Subroto | Daan Yahya | Republika

Narasi

Mengejar Beasiswa

Pelatihan-pelatihan sangat membantu dalam menjalani profesi sebagai wartawan.

SUBROTO, Jurnalis Republika

Suatu hari di tahun 2001 aku dipanggil Pemimpin Redaksi Republika Zaim Uchrowi. Mas Zaim, begitu dia biasa dipanggil, mengajak ngobrol di ruang redaksi lantai 4.  Aku yang masih baru menjadi redaktur, diingatkan  Mas Zaim untuk tidak berhenti belajar.  Menurutnya, menjadi redaktur tak berarti berhenti menjadi wartawan.  Kemampuan wartawan harus terus diasah, biar terus meningkat.

“Ibarat bertinju, kita harus terus berlatih. Jangan puas dengan kemampuan yang kita punya,” begitu kata-kata Zaim yang masih terus aku ingat.

Zaim memang bisa menjadi contoh. Dia wartawan yang bagus.  Zaim juga memperdalam ilmunya  dengan mengambil master di Filipina, dan belakangan berhasil menyelesaikan doktornya di IPB. Setahuku ada tiga wartawan Republika mencapai gelar doktor. Selain Zaim, ada Sinansari ecip dan Nasir Tamara. 

Pesan Zaim, memicuku untuk terus belajar.  Aku termasuk wartawan yang sering ikut pelatihan. Bermacam-macam pelatihan dan kursus aku ikuti. Ada pelatihan tentang menulis, wawancara, jurnalisme sastrawi, liputan mendalam, dan investigasi. Juga bidang lain seperti telekomunikasi, narkoba,  HIV/AIDS,  perburuhan,  sampai  politik.

 
Pelatihan-pelatihan itu sangat membantu dalam menjalani profesiku sebagai wartawan.
 
 

Beberapa kali aku mendapatkan fellowship liputan. Di tiap fellowship biasanya ada pemberian materi. Jika fellowship/ dari luar negeri, aku berkesempatan untuk belajar dari narasumber asing. 

Pelatihan-pelatihan itu sangat membantu dalam menjalani profesiku sebagai wartawan. Aku menjadi lebih  tahu tentang  banyak hal. Aku juga bisa menerapkan  teknik-teknik baru dalam menulis dan reportase.

Selanjutnya  ingin memperdalam ilmuku di bidang komunikasi.  Untuk itu aku akan melanjutkan kuliah S2. Awalnya aku ingin kuliah di luar negeri. Masalahnya, aku tak bisa berpisah dengan keluarga. Kuliah dengan membawa keluarga besar tentu akan repot. 

Ya sudah,  aku putuskan kuliah tak jauh-jauh dari rumah. Aku sudah mematok akan kuliah di Universitas Indonesia (UI) saja.

Maka akupun berburu beasiswa untuk biaya kuliah.  Aku mulai  mencari informasi di internet, juga bertanya kesana-sini. 

photo
Selepas wisuda di Universitas Indonesia. - (Subroto)

Info pertama  yang kudapat, ada beasiswa  S2  untuk wartawan dari  sebuah perusahaan migas swasta. Hampir tiap tahun perusahaan itu memberikan beasiswa kepada  wartawan. Sayangnya perusahaan itu  hanya bekerja sama  dengan  sebuah perguruan tinggi swasta saja. Jelas akuvkurang tertarik.

Kesempatan kedua  beasiswa datang dari  BUMN migas.  Perusahaan itu bekerjasama dengan UI. Jadi yang mendapat beasiswa harus kuliah di UI. Pas dengan keinginanku.   Segera aku mendaftar ke kantor. Kantor mengirim berkasku  dan dua teman di kantor ke perusahaan itu.  

Untuk mendapat beasiswa aku harus lulus tes UI terlebih dahulu.  Aku dengar tes SIMAK untuk masuk UI tak gampang.  Aku sudah diberikan bank soal masuk S2 UI tahun-tahun  sebelumnya. Katanya, soalnya mirip-mirip. 

Sayangnya aku tak punya waktu untuk mempelajari soal-soal itu. Bahkan sehari menjelang ujian, istriku sakit. Aku tak tidur  semalaman  di rumah sakit. Besoknya saat ujian, aku hanya konsentrasi menahan agar tak tertidur di ruang ujian.

Hasilnya bisa diduga. Aku tak lulus.  Aku menyesal juga, kenapa tak menyiapkan diri, tak belajar sama sekali. Tak apalah, dua temanku juga tak lolos.

 
Kantor mengirim empat orang untuk mengikuti seleksi di BRI.  Dua orang lolos, termasuk aku.
 
 

Gagal di UI tak membuatku  menyerah untuk mengejar beasiswa. Dua tahun kemudian, tahun 2013 ada lagi tawaran beasiswa dari Bank Rakyat  Indonesia (BRI). Tahap seleksi ada tiga, di kantor, oleh BRI, dan seleksi masuk. BRI hanya memberi beasiswa jika diterima di perguruan tinggi negeri.  

Kantor mengirim empat orang untuk mengikuti seleksi di BRI.  Dua orang lolos, termasuk aku.  Ketika seleksi di BRI aku diminta untuk presentasi prodi apa yang akan diambil nanti di UI. Juga rencana topik tesis yang akan aku ambil.  Aku juga ditanya soal motivasi kuliah, pengalaman, dan persiapan-persiapan. 

Seleksi berikutnya adalah SIMAK UI. Aku tak mau mengulangi kesalahan dua tahun lalu.  Aku mulai mempelajari bank soal yang kupunya. Ada dua tes  untuk masuk UI, yakni Tes Potensi Akademik (TPA) dan Bahasa Inggris. Untuk Bahasa Inggris tak terlalu sulit, karena bentuk soalnya adalah reading. Cuma jumlah wacananya   banyak. Jadi strateginya adalah mengatur waktu. Jangan sampai kehabisan waktu saat mengerjakan soal-soal.

Soal-soal  TPA sudah banyak yang  aku tak mengerti. Sudah lama aku tak belajar matematika. Terakhir belajar saat SMA di jurusan fisika. Setamat SMA aku masuk fakultas hukum, tak pernah lagi bertemu matematika sampai bekerja.

Aku tak kehilangan akal. Aku minta redaktur nasional Rahmat Budi Harto untuk memecahkan soal-soal TPA yang tak bisa kujawab itu.  Rahmat atau biasa dipanggil RTO  adalah lulusan Institut Teknologi Bandung (ITB). Aku tahu dia jago matematika. “Sebentar Mas, nanti  aku kerjakan. Besok  aku email ya,” kata RTO.

Tak menunggu besok, malamnya ternyata RTO sudah mengirim email jawaban soal-soal itu. Dia menjawab dengan cara yang simpel.  Dengan itu aku belajar. Mengingat-ingat kembali apa yang pernah aku pelajari lebih dari 20 tahun  lalu.

 
Kenyataannya,  kuliah sambil bekerja ternyata tak semudah bayanganku. Bukan soal materi kuliahnya yang sulit, tapi membagi waktu itu yang repot.
 
 

Dengan persiapan yang lebih matang, aku menghadapi ujian lebih percaya diri. Aku juga berusaha istirahat cukup, agar tragedi mengantuk  saat ujian  tak terulang. 

Hasilnya aku diterima di UI. Jadilah aku mahasiswa magister  manajamen komunikasi UI kelas khusus.  Kuliahnya malam hari di Kampus UI Salemba. Sengaja aku ambil kelas malam, biar waktu tidur pagiku  tak terganggu. 

Saat pertama kuliah aku sudah mematok lulus dua tahun, dengan prediket cumlude. Kenyataannya,  kuliah sambil bekerja ternyata tak semudah bayanganku. Bukan soal materi kuliahnya yang sulit, tapi membagi waktu itu yang repot.

Tantangan pertama adalah mengatasi kemacetan. Menjelang Magrib kawasan Salemba selalu macet. Naik apa saja, motor ataupun busway tetap saja lama.  Aku tak bisa berangkat ke kampus lebih siang.  Harus menyelesaikan  pekerjaan kantor dulu sampai menjelang Magrib, baru berangkat ke kampus.

Belum  sampai semester kedua, aku diangkat menjadi wakil redaktur pelaksana.  Kerjaku makin sibuk di kantor. Aku harus merelakan melepas target kuliahku. Bagaimanapun pekerjaan di kantor adalah nomor satu. 

Alhasil aku jadi  kerap datang terlambat ke kampus. Pulangpun selalu terburu-buru karena harus meneruskan pekerjaan di kantor sampai tengah malam. Begitu dosen menutup kelas, secepat kilat  aku keluar ruangan dan meluncur ke  kantor di Pasar Minggu, sekitar 13 km dari Salemba.

Tapi aku tetap berusaha  belajar semampuku.  Bagaimanapun aku kuliah untuk mendapat ilmu, bukan mengejar gelar. Kadang aku baru sempat  belajar saat UTS dan UAS di dalam kelas. Ujian kebanyakan model open book.  Saat ujian aku lebih suka duduk di barisan depan, menumpuk buku-buku  teks di depanku, dan mengerjakan soal sambil belajar.

Tugas-tugas kelas banyak  juga yang tertinggal. Untunglah jika tugas kelompok teman-teman mau mengerti. Biasanya aku minta bagian untuk menyimpulkan saja dari yang sudah dikerjakan teman-teman.

Suatu hari  aku giliran presentasi untuk pengambilan nilai. Aku sudah  minta izin dosen  akan terlambat karena  harus menerima tamu  dulu di kantor. Teman-teman sudah selesai  presentasi semua.  Tinggal menunggu aku yang masih terjebak di busway. Aku tepat di detik saat kuliah usai. Untungnya Ishadi SK, sang dosen tidak marah. Mungkin karena wartawan,  dia tahu ritme kerjaku seperti apa. 

Untungnya  juga dosen-dosen baik padaku. Pembimbing tesisku Dr Irwansyah begitu percaya padaku. Aku tak terlalu banyak bimbingan pada saat mengerjakan tesis . 

Saat mengolah data setelah melakukan penelitian di lapangan, aku merasa ada yang salah dengan penelitianku. Pilihanku  saat itu ada dua, merekayasa hasil penelitian atau mengulang dari awal.  Jika mengulang artinya  aku akan terlambat paling tidak  satu semester.  Aku pilih opsi kedua, mengulang dari awal.

“Kenapa Mas diulang ?   Sayang ketinggalan satu semester. Kan harus tambah bayar SPP juga nanti. Lumayan,”  kata seorang teman.

“Santai saja, kan uang kuliah ada yang yang bayarin,” balasku terkekeh.

Setelah itu aku tenggelam dalam kesibukan di kantor. Tak lagi sempat meneruskan  menggarap tesis. Hampir satu tahun menghilang,  aku kembali ke dosen pembimbing.

“Kemana saja Mas ?  Saya kirain sudah lulus,” ledek Dr Irwansyah.

Aku akhirnya lulus juga. Walaupun melenceng jauh dari target semula. Tidak cumlaude, dan lebih satu tahun dari jadwal. Tak apalah yang penting lulus.

Tambahan ilmu selama di UI banyak membantu dalam pekerjaanku. Apalagi belakangan aku menjadi redaktur pelaksana. Mengkomandani pekerjaaan teknis seluruh redaksi sehari-hari.  Selain itu  aku juga bisa membagi ilmu dengan mengajar jurnalistik dan komunikasi di perguruan tinggi.

Kini  aku masih berencana akan melanjutkan ke S3. Dan aku mulai berburu beasiswa lagi.  Sampai saat ini aku  belum dapat juga  beasiwa S3 di dalam negeri. Mungkin ada yang  punya informasi ?

Tips mendapatkan beasiswa

- Lakukan persiapan mendapatkan beasiswa jauh hari

- Tentukan beasiswa apa yang akan dicari, termasuk di dalam atau di luar negeri

- Cari informasi di internet, teman sejawat, atau ke lembaga yang biasa memberikan beasiswa 

- Hubungi pihak penyelenggara beasiswa untuk tahu lebih jauh

- Pelajari persyaratan beasiswa yang diberikan

- Siapkan CV  yang berbobot

- Tulis surat pengajuan beasiswa dengan  baik

- Tingkatkan kemampuan untuk menghadapi proses seleksi

- Siapkan diri untuk sesi presentasi  dan  wawancara 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat