi di tengah peserta tes. Gila, belum jadi wartawan sudah  disuruh menulis berita. Tak tanggung-tanggung lagi, lima berita.  Caranya bagaimana ?

Ngaco ini, kerja belum tahu sudah disuruh nulis berita. Berita itu apa ?” gerutu seorang pelamar di sebelahku. 

 
Aku keliling pasar mencari cerita yang menarik. Aku mengamati jalan  di pasar yang rusak, penjual VCD bajakan, pengemis di depan pasar, pedagang kain, dan preman penjaga pasar.
 
 

“Cabut ajalah,” katanya sambil ngeloyor pergi.

Beberapa orang juga ikut mengomel-ngomel. Lalu balik kanan tak meneruskan proses rekrutmen.

Aku  juga merasa berat dengan tugas itu. Meliput dan menulis lima berita dalam dua jam, apakah bisa?  Pilihannya adalah mengerjakan tugas itu, atau meninggalkan tes seperti sebagian peserta  yang lain.  Tapi Ini adalah pekerjaan yang aku inginkan. Aku tak boleh menyerah. Seberapapun beratnya tes, aku akan jalani.

Mungkin ini ujian utamanya. Peserta tes akan secara alami berguguran. Hanya mereka yang benar-benar ingin jadi wartawan yang mau bertahan.

Aku menuju Pasar Tebet yang tak jauh dari gedung itu. Menurutku di pasar  pasti banyak cerita yang bisa ditulis. Tak perlu pindah tempat  dari pasar ke lokasi lain nanti, karena waktunya sangat pendek.

Aku keliling pasar mencari cerita yang menarik. Aku mengamati jalan  di pasar yang rusak, penjual VCD bajakan, pengemis di depan pasar, pedagang kain, dan preman penjaga pasar.

Tak mungkin semua bisa ditulis. Jadi aku lebih fokus pada jalan rusak dan pedagang VCD bajakan. Untuk jalan rusak aku mewawancarai pengunjung dan pedagang. Sedangkan pedagang VCD aku mewawancarai pedagang dan pembeli. Kepada mereka aku katakan bahwa aku hanya sekedar latihan menjadi wartawan.

 
Pengumuman hasil tes dilakukan seminggu kemudian. Aku menunggu pengumuman dengan penuh harap.
 
 

“Cuma pura-pura saja Pak. Nggak jadi berita beneran. Cuma persyaratan jadi wartawan,” begitu rayuku kepada pedagang CD yang  semula menolak aku wawancarai.

Kepada setiap orang yang akan aku wawancarai,  aku pakai ‘jurus minta tolong itu’. Ternyata ampuh juga. Mereka bersedia  membantu.

Aku catat hasil wawancara dan pengamatanku baik-baik. Lalu beritanya aku tulis dengan tangan  di atas kertas yang disediakan panitia. Dengan susah payah, tugas liputan dan menulis berita berhasil aku selesaikan. Tak tahu bentuk berita yang aku tulis sudah sesuai dengan kaidah atau belum. Yang penting ada 5 W  + 1 H seperti teori jurnalistik yang pernah kupelajari.

Tiga liputan  lainnya, soal pengemis, pedagang pakaian  dan preman aku tak sempat tuliskan menjadi berita. Jadi aku hanya hanya sempat menulis judul dan keterangan hasil pengamatan.

 Tak mungkin bisa selesai mengerjakan lima liputan dan menulisnya hanya dalam waktu dua jam. Aku menduga  penguji hanya akan mengukur sejauh mana usaha yang dilakukan. Juga seberapa jauh pelamar bersungguh-sungguh ingin jadi wartawan.

Aku kembali ke Gelanggang Remaja Tebet. Peserta yang tersisa hanya sebagian saja. Mungkin setengahnya tidak kembali karena penugasan tadi.

Pengumuman hasil tes dilakukan seminggu kemudian. Aku menunggu pengumuman dengan penuh harap.

Ternyata namaku masuk dalam  daftar 20 orang  yang diterima menjadi wartawan baru  Harian Berita Yudha (BY). Itu adalah koran metropolitan dengan manajemen baru. Sebelumnya Berita Yudha adalah koran nasional milik Angkatan Darat. 

Aku senang sekali mendapat pekerjaan yang aku impikan. Bagiku bekerja itu harus sesuai dengan passion. Menjadi wartawan sepertinya cocok dengan gayaku yang tak terlalu suka diperintah, tak terlalu suka banyak aturan kaku, menyenangi hal-hal baru, suka tantangan, dan lebih suka banyak berada di lapangan.  

Aku tak lama bekerja di BY. Hanya sekitar enam bulan  saja. Setelah itu aku pindah ke Republika sampai saat ini. Tapi di BY aku pertama kali belajar menjadi wartawan sesungguhnya. Di BY pula aku menemukan jodohku, Maya, sesama wartawan baru.

Tips menghadapi wawancara penerimaan wartawan

- Pelajari profil perusahaan media yang akan  dilamar

- Pahami seluk-beluk pekerjaan wartawan dan dunia media massa

- Bawa dokumen lamaran

- Jangan terlambat

- Berpakaian rapi, tapi jangan terlalu formal

- Jawab pertanyaan-pertanyaan dengan percaya diri

- Tunjukkan bahwa Anda benar-benar berminat menjadi wartawan

- Tunjukkan bahwa Anda adalah pribadi yang terbuka dan gampang bergaul

- Yakinkan bahwa Anda mampu bekerja dalam tim

- Jangan terlalu berlebihan menunjukkan kelebihan dan kelemahan diri

- Bersiap dengan berbagai hal yang tidak diduga saat wawancara

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat