Seorang alim dari Lamongan, Jawa Timur, KH Muhammad Amin Musthofa, dikenang sebagai salah satu perintis awal pesantren-pesantren Muhammadiyah. | DOK Yayasan al Amin

Mujadid

KH Muhammad Amin Musthofa, Alim Muhammadiyah dari Paciran

Kiai Amin sangat tegas dalam memerangi segala bentuk tradisi yang mengandung syirik dan khurafat.

OLEH MUHYIDDIN

Rubrik Mujadid edisi Ahad (17/1) lalu mengangkat ketokohan seorang ulama Muhammadiyah dari Paciran, Kabupaten Lamongan, Jawa Timur, yakni KH Abdurrahman Syamsuri. Adapun uraian singkat kali ini juga membahas sosok mubaligh Muhammadiyah dari daerah yang sama.

Dialah KH Muhammad Amin Musthofa. Tokoh yang akrab disapa Mbah Amin atau Mbah Yai Amin itu termasuk satu generasi di atas Kiai Syamsuri. Keduanya memang pernah belajar pada guru yang sama, yakni Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari, sang pendiri Nahdlatul Ulama (NU).

Demikian pula, rekam jejak perjuangannya tercatat dalam gerakan Laskar Hizbullah, khususnya yang mencakup wilayah Lamongan, Tuban, dan Gresik. Bila Kiai Syamsuri diketahui merintis Pondok Pesantren Karangasem, Kiai Amin Musthofa mendirikan Pondok Pesantren al-Iman wal Islam.

Kedua tokoh persyarikatan itu terbilang sukses dalam menghadirkan lembaga pendidikan Islam tradisional yang lestari hingga sekarang. Al-Iman wal Islam belakangan dinamakan Pondok Pesantren al-Amin Tunggul untuk mengenang jasa-jasa pendirinya.

KH Muhammad Amin Musthofa lahir pada 1910 di Desa Kranji, Kecamatan Paciran, Kabupaten Lamongan. Ia adalah putra pendiri Pondok Pesantren (Ponpes) Tarbiyatut Tholabah Kranji, KH Musthofa Abdul Karim.

Ibundanya bernama Nyai Hajjah Aminah binti KH Moh Sholeh Tsani, seorang dai yang berasal dari Bungah, Gresik. Amin merupakan anak ketujuh dari 10 bersaudara. Total ada dua orang perempuan dan delapan laki-laki.

Beberapa sumber mengungkapkan, silsilah nasab Kiai Amin Musthofa sampai kepada Nabi Muhammad SAW, terutama melalui jalur Raden Qosim atau Sunan Drajat. Sebab, Kiai Abdul Karim merupakan keturunan salah seorang wali songo di Tanah Jawa itu.

 
Beberapa sumber mengungkapkan, silsilah nasab Kiai Amin Musthofa sampai kepada Nabi Muhammad SAW, terutama melalui jalur Raden Qosim atau Sunan Drajat.
 
 

Dari garis ayahnya pula, ia memperoleh darah kebangsawanan. Hal itu didasarkan pada fakta, silsilah Kiai Abdul Karim sampai kepada Mas Karebet alias Joko Tingkir dalam tingkatan ke-10. Yang cukup istimewa, jalur kekerabatan hingga ke sang pendiri Kerajaan Pajang itu juga diperoleh dari istri Mbah Amin, yaitu Aminah binti Mahbub.

Saat masih berusia anak-anak, Amin Musthofa belajar kepada Kiai Abdul Karim di Pondok Tarbiyatut Tholabah Kranji. Ya, pendidikan dasar pertama-tama diperoleh langsung dari bapaknya sendiri. Pesantren yang diasuh ayahnya itu mengajarkan berbagai kitab klasik. Pengajarannya dilakukan dengan metode wetonan.

Sekurang-kurangnya, 25 tahun Amin menuntut ilmu di Kranji, yakni antara 1918 dan 1923. Bagaimanapun, dirinya tidak melulu berkutat di lembaga tersebut. Seperti para ulama pada masanya, ia pun menjadi seorang santri kelana.

Perjalanan ditempuhnya dari satu pesantren ke pesantren lainnya demi menimba ilmu-ilmu agama. Tercatat, dia pernah belajar di Tebuireng, Tremas, Ngeloh, Sepanjang, Kediri, dan Maskumambang. Puncaknya, rihlah keilmuannya sampai ke Tanah Suci. Pada 1936, putra daerah Lamongan itu pernah bermukim di kota kelahiran Rasulullah SAW.

Kemampuan akademiknya memang melampaui rata-rata santri. Ia cenderung mudah dalam menangkap setiap materi pelajaran yang disampaikan para guru, ustaz, atau kiai sepuh. Di samping itu, dia tidak pernah menyia-nyiakan waktu lewat begitu saja.

Pada setiap kesempatan selalu diisinya dengan aktivitas bermanfaat, seperti belajar, beribadah, atau beristirahat. Lebih khusus lagi, tidak pernah dilalaikannya kebiasaan membaca kitab-kitab kuning dan mendaras Alquran. Bahkan, Amin mampu menghafal Alquran dalam waktu satu bulan saja.

 
Amin mampu menghafal Alquran dalam waktu satu bulan saja.
 
 

Sebagai contoh, tatkala putra pasangan Kiai Musthofa dan Nyai Aminah itu masih bertungkus lumus belajar di Pondok Pesantren Tebuireng Jombang. Di lembaga yang diasuh Mbah Hasyim Asy’ari itu, dia semakin tekun menuntut ilmu. Malahan, saat ia memasuki kelas lima, diceritakan bahwa tak seorang pun ustaz “berani” mengajar Amin. Kitab Alfiyah karya Ibnu Malik saja berhasil dihafalkannya dalam waktu satu malam.

Ia memperoleh sanad hafalan dari KH Munawwar Nur Sidayu. Gurunya ini merupakan salah satu ulama di Indonesia yang memegang ijazah qiraat. Sanadnya, yang didapatkan ketika belajar di Makkah, diyakini sampai kepada Rasulullah SAW. Dengan demikian, kematangan akademik ini menjadikan Amin sebagai pembelajar yang melampai banyak orang pada masanya.

Kiprah sejak muda

Umumnya, dai-dai mendirikan pesantren atau lembaga pendidikan Islam lainnya saat berumur mapan. Bahkan, tak sedikit yang mencapai usia sepuh ketika menginisiasi berdirinya majelis ilmu-ilmu agama. Hal itu tidak dialami Kiai Amin. Sebab, dia terbilang masih muda—sekitar 24 atau 26 tahun—tatkala mendirikan sekaligus mengasuh Pondok Pesantren al-Iman wal Islam.

Institusi yang beralamat di Desa Tunggul, Kecamatan Paciran, Kabupaten Lamongan, Jawa Timur, itu kemudian diubah namanya menjadi Pondok Pesantren al-Amin demi mengenang jasa-jasa sang pendiri sekaligus mengingatkan pada sosok Nabi Muhammad SAW. Seperti diketahui, Rasulullah SAW sejak masa mudanya bergelar “yang tepercaya” (al-Amin).

Di seluruh Lamongan, al-Iman wal Islam merupakan pondok pesantren tertua kedua. Yang paling awal tidak lain adalah Pondok Pesantren Tarbiyatut Tholabah Kranji yang didirikan ayah sang alim.

Dalam perkembangannya, Yayasan al-Amin yang menaungi pesantren tersebut membuka Madrasah Ibtidaiyah pada 1958. Pengasuhnya saat itu adalah KH Ahmad Hazim Amin, putra sulung Kiai Amin.

Pada waktu itu, lembaga tersebut menjadi madrasah ibtidaiyah pertama di kawasan pantai utara Jawa (pantura). Selanjutnya, yayasan tersebut membuka beberapa lembaga baru, termasuk SMP dan SMA al-Amin serta Madrasah Diniyah. Hingga kini, legasi dari sang kiai semakin menjadi lembaga pendidikan modern yang tak kehilangan jati diri pesantrennya.

 
Kiai Amin menerapkan cara pengajaran yang tergolong progresif saat itu.
 
 

Kiai Amin menerapkan cara pengajaran yang tergolong progresif saat itu. Meskipun tetap memanfaatkan berbagai kitab kuning, sebagaimana pesantren pada umumnya, ia memperkenalkan metode belajar-mengajar dengan dialog, tanya jawab dan diskusi antara guru dan para santrinya. Mereka juga diajarkan menghafal Alquran. Kemudian, para peserta didik juga diberikan teknik berpidato untuk kepentingan tabligh.

Dalam hal akidah, Kiai Amin juga sangat tegas dan jelas dalam memerangi segala bentuk tradisi yang mengandung syirik dan khurafat. Hal ini disampaikannya melalui berbagai kesempatan, baik secara lisan maupun tulisan.

Dalam berkarya, ia pernah menulis kitab Aqidatul Mardliyah. Buku itu berbahasa Arab dalam bentuk nazam, yakni syair-syair yang bernuansa edukatif dan dapat dihafalkan karena ritmis. Dengan begitu, para santri pemula yang mengaji di masjid atau langgar di sekitar desanya dapat mengerti kandungan pesan moral di dalamnya dengan mudah.

Dalam hal ubudiyah, Kiai Amin juga terkenal akan pendiriannya yang teguh. Para santri dan umumnya masyarakat Muslimin selalu diimbaunya untuk merujuk pada Alquran dan Sunnah Nabi SAW terkait perkara-perkara agama. Dengan begitu, mereka diharapkan tidak akan menyimpang dari kebenaran.

Selain mengurus pesantren, Kiai Amin juga mempunyai andil dalam penyebaran gerakan Muhammadiyah, khususnya sejak zaman penjajahan Belanda. Dalam hal ini, ia dapat digolongkan sebagai salah seorang sesepuh pesantren Muhammadiyah, bahkan menjadi teladan generasi di bawahnya, termasuk KH Abdurrahman Syamsuri.

 
Selain mengurus pesantren, Kiai Amin juga mempunyai andil dalam penyebaran gerakan Muhammadiyah, khususnya sejak zaman penjajahan Belanda.
 
 

Aktivitasnya di organisasi tersebut cukup luas dan beragam. Tak sedikit santrinya yang turut aktif dalam persyarikatan yang didirikan pada 18 November 1912 oleh KH Ahmad Dahlan itu.

Pada akhirnya, dai-dai hasil kaderisasi yang diterapkan Kiai Amin berhasil menjadi pimpinan Muhammadiyah. Sebut saja, KH Ahmad Khazim. Putra Mbah Amin ini tercatat pernah aktif di jajaran Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Bojonegoro.

Di samping itu, ada KH Mahbub Ihsan. Sosok pendiri Pondok Pesantren al-Ma’hadul Islamy ini pernah menjadi ketua PWM Tuban. Kemudian, KH M Shawab Mabrur yang juga perintis Madrasah Ibtidaiyah al-Islam di Godog Laren, pernah mengetuai PWM Laren pertama. Adapun seorang santri Mbah Amin, KH Abu Ma’sum, menjadi aktivis Gerakan Kepanduan Hizbul Wathan.

Kiai Amin menikah dengan seorang perempuan asal Dukun, yaitu Aminah bin Mahbub bin Muhsinah bin Abd Djabbar Maskumambang. Dari pernikahannya ini, ia dikaruniai enam anak. Mereka seluruhnya menjadi penerus pejuangan sang kiai dalam mendakwahkan Islam.

Beberapa nama dapat disebutkan di sini. Selain KH Ahmad Hazim, ada KH Sabiq Suryanto Amin yang menjadi pendiri dan pengasuh Pondok Pesantren Manarul Qur’an Paciran. Selanjutnya, KH Abdulloh Amin yang mendirikan Pondok Tahfidh di Perumahan Galaxi Bekasi, Jawa Barat. Adapun KH Miftahul Fatah Amin menjadi pengasuh Pondok Pesantren al-Amin Tunggul saat ini. 

photo
Perjuangan kemerdekaan Indonesia sarat akan peran alim ulama. Di antara mereka, tercatat sosok aktivis Muhammadiyah dari Lamongan, Jawa Timur, yakni KH Muhammad Amin Musthofa. Salah satu perannya ialah tatkala Pertempuran Surabaya 10 November 1945 meletus. - (DOK Antara/Akbar Tado)

Jejak Heroisme di Momen 10 November

KH Muhammad Amin Musthofa, sang pendiri Ponpes al-Amin Tunggul, dapat dipandang sebagai seorang pahlawan bangsa. Putra pendiri Ponpes Tarbiyatut Tholabah Kranji, KH Musthofa Abdul Karim, ini turut berjuang di garda depan dalam mengusir penjajah. Perjuangannya terus berlanjut hingga masa revolusi, mempertahankan kedaulatan Republik Indonesia.

Kiprah sosok yang akrab disapa Mbah Yai Amin itu dapat dilihat dari sepak terjangnya di Laskar Hizbullah. Laskar Hizbullah (harfiah: “Tentara Allah”) didirikan menjelang akhir pendudukan Jepang di Indonesia, tepatnya pada 8 Desember 1944.

Laskar itu terdiri atas barisan para pemuda Islam dan kaum santri dari seluruh Indonesia. Mulanya, Jepang mendukung pembentukan Laskar Hizbullah karena dipandang sebagai kekuatan cadangan di luar pasukan Pembela Tanah Air (PETA).

Akan tetapi, seiring dengan berjalannya waktu, para tokoh Muslim menjadikan Laskar Hizbullah sebagai tenaga penyokong demi mempersiapkan diri sebelum Indonesia merdeka. Dengan tujuan itu, pondok-pondok pesantren diminta untuk mengirimkan para santrinya untuk dijadikan anggota laskar.

Mereka dilatih secara militer di sebuah pusat pelatihan yang diawasi tentara Jepang. Setelah itu, para laskar kembali pulang. Mereka ditugaskan untuk mencari, melatih, dan membentuk cabang Laskar Hizbullah di daerah masing-masing.

Laskar Hizbullah pun terbentuk di Jombang. Kebetulan, saat itu Mbah Amin masih menjadi santri muda di Ponpes Tebuireng. Ia merasa terpanggil untuk ikut berjihad bersama dengan kesatuan tersebut. Keputusannya pun terinspirasi dari sosok KH Hasyim Asy’ari, yang menjadi motor semangat arek-arek pejuang dalam medan tempur 10 November 1945 di Surabaya.

 
Karena keahlian dan keberaniannya dalam melawan penjajah, Kiai Amin kemudian diangkat sebagai komandan Hizbullah.
 
 

Karena keahlian dan keberaniannya dalam melawan penjajah, Kiai Amin kemudian diangkat sebagai komandan Hizbullah. Wilayah pengawasannya mencakup kawasan pantai utara Jawa (pantura), termasuk Lamongan, Tuban, dan Gresik. Bersama dengan ribuan santri, ia pun berangkat ke Surabaya menjelang pertempuran besar yang kelak diperingati sebagai Hari Pahlawan Nasional itu.

Turut serta dalam peperangan tersebut KH Abdurrahman Syamsuri, Kiai Ridlwan Syarqowi, dan KH Anwar Mu’rot. Selain itu, ada pula KH Adnan Noer, KH Anshory, KH Sa’dullah, dan beberapa alim ulama lainnya.

Untuk pendanaan memobilisasi santri dan logistiknya, Kiai Amin menyerahkan 100 gram emas. Logam mulia itu berupa kalung, gelang, cincin, atau batangan. Kedermawanannya mengundang simpati para kiai dan santri lainnya. Karena itu, kisah Kiai Amin cukup legendaris sampai sekarang.

Menurut sebuah sumber, konon Kiai Amin disebut-sebut kebal senjata. Berita tersebut bahkan tersebar luas melalui radio-radio pejuang yang disiarkan secara berkala. Ulama muda tersebut juga dinarasikan tidak mengalami luka-luka, padahal musuh telah melempar sebuah bom kepadanya.

Karena kabar sayup-sayup itulah, kepulangan Kiai Amin dari gelanggang Surabaya disambut ribuan orang. Banyak di antara mereka mengantre untuk meminta ijazah ‘kekebalan’ darinya. Namun, Kiai Amin memberikan klarifikasi, dirinya tidak mati bukan karena memiliki ilmu kebal, melainkan lemparan bom musuh meleset dari sasaran.

 
Kiai Amin memberikan klarifikasi, dirinya tidak mati bukan karena memiliki ilmu kebal, melainkan lemparan bom musuh meleset dari sasaran.
 
 

Pada masa Agresi Belanda II, Kiai Amin bersama saudaranya, KH Muhtadi tertangkap. Keduanya lalu ditembak prajurit Belanda di Desa Dagan, Kecamatan Solokuro, Kabupaten Lamongan. Sang ulama yang pejuang itu wafat dalam usia 39 tahun, tepatnya pada 13 Ramadhan 1368 Hijriah atau 9 Juli 1949.

Sebelum ditembak mati, Kiai Amin diketahui sempat mengajukan permintaan untuk mengumandangkan azan terlebih dahulu. Jenazahnya kemudian dikebumikan di Desa Dagan, Kecamatan Solokuro. Namanya diabadikan hingga kini sebagai nama jalan besar di Lamongan.

 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat