Margareta Wiyanda Handoyo atau yang akrab disapa Aga mulai tertarik pada Islam setelah berkenalan dengan Jati, yang kemudian menjadi calon suaminya. | DOK IST

Oase

Margareta Wiyanda Handoyo, Hidayah Datang dengan Indahnya

Margareta Handoyo mengenal Islam melalui calon suaminya. Hidayah itu datang dengan indahnya.

OLEH RATNA AJENG TEJOMUKTI

 

Cahaya Islam menyinari hati setiap orang dengan cara yang berbeda-beda. Ada yang sejak lahir dibesarkan oleh keluarga yang memeluk Islam. Tak sedikit pula yang “harus” berupaya sendiri untuk meraih hidayah. Mereka adalah orang-orang yang merasa terpanggil untuk mencari kebenaran.

Kata hidayah berarti 'petunjuk'. Ayat keenam dari surah al-Fatihah berbunyi, “Ihdina ash-shiraat al-mustaqiim,” 'tunjukkan kami jalan yang lurus'. Kata pertamanya, ihdina, berasal dari hidayah dan jamaknya disebut sebagai hudan. Dengan demikian, ada banyak makna hidayah. Salah satunya adalah adh-dhilalah, yakni bimbingan Allah lewat hati manusia dengan lemah-lembut.

Adh-dhilalah itulah yang dirasakan seorang mualaf asal Pekalongan, Jawa Tengah, Margareta Wiyanda Handoyo. Perempuan yang akrab disapa Aga itu mengenang, dirinya pertama kali tertarik kepada Islam pada masa menjelang pernikahan. Tak pernah terbayangkan sebelumnya bahwa ia akan berjodoh dengan seorang Muslim.

Menikah memang menjadi jalan Aga untuk menemukan cahaya Islam. Akan tetapi, wanita berusia 20 tahun ini mengaku, saat itu dirinya tidak ingin sekadar mengikuti agama sang calon suami. Sebab, iman mengimplikasikan tanggung jawab pribadi.

Bahkan, pertanggungjawaban itu tidak hanya berlaku di dunia, tetapi juga akhirat. Karena itu, keliru bila dipandang bahwa dirinya memeluk Islam semata-mata untuk bisa menikah.

 
Menikah memang menjadi jalan Aga untuk menemukan cahaya Islam.
 
 

Apalagi, sejak kecil Aga sudah dididik dalam lingkungan yang religius. Kedua orang tuanya selalu pergi ke tempat ibadah setiap akhir pekan. Beberapa anggota keluarga besarnya malahan terbilang fanatik dalam urusan agama. Belakangan, inilah yang menjadi salah satu ujian baginya ketika sudah memeluk Islam.

Sedari kecil hingga remaja, Aga menempuh jenjang pendidikan dengan lancar di sekolah-sekolah swasta. Mungkin karena itu, dirinya hampir tidak pernah memiliki teman yang beragama Islam. Kalaupun ada, mereka sekadar kenal.

Pada 2016, beberapa kawan memperkenalkannya dengan seorang pria bernama Jati Pratama. Seperti dirinya, lelaki itu juga memiliki darah Tionghoa. Awalnya, tidak ada yang spesial di antara mereka.

Namun, lama kelamaan Aga menaruh hati kepadanya. Begitu pula dengan Jati, yang ternyata menyukai dirinya. Bahkan, beberapa bulan kemudian Jati mengungkapkan keinginannya untuk menikah dengan Aga.

Hal itu tentu membuatnya senang. Akan tetapi, barulah ketika itu dirinya menyadari bahwa pria tersebut ternyata seorang Muslim. Sebelumnya, Aga mengira, lelaki itu sama seperti dirinya hanya karena melihat dari kesamaan suku etnis dan adat istiadat. Terlebih lagi, Jati pernah mengundangnya untuk ikut dalam sebuah acara keluarga yang sarat unsur religius Tionghoa.

Keduanya lalu berbincang serius tentang kemungkinan menjalani masa depan bersama. Hingga saat itu, mereka belum membahas agama satu sama lain. Yang ia pahami, lelaki tersebut memang serius ingin mengajaknya menikah.

“Saya tidak curiga karena kenal orang tua Mas Jati. Papanya menggunakan nama mandarin,” ujar ibu dari dua orang putri kembar ini saat menceritakan masa lalunya kepada Republika baru-baru ini.

 
Saya tidak curiga karena kenal orang tua Mas Jati. Papanya menggunakan nama mandarin
 
 

Aga mengenang, waktu itu dirinya tentu saja tidak marah atau gusar begitu mengetahui agama Jati yang sebenarnya. Lagipula, sejak awal lelaki itu tidak ada tendensi sama sekali untuk, katakanlah, menutup-nutupi keislamannya. Malahan, identitas agamanya ditunjukkan secara sewajarnya. Ambil contoh, ketika datang waktunya shalat, Jati sering pamit sebentar agar bisa melaksanakan ibadah tersebut di musala atau masjid terdekat.

Karenanya, Aga menerima kesan bahwa ajaran agama turut membentuk karakter calon suaminya itu. Alasan demikian juga menimbulkan rasa ingin tahunya tentang Islam. Ketertarikannya untuk mempelajari agama ini semakin besar sejak dirinya mengenal lebih dekat keluarga Jati. Mereka semuanya adalah Muslim yang beretnis Tionghoa.

Kedua orang tua Jati pun menunjukkan sikap ramah terhadapnya. Aga kemudian mulai berterus terang kepada ayah dan ibunya sendiri tentang Jati, pria yang ingin melamarnya sebagai calon istri. Setelah menceritakan profil lelaki itu apa adanya, di luar dugaan keduanya menerima dengan baik. Bahkan, mereka tidak mempersoalkan bahwa lelaki yang disukai putrinya itu ternyata memeluk agama yang berbeda.

“Saya tidak tahu, apa yang membuat ibu saya yang tadinya fanatik terhadap agamanya sendiri menjadi mau menerima suami saya (waktu itu sebagai calon suami –Red),” kenangnya.

 
Saya tidak tahu, apa yang membuat ibu saya yang tadinya fanatik terhadap agamanya sendiri menjadi mau menerima suami saya.
 
 

Meski sudah menjalin hubungan, Aga dan Jati cukup jarang bertemu langsung. Sebab, keduanya dipisahkan oleh jarak. Aga menempuh studi di sebuah universitas di Jakarta, sedangkan calon suaminya itu bekerja di Pekalongan. Komunikasi lebih sering dilakukan melalui sambungan telepon.

Setelah melihat respons baik dari orang tua masing-masing, keduanya mulai serius mempersiapkan berbagai hal untuk proses lamaran. Aga mengatakan, persiapan paling penting justru berkaitan dengan soal mental.

Sejauh itu, tidak pernah sekalipun Jati membujuknya untuk berpindah agama, apalagi sampai memaksanya. Karena itu, ia cenderung merasa nyaman untuk meneruskan hubungan ke jenjang yang lebih serius: pernikahan.

Keduanya lalu bersepakat bahwa lamaran bisa dilakukan ketika Aga lulus kuliah. Tak menunggu waktu lama, setelah ia berhasil meraih gelar sarjana, rencana pernikahan pun dimatangkan. Jati juga telah bertemu dengan ayah dan ibu perempuan tersebut. Pertemuan berlangsung hangat. Intinya, dari pihak orang tua Aga tidak keberatan bila putrinya itu berpasangan dengan Jati.

 
Jika memang memutuskan pindah agama, maka harus menjalani agama yang sudah kita pilih itu dengan sebaik-baiknya.
 
 

Pada suatu hari, tutur Aga, ia mendekati ibunya untuk membahas soal pernikahan menurut agama Islam. Waktu itu, sang ibu tidak melarang ataupun mendukung. Hanya saja, Aga diberi nasihat tentang pentingnya memilih calon pasangan hidup yang takut pada Tuhan. Baginya, Jati termasuk sosok yang baik dan taat beragama.

Karena itu, jika Aga memang mau menikah dengan lelaki pilihannya itu, sang ibu tidak akan mempermasalahkannya. Sebaliknya, Aga pun diwanti-wanti agar nanti ketika menjadi seorang istri selalu taat kepada suami.

“Jika memang memutuskan pindah agama, maka harus menjalani agama yang sudah kita pilih itu dengan sebaik-baiknya,” ujarnya menirukan perkataan ibunya.

photo
Margareta Wiyanda Handoyo dan Jati Pratama saat pernikahan keduanya. - (DOK IST)

Memeluk Islam

Antara tahun 2017 dan 2018 merupakan periode paling penting dalam hidup Aga dewasa. Ia membulatkan tekadnya untuk memeluk agama Islam. Bukan dalam rangka menyenangkan hati calon suaminya, tetapi lebih kepada kesadarannya sendiri. Ia terkesan pada kehidupan Jati dan keluarganya sebagai Muslimin yang taat beribadah.

Suatu hari, Aga bertemu dengan calon suaminya itu di Pekalongan. Disampaikanlah niatnya untuk menjadi seorang Muslimah. Jati kemudian berjanji akan mengabarkan hal ini kepada keluarganya. Untuk kemudian, mereka akan menyampaikan berita ini kepada seorang ustaz yang memang rutin datang ke rumahnya untuk mengajarkan Alquran. Melalui ustaz tersebut, Aga akan mendapatkan bimbingan tentang seluk-beluk akidah dan ibadah menurut Islam.

Beberapa hari kemudian, sesuai rencana Aga pun datang ke rumah Jati. Di sana, telah menunggu kedua orang tua Jati dan ustaz yang dimaksud. Kepada perempuan ini, para calon mertuanya itu menghadiahkan mukena dan sajadah.

photo
Sejak menjadi Muslimah, Margareta Wiyanda Handoyo langsung memutuskan untuk konsisten berhijab. Keputusan ini disambut positif suami dan keluarga, termasuk mertua. - (DOK IST)

Awalnya, kenang Aga, dirinya diajarkan tentang tata cara shalat, termasuk bacaan yang rukun-rukun saja. Setelah itu, ustaz tersebut menerangkan tentang tauhid, yakni keyakinan bahwa hanya Allah SWT yang patut disembah.

Beberapa bulan sebelum Ramadhan tahun 2018, Aga mengucapkan syahadat. Prosesi yang khidmat ini dilakukan di sebuah gedung dengan mengundang beberapa orang tamu. Pembimbingnya dalam melafalkan dua kalimat yang sakral itu adalah seorang kiai yang cukup populer di tengah masyarakat setempat.

Setelah bersyahadat, Aga mengatakan, dirinya kemudian lebih semangat dalam mempelajari berbagai aspek tentang ajaran Islam. Salah satunya adalah kajian pranikah. “Karena sudah berniat memeluk Islam, maka sejak bersyahadat itu hal-hal yang haram telah saya tinggalkan. Termasuk memakan sajian dan minuman yang haram,” ujar dia.

 
Karena sudah berniat memeluk Islam, maka sejak bersyahadat itu hal-hal yang haram telah saya tinggalkan. Termasuk memakan sajian dan minuman yang haram.
 
 

Memasuki bulan suci Ramadhan, ia pun ikut melaksanakan puasa wajib. Diakuinya ibadah ini sempat membuatnya lemas, terutama pada siang hari. Namun, dukungan terus mengalir dari calon suami dan calon ibu mertuanya. Bahkan, kedua orang tuanya pun menyemangatinya dengan mengingatkan, konsekuensi dari beriman adalah menjalankan ibadah agama yang diimaninya itu.

Pada 2019, Aga akhirnya menikah dengan Jati. Pasangan ini termasuk cepat memiliki anak. Setelah melahirkan, ia kemudian memutuskan untuk memakai jilbab. “Suami sangat mendukung saya, begitu juga ibu mertuaku, sangat senang melihat menantunya kini berhijab,” ucapnya.

Ia bercita-cita, terutama setelah pandemi Covid-19 ini usai, dirinya dapat berumrah ke Tanah Suci bersama suami dan mertua terkasih.

 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat