
Opini
Berharap pada Civil Society
Sebagai kekuatan pengontrol kebijakan pemerintah dan partai politik, civil society dituntut untuk mandiri.
BIYANTO; Guru Besar UIN Sunan Ampel, Wakil Sekretaris Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur
Pada umumnya, kita memahami konsep civil society sebagai kehidupan sosial bercirikan kesukarelaan (voluntary), keswasembadaan (self generating), keswadayaan (self supporting), kemandirian, dan kepatuhan terhadap norma hukum yang disepakati warga. Hal itu berarti nilai-nilai civil society sangat penting untuk mewujudkan sikap dan tindakan, yang bebas dari kepentingan negara atau partai politik.
Konsep civil society juga menekankan pentingnya ruang publik sebagai media komunikasi antarwarga. Mengingat begitu pentingnya keberadaan civil society dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, sejak pertengahan 1990-an konsep ini menjadi salah satu tema yang paling banyak dibicarakan umat. Konsep civil society dicarikan padanan istilah agar lebih membumi, bernuansa Islami, dan selaras dengan nilai-nilai keindonesiaan.
Beberapa pemikir menyandingkan civil society dengan konsep masyarakat madani (Anwar Ibrahim), masyarakat sipil (Mansour Fakih), serta masyarakat kewargaan (Ryas Rasyid dan Riswanda Immawan). Meski berbeda istilah, secara substantif bermuara pada perlunya penguatan peran masyarakat dalam kehidupan berbangsa. Kehadiran civil society penting untuk mengontrol kebijakan negara atau partai politik. Posisi civil society juga strategis untuk menyuarakan aspirasi yang berkembang di masyarakat.
Sebagai kekuatan pengontrol kebijakan pemerintah dan partai politik, civil society benar-benar dituntut untuk mandiri.
Sebagai kekuatan pengontrol kebijakan pemerintah dan partai politik, civil society benar-benar dituntut untuk mandiri. Namun, sangat disayangkan, pilar civil society di negeri tercinta umumnya belum sepenuhnya mandiri tatkala berhadapan dengan kepentingan negara dan partai politik. Elemen civil society masih menunjukkan ketergantungan pada negara, terutama bantuan pendanaan. Kehadiran dan sumbangsih pemerintah juga selalu dinantikan dalam berbagai acara resmi organisasi yang menjadi representasi pilar civil society.
Pertanyaannya, bagaimana mungkin civil society dapat berdiri tegak dan bersikap kritis terhadap kebijakan pemerintah serta kepentingan partai politik, jika dalam setiap menyelenggarakan kegiatan selalu meminta belas kasihan?
Dalam kondisi bergantung pada bantuan pemerintah itulah pasti muncul sikap "ewuh pakewuh", tatkala harus mengkritisi berbagai kebijakan yang kurang mencerminkan rasa keadilan masyarakat. Padahal, karakter kemandirian civil society mutlak diperlukan untuk menjamin independensi pandangan, sikap, dan tindakan.
Kondisi kehidupan sosial politik sekarang jelas membutuhkan kiprah civil society sebagai kekuatan penyeimbang dan pengontrol kebijakan pemerintah. Hal itu karena hampir semua partai politik sudah menjadi bagian dari kekuatan pendukung pemerintah. Dampaknya, praktik pengambilan keputusan yang berkaitan dengan hajat hidup masyarakat di lembaga legislatif menganut hukum demokrasi kuantitas. Keputusan strategis di legislatif sangat ditentukan jumlah suara.
Hal itu karena kini hampir tidak ada lagi kekuatan partai politik, yang mampu menjadi penyeimbang dan pengontrol kebijakan pemerintah.
Padahal, peta kekuatan antara pendukung pemerintah dan oposisi kritis di legislatif sangat tidak berimbang. Kekuatan partai koalisi pendukung pemerintah yang memperoleh kursi di legislatif jauh lebih besar dibandingkan partai yang beroposisi. Bahkan, tokoh-tokoh politik yang dulu bersaing pada pemilihan presiden dalam Pemilu 2019, kini juga sudah menyatu dalam pemerintahan. Banyak pihak menyayangkan keputusan elite politik yang kalah dalam pemilihan presiden kemudian menjadi bagian dari kekuasaan.
Hal itu karena kini hampir tidak ada lagi kekuatan partai politik, yang mampu menjadi penyeimbang dan pengontrol kebijakan pemerintah. Pada konteks inilah eksistensi civil society diharapkan, dapat memainkan peran strategis di tengah tiadanya kekuatan oposisi kritis pemerintah.
Pilar civil society seperti Muhammadiyah, NU, MUI, dan elemen ormas lain diharapkan tampil sebagai kekuatan independen. Pilar civil society ini dapat menjalankan fungsi checks and balances kebijakan pemerintahan dan budaya partai politik yang transaksional. Fungsi kontrol dan penyeimbang ini sangat penting untuk memastikan pohon demokrasi yang sedang tumbuh kembang di negeri tercinta tidak layu. Apalagi harus diakui, praktik demokrasi di negeri ini baru bersifat prosedural, belum ke arah yang lebih substantif.
Untuk itulah semua pilar civil society penting dikonsolidasikan sehingga menjadi kekuatan penekan yang disegani.
Selain mengandalkan kekuatan ormas, kita juga berharap pada media massa, lembaga pendidikan, asosiasi profesi, lembaga swadaya masyarakat (LSM), dan kelompok-kelompok civic forum yang ada di tengah-tengah masyarakat. Semua kekuatan ini dapat bersinergi demi tegaknya civil society yang bermartabat. Dengan demikian, semua pilar civil society dapat menjadi kekuatan daya dobrak (the striking force) pada pemerintah dan legislatif agar melahirkan kebijakan yang berpihak pada kepentingan masyarakat.
Dalam beberapa insiden terdahulu, seperti pengajuan Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP), tampak sekali kekuatan civil society dapat diandalkan. Penolakan ormas keagamaan dan kekuatan pilar civil society menjadikan DPR dan pemerintah menghentikan untuk sementara waktu pembahasan RUU HIP.
Kekuatan pilar civil society juga layak diperhitungkan melalui berbagai ekspresi penolakan terhadap penetapan Undang-Undang Omnibus Law dan Cipta Kerja serta sejumlah UU yang lahir sepanjang era pandemi Covid-19.
Untuk itulah semua pilar civil society penting dikonsolidasikan sehingga menjadi kekuatan penekan yang disegani. Saat ini rasanya kita tinggal berharap pada civil society untuk menjadi penyambung aspirasi masyarakat, sekaligus menjalankan fungsi kontrol dan penyeimbang kebijakan pemerintah.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.