Pada zaman Rasulullah SAW, ada dua tragedi yang melatari disunahkannya qunut nazilah. | DOK PXHERE

Kisah

Tak Gentar Hadapi Kematian

Seandainya kalian tidak mengira aku takut menghadapi kematian, akan kutambah jumlah rakaat shalatku

OLEH HASANUL RIZQA

 

Pada tahun keempat sesudah hijrah, Nabi Muhammad SAW menerima sejumlah utusan Suku ‘Adhal dan al-Qarah. Kedatangan mereka ke Madinah untuk meminta kepada Rasulullah SAW agar dikirimkan beberapa sahabatnya. Para sahabat itu diharapkan dapat mengajarkan Islam kepada kaum kedua kabilah tersebut.

Beliau menyambut gembira keinginan mereka. Maka diutuslah sebanyak 10 orang sahabat yang hapal Alquran dan mengerti sunnah untuk mendakwahkan Islam kepada masyarakat di sana. Para sahabat itu diketuai Ashim bin Tsabit.

Turut serta dalam rombongan ini, antara lain, adalah Abdullah bin Thariq, Khalid bin al-Bakir, Marstad bin Abi Marstad, Zaid bin Datsanah, dan Khubaib bin Adi. Adapun para utusan Bani ‘Adhal dan al-Qarah sudah berangkat terlebih dahulu. Maka 10 sahabat Nabi SAW itu menyusul kemudian.

Di tengah perjalanan, para mubaligh Islam itu singgah di Desa ar-Raji. Tanpa sepengetahuan mereka, ternyata sejumlah tetua Suku ‘Adhal dan al-Qarah telah membuat persekongkolan jahat dengan Bani Lahyan, yang menghuni desa tersebut. Tujuannya untuk menghabisi orang-orang Islam yang diutus Nabi SAW.

Para sahabat Rasulullah SAW itu terkejut ketika seratusan pasukan Bani Lahyan mengejar mereka. Karena jumlahnya sangat tak sebanding, ke-10 Muslimin tersebut melarikan diri ke arah bukit.

Akan tetapi, musuh kemudian dapat mengepung mereka. Dari bawah, pemimpin suku kafir tersebut berseru, “Turunlah kalian dan menyerahlah! Kami akan menjamin keselamatan, dan tidak membunuh seorang pun dari kalian!”

“Kami tidak sudi berada dalam jaminan orang kafir,” jawab Ashim bin Tsabit lantang.

Sesudah itu, para sahabat Nabi SAW berdoa kepada Allah SWT, “Wahai Allah, beri tahukan nasib kami ini kepada Nabi-Mu.”

Sementara itu, pasukan Bani Lahyan mulai menaiki bukit tersebut. Sepuluh orang Muslimin itu dihujani anak panah. Tujuh orang di antaranya gugur sebagai syuhada. Adapun tiga orang lainnya dapat bertahan, tetapi akhirnya tertawan.

Salah satunya adalah Khubaib bin Adi. Pihak musuh lantas menjualnya kepada keluarga Harits bin Amir bin Naufal. Harits sendiri sebelumnya tewas dalam Perang Badar akibat ditebas pedang Khubaib. Jelaslah bahwa sahabat tersebut cepat atau lambat akan dihabisi anak-anak Harits sebagai pelampiasan dendam.

Sebagai tawanan, Khubaib diikat kaki dan tangannya. Pada suatu hari, seorang bocah dari keluarga al-Harits lepas dari pengawasan orang tuanya. Anak perempuan ini dengan menenteng pisau kecil lantas mendekat ke arah Khubaib. Melihat hal itu, ibunya sontak berteriak ketakutan. Dalam bayangannya, sang tawanan akan menebas leher putrinya itu seketika.

Namun, apa yang terjadi? Khubaib membiarkan bocah itu dan berkata, “Apakah kamu khawatir kalau aku sampai membunuhnya? Demi Allah, aku tidak akan melakukannya.”

“Sungguh, baru kali ini aku melihat ada seorang tawanan yang baik hati!” timpal si ibu.

Kepada kaumnya, perempuan ini juga menuturkan kejadian yang disaksikannya sendiri. Pernah ia melihat Khubaib sedang menggenggam setangkai buah anggur, padahal tangannya dalam keadaan terbelenggu. Lagi pula, saat itu Makkah belum kedatangan musim anggur. Itulah rezeki yang diberikan Allah kepada hamba-Nya yang sabar.

 
Pernah ia melihat Khubaib sedang menggenggam setangkai buah anggur, padahal tangannya dalam keadaan terbelenggu.
 
 

Hari eksekusi pun tiba. Keluarga mendiang Harits menunjuk seorang algojo untuk memenggal kepala tawanan itu. Khubaib dibawa ke luar Makkah agar pembunuhan dapat terjadi di luar tanah Haram.

Sebelum si algojo melakukan tugasnya, Khubaib sempat mengajukan permintaan, “Beri aku waktu sebentar saja untuk melaksanakan shalat dua rakaat.” Mereka pun membiarkannya mendirikan shalat.

Usai shalat, Khubaib berkata, “Sungguh, seandainya kalian tidak mengira aku takut menghadapi kematian, tentu akan kutambah jumlah rakaat shalatku.”

 
Sungguh, seandainya kalian tidak mengira aku takut menghadapi kematian, tentu akan kutambah jumlah rakaat shalatku
 
 

Di atas tempat eksekusi, sahabat Nabi SAW ini melantunkan bait-bait syair: “Ku tak peduli di mana ku terbunuh selama dalam keadaan Muslim. Di manapun nyawaku melayang, hanya untuk Allah. Semua (hidup) aku hanya untuk Allah. Dengan kehendak-Nya, seluruh anggota tubuhku yang terkoyak akan diberkati.”

Ia lalu memanjatkan doa, “Ya Allah, hitunglah jumlah mereka, binasakanlah mereka satu per satu. Janganlah Engkau biarkan satu pun di antara mereka hidup.” Setelah itu, algojo menebas lehernya hingga putus. Maka syahid-lah Khubaib.

Tragedi di Desa ar-Raji sangat memilukan hati Rasul SAW dan Muslimin. Apalagi, dalam bulan yang sama terjadi peristiwa serupa di Najd. Sebanyak 70 orang sahabat beliau diserang secara membabi-buta atas perintah seorang elite Bani Amir.

Padahal, sebelumnya kepala suku Bani Amir, Abu Bara’, datang sendiri kepada Nabi SAW agar beliau bersedia mengutus sejumlah sahabat untuk mengajarkan Islam kepada penduduk Najd.

Elite yang dimaksud adalah Amir bin Thufail, yang bertindak tanpa sepengetahuan Abu Bara’. Dua peristiwa itulah yang kemudian mendorong Rasulullah SAW melaksanakan qunut nazilah atau “qunut petaka” selama sebulan penuh tiap shalat Subuh.

Amalan itu menjadi salah satu sunnah yang hendaknya dilakukan kaum Muslimin tatkala mengalami cobaan berat. Mengutip laman Nahdlatul Ulama, qunut nazilah dilaksanakan ketika umat Islam sedang menghadapi persoalan yang berat, entah itu soal keamanan, bencana alam, tragedi kemanusiaan, dan sebagainya.

Meski redaksi doanya berbeda-beda, praktik ibadah itu kira-kira sama dengan qunut shalat Subuh, yakni dibaca sebelum sujud atau setelah i'tidal pada rakaat terakhir.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat