Sejumlah Guru mengikuti lomba mencuci tangan di SMP N 4 Singocandi, Kudus, Jawa Tengah, Rabu (25/11). (ilustrasi) | YUSUF NUGROHO/ANTARA FOTO

Opini

Menghapus Guru PNS

Guru adalah kunci kemajuan suatu bangsa. Guru harus mendapatkan perlakuan yang adil.

JEJEN MUSFAH, Dosen Kebijakan Pendidikan UIN Syarif Hidayatullah

Pemerintah merencanakan tidak lagi merekrut guru dalam skema ASN/Pegawai Negeri Sipil (PNS), tetapi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK). Alasannya, pemerataan guru di Tanah Air terhambat mutasi guru PNS.

Setelah bekerja empat sampai lima tahun, guru mengajukan mutasi dari penempatan awalnya sebagai PNS. Di samping faktor mutasi, kekurangan guru karena moratorium CPNS guru atau rekrutmen guru yang tak sebanding dengan kebutuhan guru di lapangan.

Setiap tahun, banyak guru pensiun, tetapi tidak diikuti  rekrutmen guru CPNS. Pemerintah daerah (pemda) seharusnya selektif dan tidak mudah memberikan izin mutasi agar tidak menjadi preseden bagi guru yang lainnya.

Pemerintah dan pemda juga memeratakan pembangunan fasilitas sekolah dan kesehatan di daerah 3T agar guru merasa betah di sana. Tunjangan khusus guru daerah 3T, tidak efektif menahan guru untuk tidak melakukan mutasi.

 
Artinya, pemerintah saat ini tidak memandang guru sebagai profesi yang vital bagi pembangunan bangsa.
 
 

Tentu saja banyak pihak menolak kebijakan di atas, mulai dari PGRI, DPR, DPD, hingga pemerhati pendidikan. Guru honorer dan guru P3K juga menolak karena mereka berharap suatu saat bisa menjadi atau beralih ke PNS.

Berikut beberapa catatan terkait rencana kebijakan itu. Pertama, diskriminatif. Dalam Keputusan Presiden Nomor 17 Tahun 2019 batasan umur pelamar CPNS adalah 40 tahun untuk enam jabatan, yaitu dokter, dokter gigi, dokter pendidik klinis, dosen, peneliti, dan perekayasa. Guru tidak termasuk di dalamnya.

Artinya, pemerintah saat ini tidak memandang guru sebagai profesi yang vital bagi pembangunan bangsa. Padahal, banyak kajian menunjukkan, guru merupakan kunci peningkatan kualitas sumber daya manusia suatu bangsa.

Kualitas manusia suatu bangsa akan menentukan ekonomi dan kemajuan bangsa itu. Jika guru tidak lagi bisa menjadi PNS, bagaimana dengan dokter, dosen, peneliti, dan perekayasa?

Kedua, minat menjadi guru akan turun. Penilaian ini belum terbukti. Meski pemerintah pernah memoratorium rekrutmen guru CPNS, minat terhadap fakultas pendidikan meningkat. Belum lagi, sarjana nonpendidikan diperbolehkan menjadi guru (UU Sisdiknas).

 
Fakta menunjukkan, minat menjadi guru tetap tinggi meskipun honorer. Masalahnya, apakah pemerintah memiliki kemauan mengangkat status guru atau tidak.
 
 

Jalur menjadi guru juga tidak hanya melalui PNS, tetapi juga guru swasta yang gajinya setara, bahkan ada yang lebih tinggi daripada guru PNS. Beberapa sekolah swasta elite atau internasional bahkan memilih mayoritas gurunya dari sarjana nonpendidikan.

Alasannya, mereka lebih menguasai materi dan bahasa asing dibandingkan sarjana pendidikan. Generasi unggul tidak akan berminat menjadi guru, karena itu kebijakan tidak bisa menjadi PNS selamanya perlu kajian lebih lanjut.

Fakta menunjukkan, minat menjadi guru tetap tinggi meskipun honorer. Masalahnya, apakah pemerintah memiliki kemauan mengangkat status guru atau tidak.

Ketiga, guru PPPK rawan pemecatan. PNS lebih dipilih daripada PPPK karena lebih aman dari pemecatan. Memang ada aturan pemberhentian PNS, tetapi cenderung sangat sulit dan memerlukan waktu yang lama.

Guru PNS yang berkinerja tidak baik sangat jarang diberhentikan. Hal ini berbeda dengan guru PPPK, yang statusnya akan diperbarui setiap jangka waktu tertentu. Guru PPPK merasa tidak nyaman dalam bekerja. Masa kerja guru PPPK berlangsung paling singkat satu tahun.

Masa kerja dapat diperpanjang sesuai dengan kebutuhan instansi, pencapaian kinerja, dan kesesuaian kompetensi. Perlu kepastian karier dan status guru, misalnya, guru diangkat menjadi pegawai tetap pemerintah non-PNS setelah bekerja baik dalam periode tertentu.

Status guru tidak selamanya kontrak atau perjanjian kerja. Dengan demikian, guru akan merasa nyaman dan ada kepastian dalam bekerja.

Keempat, kesejahteraan guru. Gaji PPPK setara dengan PNS. Mereka juga mendapatkan jaminan kesehatan, jaminan hari tua, dan jaminan kecelakaan kerja. Bedanya, PPPK tidak mendapatkan pensiun.

Soal pensiun, masih mungkin diusahakan melalui kerja sama dengan PT Taspen. Gaji mereka dipotong setiap bulan untuk tabungan pensiun atau mendirikan PT sendiri khusus tabungan pensiun PPPK. Di sinilah perlunya sosialisasi aturan P3K kepada masyarakat.

 
Kebijakan ini perlu direvisi karena tidak adil bagi guru honorer, yang telah mengabdi sekian lama di sekolah. 
 
 

Kelima, sebagai tambahan, pengabdian guru honorer tidak diperhitungkan setelah mereka lulus PPPK alias nol tahun (Permen PAN-RB Nomor 72 Tahun 2020 Pasal 20B).

Kebijakan ini perlu direvisi karena tidak adil bagi guru honorer, yang telah mengabdi sekian lama di sekolah. Tidak mungkin masa kerja mereka disamakan dengan guru PPPK, yang nol tahun pengabdian atau baru lulus sarjana.

Demikianlah catatan polemik guru yang rencananya dihapuskan dari skema ASN PNS, tetapi PPPK. Sebagai informasi, rekrutmen guru PPPK dimulai pada 2019 akhir, dan akan ada rekrutmen satu juta guru PPPK pada 2021 ini.

Mereka yang setuju dengan PPPK bukan berarti setuju dengan penghapusan PNS bagi guru.   

Guru adalah kunci kemajuan suatu bangsa. Guru harus mendapatkan perlakuan yang adil. Mengapa profesi guru tidak bisa menjadi PNS, sedangkan lainnya bisa? Alasan pemerintah tentang status guru ke depan, hanya ASN PPPK tidak cukup kuat sehingga perlu dikaji ulang.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat