Ahmad Syafii Maarif | Daan Yahya | Republika

Resonansi

Perantau Minang BD dan Covid-19

Ada kebaikan dari mereka-mereka yang terdampak pandemi.

Oleh AHMAD SYAFII MAARIF

OLEH  AHMAD SYAFII MAARIF

Drama tragis dan mematikan akibat serangan Covid-19 tidak akan pernah selesai dibicarakan. Jangankan untuk ukuran dunia, laporan tentang dampak destruktifnya terhadap Indonesia saja bisa ditulis dalam ribuan halaman.

Mulai dari korban para dokter, petugas kesehatan, ekonomi yang jatuh, plus derita rakyat banyak dalam jumlah yang sudah puluhan ribu. Perantau Minang BD (singkatan) adalah salah satu korban, sekalipun tidak terlalu parah. Dia tidak terpapar pandemi, tetapi ada sisi-sisi lain tentang perantau ini yang akan bercerita lebih jauh.

BD kelahiran Medan pada 1 Oktober 1966. Bahasa Minangnya asli, tidak bercampur dengan dialek Medan. Sudah 30 tahun sudah BD menetap di Yogyakarta. Pernah kuliah sampai semester lima. Berbini perempuan Sleman, beranak dua, cewek-cowok. BD menetap di rumah bininya yang sebelum Covid-19 berdagang suvenir di kawasan Malioboro yang fenomenal itu.

 
Merantau Cina artinya untuk tidak kembali ke tanah asal orang tuanya, Padang. 
 
 

Kini Malioboro lengang dari para pedagang dan pembeli. BD juga pernah bekerja di kantor kelurahan, tetapi kemudian keluar karena alasan yang masuk akal.

Dalam KTP-nya pekerjaan BD tertulis: Buruh Harian Lepas. Artinya, kerja serabutan. Retak tangan BD sebagai bagian dari tiyang alit Indonesia yang jumlahnya di atas 100 juta itu tampaknya mengikuti jejak kebanyakan perantau Minang seperti tersebut dalam ungkapan "Merantau Cina".

Tinggallah Teluk Bayur, tinggallah Bandara Tabing, tinggallah BIM (Bandara Internasional Minangkabau) dengan seluruh kenangan indah yang memukau. Tinggalkan kawasan dengan segala kemungkinan gempa dan tsunami dahsyat yang bisa meluluhlantakkan pantai barat Sumatera, khususnya Padang.

Merantau Cina artinya untuk tidak kembali ke tanah asal orang tuanya, Padang. Persis seperti retak tangan saya, menua di Yogyakarta, sekalipun kadang-kadang pulang ke Sumpur Kudus, nagari tersuruk di kaki Bukit Barisan, Sumatra Barat.

Ditengok pada postur fisik BD bak anggota Kopassus, kekar, atletis. Dia sangat gaul, sahabatnya banyak. Tidak pilih suku dan tingkat sosial. Sudah cukup lama saya mengenalnya, tetapi belum mendalam.

Barulah akhir November dan awal Desember 2020, pengenalan itu dilakukan dari jarak yang dekat, dekat sekali. Pada 3 Desember saya minta bantuan BD untuk pesan kendaraan cari tanah guna menimbun tanaman yang akarnya sudah mencuat keluar. Dia sanggupi dengan jawaban enteng. Ternyata kendaraan itu jauh di Pleret, Bantul. Batal.

 
Saat saya datang siangnya, tanah itu sudah mulai ditebarkannya di rumpun-rumpun tanaman dengan sabar sekali. Batin saya jadi luluh dan trenyuh. 
 
 

BD malah melakukan ini: tanah diambilnya dari belakang rumahnya, lalu diangkut dengan sepeda motor. Sekali jalan dua karung. Saya jadi kaget. BD malah menjawab, "Indak baa do (tidak mengapa)." Sekiranya Covid-19 tidak menghancurkan usahanya di Malioboro, tentu BD tidak perlu bertungkus-lumus seperti ini.

Dia ternyata telah bekerja mulai jam 10.00 pagi. Saat saya datang siangnya, tanah itu sudah mulai ditebarkannya di rumpun-rumpun tanaman dengan sabar sekali. Batin saya jadi luluh dan trenyuh.

Aduh, BD, saya tengok keringat mengalir di sekujur tubuhnya. Karena di sela hujan, BD akhirnya merampungkan pekerjaan itu sampai sore. Benarlah catatan dalam KTP-nya: Buruh Harian Lepas! 

Sebelum berurusan dengan tanah dan tanaman ini, BD kami minta untuk berbelanja ke toko swalayan. Lalu berlanjut dengan membersihkan rumah tempat tanaman itu yang dijalaninya dengan amat sungguh-sungguh. Semuanya jadi bersih. Bajunya dibuka. Silet, amplas, cetok, dan kanebo telah disiapkannya dari rumah. Semuanya lengkap.

Saya merasakan beratnya beban hidup BD akibat pandemi. Ketika imbalan jasa saya berikan, BD mengatakan dalam bahasa Minang. "Baa banyak bana dan alah acok kali (mengapa banyak benar dan sudah acap kali)".

Padahal jumlah itu hanya sekadarnya saja, belum seimbang dengan jerih payahnya. Untuk makan siang, BD biasa pergi ke warung makan “Bungo Palo,” milik orang Saniang Baka, Solok, Sumatra Barat. Kesukaannya sambal rendang dan jengkol, seperti umumnya orang Minang.

 
Biasanya manusia Minang yang bangga dengan ‘adat dan lembaganya’ itu punya harga diri yang tinggi.
 
 

Sekiranya BD tidak menawarkan diri, saya tentu akan sungkan minta bantuan kepadanya. Perasaan ke-Minang-an membuat saya hati-hati untuk melakukan itu. Sekarang semuanya sudah terbuka.

BD telah jadi sahabat kami yang untuk saling berbagi. Covid-19 telah mempererat tali persahabatan kami yang terasa semakin menguat di hati kami masing-masing.

Selama tinggal di Yogyakarta, saya baru kali ini menjumpai seorang pekerja keras yang membuat hati ini bergetar. BD bekerja dengan ceria dan penuh semangat. Biasanya manusia Minang yang bangga dengan ‘adat dan lembaganya’ itu punya harga diri yang tinggi.

Sebagian yang terdesak hidup bisa saja pilih jadi tukang copet di rantau daripada jadi buruh. Tetapi dengan perbuatan kriminal ini, sebenarnya harga diri itu telah dicemari dengan sendirinya. Berlakulah di sini sebuah paradoks, sesuatu asas yang berlawanan dengan serba akuan itu.

BD berbeda. Sebagai buruh harian lepas, dia mengatakan kepada saya: siap membantu kerja apa saja, jam berapa saja, tiga menit sudah sampai, jika tidak sedang dinas sebagai satpam yang belum lama ini diembannya. Profesi baru ini berkat bantuan teman Jawa kami, ketua RT yang baik hati.

Pada diri BD tampaknya berlaku pepatah ini: “Tiba di mata tidak dipicingkan, tiba di perut tidak dikempiskanTibo di mato indak dipiciangkan, tibo di paruik indak dikampihkan.” Sikapi kenyataan hidup ini dengan gembira dan kepala tegak tanpa menggerutu. Toh, jika Covid-19 berlalu, suratan nasib bisa berubah lagi.

Sebagai manusia yang suka membantu sesama, orang seperti BD selalu mendapatkan simpati dan jadi buah bibir orang banyak. Apalagi dia 'cepat kaki ringan tangan' untuk melakukan kerja serabutan tanpa bertanya tentang imbalan yang mungkin diterimanya. Apa yang dikenal dalam politik sebagai sikap bertopeng dan bersandiwara, semuanya absen dalam kamus hidup BD.

Lebih-lebih dalam situasi Covid-19, kami sangat beruntung punya sahabat penolong yang ramah ini. Dari kepribadian BD terpancar kearifan dan ketulusan rakyat kecil yang mulia sekali. Saya mengaguminya.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat