Pengrajin memindahkan tempe buatannya di salah satu Sentra Produksi Tempe, Utan Panjang, Jakarta, Ahad (3/1). Sebagai bentuk protes melonjakanya harga kedelai impor, sejumlah produsen menggelar aksi mogok. | Prayogi/Republika.

Opini

Arah Swasembada Kedelai

Rencana swasembada kedelai sebenarnya bukan barang baru.

JOJO; Kandidat Doktor Ilmu Ekonomi Pertanian IPB

Harian Republika, 2 Januari 2021, mewartakan, sekitar 5.000 pelaku usaha kecil menengah (UKM) yang tergabung Pusat Koperasi Produsen Tempe Tahu Indonesia (Puskopti) DKI Jakarta menghentikan sementara proses produksi pada 1-3 Januari 2021. Aksi ini merupakan bentuk protes kenaikan harga bahan baku kedelai dari Rp 7.200 menjadi Rp 9.200 per kilogram.

Kedelai merupakan bahan baku utama bagi produk tempe dan tahu. Alhasil, Indonesia merupakan negara dengan konsumsi kedelai terbesar kedua dunia di bawah Cina.

Amerika Serikat merupakan negara pengekspor utama kedelai dunia, juga salah satu pemasok utama ke Indonesia. Berdasarkan data BPS dari 2014 hingga 2019, jumlah kedelai yang diimpor ke Indonesia dari AS selalu di atas 94 persen dari total impor nasional. 

 
Ketergantungan ini merupakan sinyal ketidakmandirian pangan dan berakibat buruk terhadap produksi kedelai lokal.
 
 

Ketergantungan ini merupakan sinyal ketidakmandirian pangan dan berakibat buruk terhadap produksi kedelai lokal. Data Kementerian Pertanian menyebut kelangkaan kedelai saat ini, disebabkan kenaikan permintaan Cina sebagai konsumen terbesar dunia.

Tercatat pada Desember 2020, permintaan Cina melonjak tajam terhadap produk kedelai AS, dari 15 juta ton ke 30 juta ton. Harga rata-rata kedelai dunia saat ini menurut data Organisasi Pangan Dunia (FAO) pada Desember 2020, sebesar 461 dolar AS per ton atau naik 6 persen dibanding pada bulan sebelumnya, 435 dolar AS per ton.

Adapun harga rata-rata nasional kedelai berdasarkan data BPS per Desember 2020, berada di level Rp 11.298 per kilogram. Harga ini turun 0,37 persen dibandingkan November 2020. Angka ini turun 8,54 persen dari harga Desember 2019 silam.

Sisi lain, angka kebutuhan kedelai dalam negeri 2,5 juta – 3 juta ton per tahun. Penggunaan terbanyak untuk industri tempe 70 persen dan tahu 25 persen, sisanya produk lain. Saat ini kapasitas produksi kedelai kita tidak beranjak di bawah 1 juta ton per tahun. Ada selisih 2 juta ton bahkan lebih harus dipenuhi dengan cara impor.

 
Ketergantungan impor kian hari malah tambah parah. Hingga 2020, tren impor kedelai pun tak berubah, bahkan semakin menjadi.
 
 

Ketergantungan impor kian hari malah tambah parah. Hingga 2020, tren impor kedelai pun tak berubah, bahkan semakin menjadi sejak Indonesia defisit kedelai pertama kali pada 1976. Ketika itu angka impor kedelai 171.192 ton.

Merujuk data FAO, tren impor kian ugal-ugalan hingga sekarang. Per 1986 impor kedelai membengkak menjadi 359.271 ton, lalu menjadi 746.329 ton (1996), 1,13 juta (2006) dan 2,26 juta (2016). Kurun waktu 2015-2019, angka impor tidak bergeser di kisaran 2,2 juta - 2,5 juta ton.

Pada sisi produksi, FAO mencatat produksi kedelai RI terus turun sejak titik tertinggi 1,86 juta ton pada 1992 menjadi 1,01 juta ton (2000), 907.031 ton (2010). Dalam Nota Keuangan Tahun Anggaran 2021, pemerintah menargetkan produksi kedelai 420 ribu ton pada 2021. Pada 2020, produksi diperkirakan berkisar 320 ribu ton atau lebih rendah dibandingkan produksi 2019 yang mencapai 420 ribu ton.

Rencana swasembada kedelai sebenarnya bukan barang baru. Pencanangan target memenuhi kebutuhan kedelai secara mandiri dicetuskan sejak era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Namun kurun waktu 10 tahun, swasembada kedelai selalu jalan di tempat. Justru, impor kedelai makin tak terkendali. Bahkan, kini kedelai impor lebih banyak dibandingkan kedelai lokal.

 
Indonesia sebenarnya pernah swasembada kedelai pada 1990-1992. Saat itu produksi kedelai dalam negeri mencapai 1,8 juta ton. 
 
 

Pemerintahan Jokowi setidaknya memundurkan target swasembada hingga dua kali, dari 2017 mundur ke 2018. Lalu mundur lagi ke 2020. Target swasembada pada 2020 lalu pupus tinggal harapan. Laju produksi kedelai dalam negeri masih tak sanggup mengejar kebutuhan konsumsinya hingga kini.

Indonesia sebenarnya pernah swasembada kedelai pada 1990-1992. Saat itu produksi kedelai dalam negeri mencapai 1,8 juta ton. Kini banyak petani kedelai tergerus kebijakan pasar bebas 1995. Awalnya, produksi lokal bisa memenuhi 70-75 persen kebutuhan kedelai. Tetapi sekarang malah terbalik, sekitar 70-75 persen dipenuhi dari impor karena mudahnya proses impor dan murahnya komoditas impor.

Apabila ditinjau dalam jangka pendek, impor kedelai merupakan langkah lebih efisien dalam memenuhi kebutuhan kedelai nasional. Namun, bukan berarti pemerintah malah nyaman tetap mempertahankan tren impor yang kian meningkat. Pemangku kepentingan harus memperbaiki kuantitas, kualitas, dan daya saing dari kedelai lokal.

Tingkat produksi kedelai kecil disebabkan rendahnya gairah petani menanam komoditas tersebut. Di samping pemanfaatan teknologi yang masih rendah dan ketersediaan bibit dan kualitas kedelai di lapangan yang terbatas.

 
Peningkatan kuantitas, kualitas, dan daya saing kedelai lokal menjadi hal penting dan segera diupayakan pemerintah, bukan malah menurunkan target produksi kedelai nasional.
 
 

Ada tiga langkah strategis agar produksi kedelai lokal mampu memenuhi kebutuhan dalam negeri. Pertama, meningkatkan produksi. Kendala produktivitas panen per hektare kedelai yang sangat rendah. Rata-rata produktivitas kedelai kita hanya 0,8—1,5 ton per hektare. Angka ini sangat jauh ketimbang negara produsen utama kedelai dunia yang 3 ton per hektare.

Kedua, penambahan lahan. Saat ini lahan tanam yang sulit bertambah. Berdasarkan catatan Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR), rata-rata alih fungsi lahan sawah per tahun mencapai 150 ribu-200 ribu hektare. Kondisi ini diperparah karena kedelai juga bukan prioritas petani.

Ketiga, meningkatkan kesejahteraan petani. Tingkat profitabilitas kedelai dinilai lebih rendah ketimbang komoditas pangan padi dan jagung. Artinya, bertanam kedelai di mata petani tidak menarik karena kurang menguntungkan. Ini penting, bila kesejahteraan meningkat mereka akan bergairah bertani kedelai. Beri mereka kepastian harga produknya. Lindungi juga pasarnya dari serbuan kedelai asing. Akses modal juga perlu perhatian lebih.

Terakhir, perbaikan data. Dari data yang akurat, kita tahu jumlah kebutuhan, kapasitas produksi, dan kapan harus impor. Kebijakan yang cermat berawal dari kejujuran data di lapangan.

Peningkatan kuantitas, kualitas, dan daya saing kedelai lokal menjadi hal penting dan segera diupayakan pemerintah, bukan malah menurunkan target produksi kedelai nasional. Agar kemandirian dan keadilan pangan bisa diraih, bukan malah semakin bergantung pada impor.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat