Oni Sahroni | Daan Yahya | Republika

Konsultasi Syariah

Suami Wafat, Nafkah Anak Kewajiban Siapa?

Apakah menjadi kewajiban seorang ibu untuk menafkahi anak yatim yang masih kecil?

DIASUH OLEH DR ONI SAHRONI, Anggota Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia

Assalamualaikum wr wb. Saya seorang ibu. Suami saya wafat meninggalkan anak yang masih kecil dan sedang saya asuh serta nafkahi sekarang. Saya ingin bertanya, apakah menjadi kewajiban seorang ibu untuk menafkahi dan membiayai anak-anak yang masih kecil? Atau ada pihak lain yang seharusnya ikut membiayai anak-anak ini? Mohon penjelasan Ustaz! -- Fitri, Bandung

Waalaikumussalam wr wb.

Pada dasarnya, setiap anak yang ditinggal wafat bapaknya (dalam kondisi finansial yang membutuhkan) itu menjadi tanggung jawab seluruh ahli warisnya atau kerabatnya (keluarga almarhum) serta ditentukan siapa dan berapa kontribusinya berdasarkan musyawarah. Misalnya, ahli waris yang mempunyai kemampuan finansial itu membiayai finansial anak tersebut, sedangkan ibu kandungnya yang mendidiknya.

Kesimpulan tersebut dapat dijelaskan dalam poin-poin berikut. Pertama, kaidah dasarnya menurut Islam, jika seorang ayah wafat dan meninggalkan istri serta anak-anak yang masih dalam tanggungan nafkah maka kewajiban nafkah terhadap anak tersebut ada pada ahli warisnya atau kerabatnya (keluarga almarhum).

Ini sebagaimana yang dijelaskan oleh Imam Ibnu Qudamah dalam al-Mughni, "Jika anak-anak tidak memiliki bapak maka kewajiban nafkahnya ada pada ahli warisnya." Sebagaimana dijelaskan dalam al-Mausu'ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah, "Jika anak yatim memiliki harta atau aset maka pihak yang diberikan wasiat membia yainya dari aset tersebut dengan kadar yang lazim. Tetapi, jika ia tidak memiliki aset atau harta, maka kerabatnya yang bertanggung jawab untuk membiayainya. Jika tidak ada aset dan kerabatnya maka kewajiban biayanya itu ada pada negara."

Misalnya, saat suami wafat dan meninggalkan istri, anak yang masih kecil, kakek, dan saudara almarhum, pihak yang bertanggung jawab atas nafkah anak tersebut adalah mereka yang mewarisinya.

Namun, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia menyebutkan secara definitif bahwa yang bertanggung jawab itu adalah pihak yang memberikan nafkah kepada ayahnya, "Apabila ayahnya telah meninggal dunia maka biaya penyusuan dibebankan kepada orang yang berkewajiban memberi nafkah kepada ayahnya atau walinya." (Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Pasal 104).

Kedua, pihak yang berkontribusi dan berapa kontribusinya serta peran ibu bagi anak- anak yatim dapat dimusyawarahkan sesuai dengan kondisi keuangan ahli waris dan kebutuhan finansial anak-anak dengan merujuk pada kelaziman. Saat kondisi finansial ahli waris berbeda-beda, maka sebaiknya dimusyawarahkan kontribusi masing-masing atas biaya pengasuhan, pendidikan, kesehatan, dan lain-lain untuk anak-anak keturunan almarhum.

Di antara salah satu pilihan adalah pembagian tugas. Misalnya, ahli waris dari keluarga ayah bersama-sama menanggung nafkah anak-anak, sedangkan ibu sebagai istri almarhum membimbing dan mendidik anak-anak. Dengan pemilahan tersebut, semoga anak-anak tumbuh dewasa menjadi anak-anak yang saleh.

Ketiga, ketentuan tersebut berlaku saat anak yatim tersebut tidak memiliki harta yang cukup (seperti harta warisan) untuk menjadi sumber biaya kehidupannya dan saat anak-anak yatim tersebut itu belum dewasa. Sebagaimana tersirat dalam firman Allah SWT, "... Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta) maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya ...." (QS an-Nisa: 6).

Keempat, membiayai anak-anak yatim itu menjadi tuntunan Rasulullah SAW, "Saya dan orang yang menanggung hidup anak yatim seperti dua jari ini ketika di surga. Beliau berisyarat dengan jari telunjuk dan jari tengah, dan memisahkannya sedikit." (HR Bukhari).

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat