Terdakwa Pinangki Sirna Malasari menjalani sidang lanjutan di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Rabu (6/1). | Republika/Thoudy Badai

Kisah Dalam Negeri

'Kalau Jaksa Agung, Saya Sudah Mundur, Pak'

Seharusnya mundur dari Jaksa Agung ketika anak buahnya terungkap menyalahgunakan kewenangan.

OLEH NAWIR ARSYAD AKBAR

Jaksa Agung Sanitar Burhanuddin mendapat cecaran tak menyenangkan saat rapat kerja dengan Komisi III DPR pada Selasa (26/1). Anggota Komisi III Supriansa mengaku kecewa dengan jaksa yang menuntut Pinangki Sirna Malasari dengan penjara empat tahun dan denda Rp 500 juta.

Padahal, mantan pejabat di Kejakgung itu menerima suap dari buron kasus korupsi paling dicari, Djoko Soegiarto Tjandra. "Saya melihat belum profesional Kejaksaan Agung selama ini yang saya banggakan, ternyata juga berbeda dari harapan kalau saya bandingkan tuntutan Pinangki yang dituntut empat tahun," ujar Supriansa.

Pinangki, kata dia, seharusnya dituntut lebih berat, apalagi Pinangki terbukti bertemu dengan sang buronan di Malaysia. Ia membandingkan dengan Jaksa Urip Tri Gunawan yang dituntut 15 tahun penjara oleh jaksa penuntut umum (JPU) terkait kasus suap Rp 6 miliar pada 2008.

"Ini mempertontonkan bahwa kita tidak profesional dalam menempatkan kasus Urip 2008. Pinangki 2019-2020 semakin hari (seharusnya) semakin tinggi tuntutan, tetapi justru semakin rendah dengan kasus nilai yang sama," ujar dia.

Ia pun menyinggung ST Burhanuddin yang seharusnya mundur dari posisi Jaksa Agung ketika anak buahnya terungkap menyalahgunakan kewenangannya. "Kalau saya jaksa itu waktu itu Pak, saya mengundurkan diri karena saya tidak bisa membina saya punya anak-anak di bawah, sebagai pertanggungjawaban moral kepada publik," ujar politikus Partai Golkar itu.

Jaksa penuntut umum (JPU) sebelumnya menuntut majelis hakim Pengadilan Tipikor menjatuhkan hukuman empat tahun penjara terhadap Pinangki Sirna Malasari. Jaksa menilai, mantan kepala Sub Bagian Pemantauan dan Evaluasi II Biro Perencanaan Jaksa Agung Muda Pembinaan di Kejakgung itu terbukti atas perkara suap, pencucian uang, dan permufakatan jahat.

Skandal Djoko Tjandra terdiri dari tiga kasus yang ditangani berbeda. Tidak hanya Pinangki, kasus itu juga melibatkan dua perwira tinggi kepolisian, Irjen Napoleon Bonaparte dan Brigjen Prasetijo Utomo, politikus Nasdem Andi Irfan Jaya, pengusaha Tommy Sumardi, dan pengacara Anita Kolopaking.

Namun, tuntutan untuk para terdakwa dari tiga kasus tersebut kurang dari lima tahun penjara. Andi Irfan dituntut 2,5 tahun, Tommy Sumardi 1,5 tahun, Anita Kolopaking dua tahun, Prasetijo Utomo 2,5 tahun, dan Djoko Tjandra dua tahun.

Menjawab cecaran Supriansa, Jaksa Agung Burhanuddin mengeklaim tuntutan tersebut sudah terukur. "Kenapa Urip 18 tahun dan Pinangki empat tahun, nanti ada, kami sudah terukur Pak," singkat Burhanuddin.

Ia menunjuk Jaksa Agung Muda Pidana Khusus Kejagung Ali Mukartono yang akan menjelaskan lebih lanjut terkait hal ini. Ali juga berada dalam ruang rapat tersebut. Namun, hingga rapat selesai, baik Burhanuddin atau Ali tak menjelasakannya lebih lanjut.

Indonesia Corruption Watch (ICW) juga menyoroti tuntutan ringan kepada para tersangka, utamanya kepada Pinangki. Menurut ICW, Pinangki layak dituntut hukuman pemidana maksimal. "ICW berpandangan semestinya, tuntutan yang layak kepada Pinangki adalah hukuman pemidanaan maksimal, yakni 20 tahun penjara," kata peneliti ICW, Kurnia Ramadhana, Selasa (12/1).

Tuntutan empat tahun untuk tiga dakwaan yang menjerat Pinangki sangatlah ringan. Terlebih, Pinangki dalam perkara pemufakatan jahat berencana menyuap Jaksa Agung Burhanuddin dan mantan ketua Mahkamah Agung Hatta Ali. "Tuntutan yang dibacakan oleh jaksa terhadap Pinangki sangat ringan, tidak objektif, dan melukai rasa keadilan," ujarnya. 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat