
Kabar Utama
BPS: Pemulihan Ekonomi Berlanjut
Meski belum bisa tumbuh positif, tren pemulihan ekonomi tetap berlanjut.
JAKARTA -- Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan ekonomi Indonesia sepanjang 2020 terkontraksi 2,07 persen secara tahunan (yoy). Meski belum bisa tumbuh positif, tren pemulihan ekonomi tetap berlanjut.
Pemulihan tersebut terlihat dari data pertumbuhan ekonomi yang membaik dalam tiga kuartal terakhir. Sejak pandemi Covid-19 melanda, ekonomi Indonesia untuk pertama kalinya terkontraksi pada kuartal II 2020 dengan angka minus 5,32 persen. Memasuki kuartal III, kontraksi kembali terjadi sebesar 3,49 persen dan membuat Indonesia secara teknis masuk ke zona resesi.
Kepala BPS Suhariyanto dalam paparannya mengatakan, pertumbuhan ekonomi kembali membaik pada kuartal IV 2020 meski tetap terkontraksi sebesar 2,19 persen. “Data tersebut menunjukkan adanya tren pemulihan. Namun, tetap dibutuhkan evaluasi agar pemulihan ekonomi berjalan sesuai harapan,” kata Suhariyanto dalam konferensi pers pertumbuhan ekonomi, Jumat (5/2).
Menurut Suhariyanto, perekonomian Indonesia masih akan menghadapi sejumlah tantangan pada tahun ini. Kendati demikian, ia menyebut ada sejumlah indikator yang telah menunjukkan perbaikan, salah satunya purschasing managers index (PMI) oleh IHS Markit pada Januari 2021 yang sebesar 52,2.
Ia menjelaskan, level PMI di atas 50 mencerminkan kegiatan industri mulai bergeliat. Selain itu, kinerja ekspor dan impor mulai naik sejak kuartal IV 2020. "Jadi, betul ada banyak tantangan, tapi ada juga indikator yang menunjukkan perbaikan," ujarnya.
Walau kontraksi terus mengecil, pertumbuhan ekonomi kuartal IV 2020 minus 0,42 persen dibandingkan kuartal III (q-to-q). Ini perlu menjadi catatan karena ekonomi pada kuartal III sempat tumbuh 5,05 persen (q-to-q).
Ekonomi Indonesia belum bisa keluar dari zona negatif karena belum pulihnya konsumsi rumah tangga yang memiliki kontribusi hingga 57 persen terhadap pertumbuhan. BPS mencatat, konsumsi rumah tangga pada kuartal IV 2020 anjlok 3,61 persen (yoy). Meski masih minus, Suhariyanto menyebut angka itu lebih baik dari kuartal III yang minus 4,05 persen dan kuartal II yang terkontraksi hingga 5,52 persen.

Hanya ada dua komponen konsumsi rumah tangga yang tumbuh positif. Kedua komponen itu adalah perumahan dan perlengkapan rumah tangga sebesar 0,71 persen serta kesehatan dan pendidikan 0,64 persen. "Ini menunjukkan masih lemahnya permintaan dan konsumen juga mengalami penurunan pendapatan karena pandemi. Kita masih perlu kerja keras agar lebih baik lagi dan mengarah pada pertumbuhan positif," katanya.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto memproyeksikan, ekonomi mampu tumbuh positif pada kuartal pertama tahun ini. Konsumsi pemerintah kembali diharapkan menjadi penopang perekonomian.
Airlangga memperkirakan, pertumbuhan ekonomi dapat mencapai level 1,6 persen sampai 2,1 persen pada periode Januari-Maret ini. "Konsumsi pemerintah yang biasanya pada kuartal pertama rendah, yakni tiga sampai empat persen, kita akan dorong supaya naik empat hingga lima persen," ujar Airlangga.
Konsumsi pemerintah pada kuartal IV tercatat tumbuh positif sebesar 1,76 persen. BPS menyatakan, konsumsi pemerintah menjadi satu-satunya komponen yang melaju positif saat komponen pengeluaran lainnya terkontraksi.

Terkait konsumsi rumah tangga, Airlangga mengakui hal tersebut menjadi pekerjaan rumah besar bagi pemerintah. Ia memperkirakan, konsumsi masyarakat hanya tumbuh di level 1,3 persen hingga 1,8 persen. Pekerjaan rumah lainnya adalah mendorong investasi atau pembentukan modal tetap bruto (PMTB) yang tumbuh negatif selama tiga kuartal berturut-turut. “Kita upayakan agar bisa berbalik di jalur positif, prognosanya di tiga sampai empat persen,” kata Airlangga.
Staf Khusus Presiden Bidang Ekonomi Arif Budimanta memandang, prospek ekonomi 2021 akan lebih baik meskipun pandemi belum usai. Menurut Arif, faktor penanganan kesehatan yang lebih siap, vaksin yang sudah mulai diberikan, dan kembali bergeraknya konsumsi rumah tangga akan menjadi hal paling membedakan tahun ini dengan 2020.
Arif menambahkan, pemerintah tetap menyediakan anggaran penanganan Covid-19 dan PEN dengan jumlah yang cukup besar. Angkanya direncanankan sebesar Rp 619,83 triliun.
Itu artinya, pemerintah terus mendorong agar ekonomi kita pulih dalam waktu yang cepat, baik dari sisi supply maupun demand.
"Itu artinya, pemerintah terus mendorong agar ekonomi kita pulih dalam waktu yang cepat, baik dari sisi supply maupun demand," ujar Arif.
Ekonom CORE Indonesia Yusuf Rendy Manilet memprediksi, kontraksi ekonomi masih akan berlangsung hingga kuartal pertama tahun ini. Ini dikarenakan adanya kebijakan pembatasan aktivitas sosial dan ekonomi yang kembali mengetat seiring naiknya kasus positif Covid-19.
Apalagi, pembatasan itu berlaku di Jakarta dan Pulau Jawa yang memiliki porsi besar terhadap 'kue’ pertumbuhan ekonomi. Meski berdampak negatif terhadap ekonomi, kebijakan pembatasan aktivitas harus dilihat dalam perspektif lebih luas.
“Apabila dilakukan secara disiplin, langkah pengetatan mampu meningkatkan penanganan pandemi dari sektor kesehatan dan berimbas pada pemulihan ekonomi,” kata dia.
Penanganan Pandemi Jadi Kunci
Pertumbuhan ekonomi yang masih negatif pada kuartal IV 2020 ataupun sepanjang 2020 dinilai perlu menjadi bahan evaluasi bagi pemerintah. Menurut ekonom INDEF Bhima Yudhistira, hal tersebut sebagai dampak belum efektifnya langkah penanganan pandemi Covid-19 dan pemulihan ekonomi nasional (PEN).

Bhima menilai, kegagalan pemerintah dalam mengendalikan pandemi menyebabkan masyarakat masih menahan untuk berbelanja, terutama pada kelompok pengeluaran menengah dan atas yang berperan hingga 83 persen dari total konsumsi nasional. "Untuk memulihkan permintaan kelompok ini, kuncinya adalah penanganan pandemi," kata Bhima, Jumat (5/2).
Bhima juga menyebut pemerintah tidak konsisten dalam menerapkan kebijakan. Ia mengatakan, pemerintah terus mendorong agar masyarakat bisa beraktivitas dengan protokol kesehatan. Namun, di sisi lain, pembatasan aktivitas jalan terus dan operasional berbagai jenis usaha dibatasi.
Ia menilai, kebijakan yang maju-mundur membuat kepercayaan konsumen menjadi turun. "Jadi, optimisme pemulihan ekonomi yang lebih cepat dipangkas sendiri oleh kebijakan pemerintah," kata Bhima.
Terkait program PEN, ia menilai ada perencanaan yang kurang tepat pada awal pembentukan. Masalah utama adalah kurangnya dukungan pada sisi permintaan, yaitu perlindungan sosial (Rp 220,3 triliun) dan realisasi belanja kesehatan (Rp 63,5 triliun). Anggaran untuk kedua aspek tersebut masih lebih kecil dibandingkan total jumlah stimulus untuk pembiayaan korporasi (Rp 60,7 triliun), insentif usaha (Rp 56,1 triliun), sektoral K/L dan pemda (Rp 66,5 triliun), dan insentif UMKM (Rp 112 triliun).

Menurut Bhima, idealnya pemerintah mendorong sisi permintaan dibanding fokus pada sisi penawaran. "Masalah utama ada di sisi lemahnya permintaan," ujarnya.
Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan, ekonomi kuartal IV 2020 tumbuh negatif 2,19 persen (yoy). Sementara, pertumbuhan sepanjang 2020 tercatat minus 2,07 persen.
Bhima mengatakan, hal yang perlu dicermati adalah pertumbuhan ekonomi kuartal IV 2020 yang menurun dibanding kuartal III 2020 secara kuartalan sebesar minus 0,42 persen. "Ini membuktikan pola pemulihan ekonomi kembali turun dari kuartal III ke kuartal IV," ujar dia.
Ia menyarankan agar stimulus berupa subsidi upah bagi pekerja yang ditambah, bukan malah dihilangkan. Selain itu, insentif untuk tenaga medis perlu ditambah seiring jumlah kasus yang masih meningkat. Ia menegaskan, belanja kesehatan perlu menjadi perhatian utama jika ingin sisi permintaan masyarakat cepat pulih.
Kementerian Keuangan (Kemenkeu) memprediksi, tren pemulihan ekonomi akan terus berlanjut pada tahun ini. Perkiraan tersebut tecermin melalui beberapa indicator, seperti PMI manufaktur yang kembali meningkat dari 51,3 pada Desember 2020 menjadi 52,2 pada bulan lalu.
Selain itu, tingkat keyakinan masyarakat juga terus berada pada tren positif. Dari dua indikator ini, Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kemenkeu Febrio Kacaribu menyebutkan, pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun ini diperkirakan tumbuh positif di level sekitar lima persen.
"Proyeksi ini menunjukkan adanya tren pembalikan (rebound), searah dengan prediksi beberapa lembaga internasional," katanya.
Febrio menyebutkan, Dana Moneter Internasional (IMF) memperkirakan ekonomi Indonesia tumbuh delapan persen pada tahun ini. Sementara, Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia (ADB) masing-masing memperkirakan 4,4 persen dan 4,5 persen. Namun, Febrio menyebutkan, adanya variasi angka proyeksi menunjukkan faktor ketidakpastian yang masih akan mengancam ekonomi. "Khususnya dari perkembangan Covid-19 dan proses pelaksanaan vaksinasi," tuturnya.
Febrio memastikan pemerintah akan tetap fokus pada langkah-langkah antisipatif dan responsif dalam menekan penyebaran pandemi Covid-19 serta mendorong keberlanjutan tren pemulihan ekonomi nasional.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.