Petugas mendata warga yang tidak menggunakan masker saat operasi Yustisi, di Pasar Grogolan, Pekalongan, Jawa Tengah, Jumat (15/1). | ANTARA FOTO/Harviyan Perdana Putra

Narasi

Menanti Sikap Publik dan Pemerintah Lebih Responsif

Butuh komitmen tinggi dari pemerintah untuk menyampaikan komunikasi bahaya Covid-19.

OLEH INDIRA REZKISARI

"Saya ini kan orang kampung, kuat. Beda dengan orang kota yang lebih lemah. Makanya, di kampung nggak ada yang kena corona. Masak orang sesek aja dibilang corona, sih?"

Percaya tidak percaya. Mungkin itu kalimat yang tepat bagi sebagian orang Indonesia ketika ditanya soal virus corona.

Makanya, sebelas bulan berlalu sudah sejak kasus Covid-19 pertama kali diumumkan, penambahan laju kasus positif virus corona belum juga melandai. Bahkan hanya butuh tiga sampai empat hari penambahan kasus saja untuk menyentuh angka 20 ribu kasus Covid-19.

Juru Bicara Satgas Covid-19 Wiku Adisasmito pernah mengatakan ada tren penurunan kepatuhan individu menggunakan masker, menjaga jarak, dan menghindari kerumunan. Hal tersebut diamati Satgas terutama saat libur panjang 28 Oktober hingga 1 November 2020. Tren penurunan tersebut terpantau terus berlanjut pada 27 November 2020. Persentase kepatuhan untuk memakai masker baru 58,32 persen. Sedangkan untuk menjaga jarak persentasenya ialah 43,46 persen.

Padahal berdasarkan hasil studi oleh Hakan Yilmazkuday, untuk menurunkan angka kasus positif dan kematian maka minimal 75 persen populasi harus patuh menggunakan masker. Namun nyatanya, persentase kepatuhan penggunaan masker tidak mencapai 60 persen dan kepatuhan menjaga jarak baru 43 persen.

Sampai saat ini, setelah program vaksinasi dijalankan, kepatuhan penggunaan masker itu masih juga dirasa belum ketat. Setidaknya kita masih bisa melihat sosok orang tanpa masker, atau mengenakan masker yang tidak sesuai misalnya melorot di bawah dagu atau masker dari bahan scuba yang sudah tidak disarankan pemerintah.

Siapa yang salah? Masyarakat atau pemerintah yang tidak tegas? Buktinya, makin minim patroli Satpol PP di jalanan menyisir mereka yang berkerumun tanpa mengindahkan protokol.

Beberapa bulan sebelum libur akhir tahun terjadi maskapai mulai memberikan diskonnya. Belum lagi diskon hotel yang terus meneruskan digemborkan promonya. Kemenparekraf pun terus mengampanyekan liburan aman dan sehat. Masyarakat lalu tergoda. Dan, terjadilah.

Komunikasi pemerintah memang membingungkan. Ada masalah edukasi yang serius yang harus digalakkan ke masyarakat, termasuk kebijakan yang juga harus tegas.

photo
Tim gabungan Satpol PP, Polisi dan TNI menghukum warga yang kedapatan tidak memakai masker dengan membersihkan sampah saat Operasi Razia Masker di Jalan Brigjen Sudiarto, Solo, Jawa Tengah, Rabu (13/1). - (ANTARA FOTO/Mohammad Ayudha)

Di saat kasus belum juga reda, pemerintah sering mengglorifikasi kasus kesembuhan Covid-19. Persentase angka kesembuhan lebih sering diangkat, dibanding positivity rate atau angka kasus positif yang tinggi yang seharusnya menjadi perhatian lebih. Masyarakat dibuat terlena, seakan Covid-19 tidak semematikan itu.

Epidemiolog dari Universitas Griffith Australia, Dicky Budiman, menyarankan pemerintah menerapkan pola strategi komunikasi risiko guna mengefektifkan edukasi Covid-19. Dicky memantau program edukasi pemerintah belum berjalan efektif saat ini.

Strategi komunikasi risiko berupa penyampaian informasi yang membangun kewaspadaan masyarakat akan penyebaran virus. Sehingga diharapkan membangun kewaspadaan, kesadaran dan peran aktif dari masyarakat.

Dicky menjelaskan strategi komunikasi risiko bisa lebih efektif daripada edukasi biasa. Ia lantas menyarankan pemerintah mengevaluasi program edukasi Covid-19 yang selama ini dijalankan.

photo
Petugas mendata warga yang tidak menggunakan masker saat operasi Yustisi di Pasar Grogolan, Pekalongan, Jawa Tengah, Jumat (15/1). - (ANTARA FOTO/Harviyan Perdana Putra)

"Selain strategi komunikasi risiko yang dilakukan dengan tepat dan efektif, juga perlu role model (keteladanan)," kata Dicky. Ia menyoroti aparat pemerintah justru gagal memberi contoh pencegahan Covid-19. Hal ini lalu menimbulkan efek domino di masyarakat yang ikut-ikutan mengabaikan protokol kesehatan.

Dalam kasus terakhir, publik melihat selebritas Raffi Ahmad yang paginya menjalani suntik vaksin, namun malamnya malah berpesta, berkumpul, tanpa menjalankan protokol kesehatan.

Ban bocor

Konsultan Biologi Molekuler Independen Ahmad Rusdan Handoyo Utomo, PhD menilai penerapan protokol 3M dan pengendalian dengan 3T secara ketat dan masif sangat efektif untuk mengendalikan pandemi Covid-19.

Protokol 3M adalah menjaga jarak, memakai masker, dan mencuci tangan. Sementara protokol 3T adalah melakukan uji swab sebanyak mungkin (testing), menelusuri kontak penderita Covid19 seluas mungkin (tracing), dan mengobati penderita (treatment).

"Kalau saya gambarkan, kita punya ban yang bocor. Kalau kita bicara untuk mengendalikan, kita tentu harus mengendalikan bocor yang besar. Bocor yang besar ini dengan 3M dan 3T. Dengan itu lubang besar dari pandemi bisa kita tutup. Tapi kalau ada lubang-lubang kecil, itu bisa ditutup dengan vaksin," katanya memberikan gambaran tentang pentingnya penanggulangan dengan 3M dan 3T dilengkapi dengan vaksinasi.

Meskipun vaksin Covid-19 sudah ada, upaya penanganan Covid-19 dengan 3M dan 3T tidak serta merta bisa berhenti. Apalagi vaksin yang tersedia saat ini jumlahnya masih sedikit dan baru diprioritaskan untuk kelompok orang yang paling berisiko terkena Covid-19 terlebih dahulu.

Artinya, waktu yang dibutuhkan untuk benar-benar dapat mengendalikan wabah Covid-19 di Indonesia masih sangat lama. Penerapan protokol kesehatan dengan 3M oleh masyarakat dan upaya pengendalian dengan 3T oleh pemerintah harus terus menerus dilakukan, sehingga potensi infeksi Covid-19 dapat semakin dibatasi.

Memang membutuhkan komitmen tinggi dari pemerintah dan jajarannya untuk sama-sama menyampaikan komunikasi akan bahaya Covid-19. Masyarakat harus didorong tertib. Pemerintah juga diminta mempraktikkan pola komunikasi dan kebijakan yang tegas.

Karena ada banyak negara yang berhasil melawan Covid-19. Artinya, Indonesia bukan tidak bisa juga berhasil melawan Covid-19. 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat