Santri belajar menulis Alquran di Pondok Pesantren Tunarungu Darul A'shom, Sleman, Senin (1/2/2021). | Wihdan Hidayat / Republika

Kisah Dalam Negeri

Yang Mencari Mahkota dalam Keheningan 

Para difabel pantang menyerah menghafal Alquran.

OLEH SILVY DIAN SETIAWAN

Alquran dengan terjemahan berwarna hijau itu terbuka di atas rekal. Di hadapannya, seorang santri bergamis putih dilengkapi peci abu-abu duduk dalam hening melihat ke arah Alquran, ia kemudian bersenandung tanpa kata.

Hanya gerakan jari di tangan kanannya yang tampak lincah bergerak. Bergantian, jari-jemarinya melengkung, melipat, menggelayut, dan berayun. Masing-masing isyarat untuk satu huruf hijaiyah. 

Sejenak kemudian, ia membalik lembaran Alquran dengan tangan kanannya. Santri tersebut tak sendirian saat disambangi Republika di pendopo tua di Jalan Sumatera, Catur Tunggal, Depok, Sleman, Jumat (29/1).

Sebanyak 37 anak tampak mengisi pendopo berlantai marmer dengan dinding setengah bata dan kayu tua itu. Masing-masing duduk dengan meja dan rekal di hadapan, menepi di tembok pendopo membentuk semacam lingkaran majelis. Seluruhnya merupakan difabel rungu dan sulit berkomunikasi secara verbal. 

Hal yang dilakukan para santri hari itu, mencoba menghafalkan susunan huruf dalam Alquran. Sejuta lebih sedikit jumlahnya. Tempat mereka belajar dinamai Pondok Pesantren Tunarungu Darul A'shom, yang artinya “Rumah Mereka yang tak Mendengar”.

republikaonline

Santri Darul A'shom Hafal Alquran dengan Bahasa Isyarat.##Tiktokberita ##Quran original sound - Republika

Metode pembelajaran mereka menggunakan bahasa isyarat. Dalam melafalkan Alquran, mereka menggunakan gerakan tangan dan ekspresi, termasuk dalam berkomunikasi dengan orang lain. 

Setiap santri duduk berbaris dengan satu pengasuh yang bergantian mengampu. pengasuh juga tampak menerangkan ayat Alquran kepada puluhan santri sambil menggerakkan tangan. Setidaknya, ada tiga pengasuh terlihat menerangkan ayat Alguran seraya menggerakkan tangan dan mulut yang mengeja kata per kata kepada santrinya. Saling berpindah tempat untuk mengajari santri satu per satu.

Pondok pesantren tersebut belum lama berdiri, baru sejak 19 September 2019 lalu. Sejauh ini, ada 47 santri di pesantren yang awalnya berlokasi di Srandakan, Bantul, Yogyakarta, tersebut. Metode pembelajaran di pesantren ini dikembangkan oleh Ustaz Abu Kahfi, yang saat ini merupakan pimpinan pondok pesantren tersebut. 

Dulunya, Ustaz Abu Kahfi sempat juga mengembangkan majelis difabel rungu khusus usia dewasa di Bandung. Inspirasinya, suatu hari saat menunaikan ibadah umrah di Makkah, dia mempelajari konsep pembelajaran difabel rungu di salah satu pusat tahfiz Alquran khusus difabel rungu di Makkah. 

Seusai menunaikan ibadah umrah, dia tergerak untuk mengembangkan Pondok Pesantren Tunarungu Darul A'shom. "Santri kami dari berbagai provinsi (di Indonesia). DIY saja baru enam orang, sisanya dari berbagai provinsi. Ada dari Medan, Kalimantan, Bali, dan lain-lain," kata Ustaz Abu Kahfi kepada Republika

Ada juga dua santri dari Malaysia. Usia prasantri merentang dari umur tujuh sampai 28 tahun. Seorang santriwan berbaju koko abu-abu dan dilengkapi peci putih dengan motif garis hijau, tiba-tiba berdiri dan melangkah menuju Ustaz Abu Kahfi dengan serban dan bergamis putih. Santriwan ini melangkah sambil membawa rekal dan Alquran, kemudian duduk di depan ustaz tersebut. 

photo
Santri belajar menulis Alquran di Pondok Pesantren Tunarungu Darul A'shom, Sleman, Senin (1/2/2021). - (Wihdan Hidayat/Republika)

Kepada Ustaz Abu Kahfi, ia melafalkan ayat Alquran yang telah ia hafal dengan bahasa isyarat. Walaupun membawa Alquran, ia melafalkan ayat dengan berusaha untuk tidak melihat Alquran. Namun, tiba-tiba ia berhenti dan tersenyum. Ternyata, ada penggalan ayat yang tidak diingat sehingga membuatnya melihat ke Alquran yang sudah ia bawa sebelumnya. 

Di ruangan berbeda, 10 santriwati juga terlihat tengah melafalkan Alquran bersama seorang pengasuh bercadar hitam. Mereka mengenakan seragam yang sama berwarna cokelat dibalut biru tua dan dilengkapi hijab. "Nama saya Dinda," kata salah satunya menggunakan bahasa isyarat.

Gadis berusia 16 tahun ini datang dari Bali untuk menjadi hafiz Alquran. "Saya mau kedua orang tua saya bisa masuk surga dan ingin diberi mahkota untuk bapak dan ibu," ujar Dinda yang diterjemahkan oleh pengasuhnya.

 
Saya mau kedua orang tua saya bisa masuk surga dan ingin diberi mahkota untuk bapak dan ibu.
 
 

Dinda agaknya diajari hadis yang diriwayatkan al-Hakim al-Naisaburi dan ath-Thabrani soal kisah bahwa nanti di surga, orang tua-orang tua yang memiliki anak penghafal Alquran akan mendapatkan mahkota bercahaya. Kepala Yayasan Pondok Pesantren Tunarungu Darul A'shom, Bayu Pamungkas, mengatakan, membutuhkan waktu dan usaha yang lebih untuk membantu santri dengan kebutuhan khusus untuk menghafal Alquran. 

Ia menyebut, perbandingan kesulitannya dengan orang biasa bisa mencapai tiga banding tujuh. Ia mencontohkan, untuk yang bisa mendengar, kalimat basmalah yang penyebutannya hanya membutuhkan tiga suku kata. Namun, santri di pondok pesantren tersebut harus mengeja satu per satu huruf hijaiyah.

Dalam kata bismillah, ada tujuh huruf hijaiyah yang harus disyaratkan satu per satu. "Tiga puluh juz misalnya orang umum, bisa dikalikan tujuh untuk anak-anak di sini, mereka menghafalnya per huruf," kata Bayu kepada Republika.

 
Tiga puluh juz misalnya orang umum, bisa dikalikan tujuh untuk anak-anak di sini, mereka menghafalnya per huruf.
 
 

Walaupun demikian, berat upayanya, nyatanya santriwan dan santriwati ini dapat menjadi hafiz Alquran. Salah satunya Zaid yang berasal dari Kediri, Jawa Timur. Ia sudah satu tahun menempuh ilmu di Pondok Pesantren Darul A'shom. Hingga saat ini, dia sudah bisa menghafal dua juz Alquran. "Ada juga Azka yang berumur sembilan tahun dari Solo. Azka sudah menghafal satu setengah juz dan mau masuk dua juz," ujarnya. 

Terkait kurikulum di pondok pesantren ini, dirancang secara mandiri dengan ilmu agama, seperti ilmu tauhid sampai tahfiz, sebagai program utama. Namun, pembelajaran nonformal juga diajarkan yang bersinergi dengan sekolah luar biasa (SLB) dan Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM).

"Jadi, sistemnya dari PKBM memberikan modul pembelajaran dan nanti ustaz dan ustazah yang akan mengajarkan ke santri," katanya menjelaskan. 

Untuk pembagian kelas, santriwan dan santriwati dikelompokkan berdasarkan kemampuan. Dengan demikian, tidak dikelompokkan berdasarkan usia atau jenjang pendidikan yang sudah dilalui sebelumnya. "Tapi, kami membagi klaster-klaster kelompok kecil berdasarkan kemampuan mereka dalam menangkap materi. Setting yang seperti ini akan membuat mereka tidak merasa bahwa mereka tertekan," ujar Bayu Pamungkas.

republikaonline

Zaid (15), Asal Kediri, tengah membaca Alfatihah di Pesantren Tuna Rungu, Darul A'shom, Yogyakarta.##Tiktokberita ##Islam ##Quran original sound - Republika

 

Saat Republika tiba di Pesantren Darul A'shom, akhir pekan lalu, waktu menunjukkan sekira pukul tiga sore lebih sedikit. Hujan turun mengguyur wilayah Sleman kala itu. Satu santriwan berbaju oranye tampak teralihkan, melihat keluar pintu pendopo memandangi hujan. Pengasuh di depannya kemudian mencolek lembut wajah santriwan tersebut mengingatkannya untuk kembali fokus. 

Pengasuh bergamis dan peci putih ini lalu mengangkat Alquran sambil mengeja ayat Alquran dengan gerakan tangan di depan santri tersebut. Secara tersirat, si pengasuh ini seolah berkata, "Nak, kembali perhatikan bacaanmu."

Yang diingatkan kembali memperhatikan si pengasuh yang tengah menunjuk ayat Alquran melalui bahasa isyarat. Keheningan yang syahdu kembali, ditemani gerakan-gerakan isyarat dan bisikan lembar-lembar Alquran yang dibalik, serta aroma segar yang khas saat rinai hujan menyentuh tanah. 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat