Asma Nadia | Daan Yahya | Republika

Resonansi

Saya, Jilbab, dan Aturan Sekolah

Kebijakan pemerintah tentang atribut keagamaan di sekolah harus berlaku adil bagi semua pihak.

Oleh ASMA NADIA

OLEH ASMA NADIA

Jika bukan karena terjadinya peristiwa kebakaran di sekolah, saya mungkin sudah dikeluarkan karena berjilbab. Padahal sebagai siswi, prestasi belajar saya cukup bagus, juara umum di SMP sebelum berhasil masuk ke salah satu SMA favorit di Jakarta itu. 

Sebab saya berjilbab, di awal hari-hari SMA saya sering dipanggil guru bimbingan hingga kepala sekolah. Guru olahraga melarang saya ikut pelajarannya. Akibatnya, rapor yang biasa berderet  angka 8 atau 9, tidak pernah menjaring nilai merah, kini dihiasi angka 4.

Logika saya saat itu, sulit mencerna alasan  jilbab dilarang. Pertama, menjalankan perintah agama adalah perwujudan  sila pertama dasar negara: Ketuhanan Yang Maha Esa, serta dilindungi UUD pasal 29 tentang kebebasan beragama.

Namun aturan seragam sekolah yang secara strata hukum jauh di bawah dasar negara dan  UUD, bisa dengan mudah menginjak-injak aturan yang lebih tinggi.

 
Nasib saya dan beberapa muslimah berjilbab kemudian berubah, ketika suatu hari kobaran api menjilat gedung tempat kami belajar. 
 
 

Setelah lama tak bisa memaksa saya menanggalkan jilbab, petinggi sekolah hilang kesabaran. Mereka mengeluarkan dan memindahkan saya, juga beberapa siswi yang kemudian turut berjilbab, ke sekolah lain. Surat tersebut sudah disiapkan, tinggal menunggu eksekusi.

Nasib saya dan beberapa Muslimah berjilbab berubah ketika suatu hari kobaran api menjilat gedung tempat kami belajar. Sementara, keramaian tawuran tampak di sekitar pelatarannya hingga jalan raya.

Panik. Saya berlari mencari telepon umum untuk menghubungi dinas kebakaran. Pemadam kebakaran datang dengan cepat tetapi nyala api telanjur membakar kantin dan bagian lain bangunan.

Penyebabnya, perseteruan menahun dengan siswa sekolah kejuruan yang bersebelahan dengan sekolah kami. Setelah kebakaran pun tawuran tetap berlangsung.

Pihak sekolah akhirnya sibuk meredakan perkelahian pelajar, hingga urusan pakaian saya dan siswi berjilbab terlupakan. Saya tetap melanjutkan pelajaran di SMA itu  hingga lulus dan diterima di Fakultas Teknologi Pertanian, IPB, melalui jalur undangan.

Selama masa SMA, jilbab sama sekali tak mengganggu pergaulan, bahkan saya selalu dipercaya menjadi ketua kelas. Jilbab juga tak mengganggu prestasi. 

Alhamdulillah, saya sempat mempersembahkan piala setinggi satu meter sebagai pemenang pertama Kompetisi Lomba Biologi se-DKI, sebelum kelulusan. Saat itu, saya beruntung tetapi tak demikian dengan teman-teman berjilbab di SMA lain.

 
Saat itu saya beruntung, tapi tidak demikian dengan teman-teman berjilbab di SMA lain.
 
 

Ada yang ditarik dari ruangan saat mengerjakan ujian akhir, dikeluarkan dari kelas setiap ada razia jilbab, ada pula yang dipaksa hengkang dari sekolah negeri dan mau tidak mau melanjutkan ke swasta.

Di mana saat itu pemerintah? Di mana saat itu keadilan? Di mana saat itu kekuatan UUD? Di mana saat itu Pancasila? Berpuluh tahun kemudian, terutama sejak reformasi, jilbab bukan lagi masalah yang diperdebatkan.

Sebaliknya, justru semakin banyak anak perempuan Muslim mengenakannya di sekolah. Walau demikian, pernak-pernik masalah tetap bermunculan. Pada 2014, di Denpasar dan beberapa daerah di Bali sempat ada pelarangan jilbab.

Kejadian serupa di tahun yang sama muncul di Jayapura dan berulang di Maumere pada 2017. Setahun berikutnya, pelarangan jilbab merebak di Manokwari. Semua pemberitaan meredup begitu saja, tanpa ada langkah kuat dari pihak berwenang mencegah kasus serupa agar tidak berulang. 

 
Pelajar yang dikeluarkan dari sekolah di era 1980-an, memerlukan waktu bertahun-tahun untuk menggugat ketidakadilan yang mereka alami.
 
 

Namun, yang kini sedang ramai justru fenomena berkebalikan, tentang siswi non-Muslim yang keberatan dipaksa berjilbab di Padang. Kasus ini langsung mendapat perhatian Komnas HAM dan ramai diberitakan di berbagai media massa. 

Dalam waktu singkat, tiga menteri mengeluarkan keputusan bersama, yakni Menteri Dalam Negeri, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan serta Menteri Agama. Sungguh respons luar biasa cepat dibandingkan dahulu ketika siswa seangkatan saya dikeluarkan dari sekolah atau kasus pelarangan jilbab beberapa waktu sebelumnya.

Pelajar yang dikeluarkan dari sekolah di era 80-an, butuh waktu bertahun-tahun untuk menggugat ketidakadilan yang mereka alami.

Setelah akhirnya hakim memutuskan sekolah harus menerima kembali mereka dan kasus berhasil dimenangkan, para pelajar sudah usia kuliah. Keadilan akhirnya tegak namun sangat terlambat.

Apa yang terjadi di Padang harus disikapi bijak. Pertama, benarkah ada pemaksaan. Kedua, kalaupun ada pemaksaan apakah bersifat individual atau struktural. Jika bersifat struktural, seharusnya sudah terjadi gelombang protes karena aturan dimaksud ada sejak 2005.

Apabila merupakan masalah individual antara sekolah dan siswa, mengatasinya pun harus kasus per kasus.

 
Kesigapan yang sama seharusnya hadir dalam banyak  kasus muslimah yang dipaksa melepas jilbab, baik di sekolah, kantor, atau di lembaga mana pun.
 
 

UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menegaskan, pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tak diskriminatif dengan menjunjung tinggi HAM, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa.

Saya sepakat, jilbab merupakan kewajiban Muslimah. Karena itu, tak bisa dipaksakan bagi yang tak beragama Islam. Memaksakan jilbab pada non-Muslim sama saja memaksakan Muslimah menanggalkan jilbabnya. Keduanya bentuk intoleransi dan pelanggaran kebebasan beragama.

Karena itu, jika pemerintah sigap merespons klaim kasus pemaksaan non-Muslim untuk berjilbab, kesigapan yang sama seharusnya hadir dalam banyak kasus Muslimah yang dipaksa melepas jilbab, baik di sekolah, kantor, atau di lembaga mana pun. Sebab, sejatinya keadilan harus berlaku bagi semua pihak. 

 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat