Priyantono Oemar | Daan Yahya | Republika

Kisah Dalam Negeri

Membangkitkan Usaha Kecil Tenun di Masa Lalu

Pada masa lalu, usaha kecil tenun pernah menjadi andalan anak negeri.

OLEH PRIYANTONO OEMAR

Untuk membangkitkan perekonomian 2021, pemerintah menyiapkan kredit usaha rakyat (KUR) bunga 0 rupiah. Pandemi Covid-19 memang telah meluluhlantakkan perekenomian. Karena itu, upaya kebangkitan perlu diupayakan.

UMKM bisa menjadi andalan membangkitkan ekonomi itu. Bahkan, Wakil Ketua MPR Syarief Hasan mengusulkan agar KUR untuk UMKM dinaikkan dari Rp 25 juta menjadi Rp 50 juta.

Pada masa lalu, usaha kecil tenun pernah menjadi andalan anak negeri. Usaha tenun di Majalaya menjadi contoh yang mengalami perkembangan sebagai usaha kecil dari orang-orang Indonesia, berhadapan dengan usaha-usaha besar milik orang-orang Cina.

Namun, Majalaya segera terpuruk gara-gara pecah Perang Asia Timur Raya yang berlanjut Perang Dunia II. Pada awal 1942, jumlah mesin tenun tercatat ada 49.316 (tenun tangan) dan 7.600 (tenun mesin). Setelah PD II, tinggal 20 ribu (tenun tangan) dan 6.000 (tenun mesin).

Begitu pecah perang, Jepang memegang kendali, usaha tenun di Majalaya hanya berjalan untuk keperluan balatentara Jepang. Begitu Jepang kalah, pengusaha-pengusaha Cina memindahkan pabriknya ke Bandung dalam perlindungan tentara NICA. Sementara itu, usaha-usaha kecil orang Indonesia di Majalaya terus mengalami kesulitan.

 
Begitu pecah perang, Jepang memegang kendali, usaha tenun di Majalaya hanya berjalan untuk keperluan balatentara Jepang.
 
 

Saat itu, untuk membangun usaha tenun di Majalaya, anak-anak negeri hanya bermodal keuletan. Bahan bergantung pada tuan-tuan yang memberi pinjaman. Maka, kesusahan modal tentu selalu dirasakan saat mereka memerlukan bahan-bahan yang diperlukan. Tuan-tuan pemberi pinjamanlah yang mendapat untung.

Mulai 1920 pemerintah memberikan pelatihan tenun di Bandung. Pelatihan diberikan selama 6-18 bulan. Enam bulan berada di kelas pencelupan, sisanya mempraktikkan keterampilan hingga siap menjadi penenun yang baik.

Pada 1928, baru ada enam mesin tenun di Majalaya, milik H Abdul Gani. Ketika krisis ekonomi melanda, panen padi gagal di Majalaya. Tak bisa mengandalkan sawah maka orang-orang Majalaya berbondong-bondong beralih ke tenun. Pada Desember 1934 tercatat ada 700 alat tenun di Majalaya, 200 alat di antaranya berada di bawah Koperasi Persatuan Tenun Bumiputra.

H Abdul Gani dan lima orang lainnya membina koperasi ini. Kunjungan wartawan Preanger Bodeke Majalaya pada 1934 memberi gambaran bahwa begitu memasuki desa itu akan terdengar suara aneh berupa ketukan dari alat-alat tenun.

 
Begitu memasuki desa itu akan terdengar suara aneh berupa ketukan dari alat-alat tenun.
 
 

Wilayah lain yang mengembangkan tenun ada di Samarinda, Donggala, Minahasa, Sulawesi Selatan, Garut, Yogyakarta, Pekalongan, Cirebon, Surabaya, Kediri, Padang. Kapasitas alat tenun dari Peralatan Tenun Bandung mencapai enam sarung per hari per alat. Pengusaha melihat masa depan yang layak di usaha pertenunan ini, hingga orang Cina dan Eropa pun berani menanamkan modalnya.

Pemilik 14 alat tenun tangan dan satu alat mesin tenun masuk dalam kelompok usaha kecil yang tak perlu izin. Namun, peraturan ini kemudian diubah. Yang tak perlu izin cukup pemilik empat alat tenun tangan dan satu alat mesin.

Untuk pengendalian kapasitas produksi, pemilik izin usaha tenun perlu memberi banderol pada setiap produk yang disimpan dan dipasarkan, tapi tidak berlaku bagi pemilik empat alat tenun. Per Oktober 1937, peraturan diterapkan, dengan meterai banderol seharga Rp 30.

Hal ini mendorong pemilik modal banyak mengakali peraturan. Mereka membeli alat tenun banyak, lalu didirikan usaha kecil atas nama orang lain, yang memungkinkan tidak terkena peraturan. Misal, ada yang memiliki 80 alat tenun tangan maka segera dibagi ke dalam 20 nama, masing-masing memiliki empat alat tenun.

 
Mereka membeli alat tenun banyak, lalu didirikan usaha kecil atas nama orang lain, yang memungkinkan tidak terkena peraturan.
 
 

Untuk pengusaha yang tak mau mengakali aturan, tetap saja berani mengembangkan usaha. Cukup banyak pengusaha Cina membeli lisensi dari pengusaha pribumi karena berlebih modal. Bahkan, mereka berani membeli dengan harga yang lebih mahal.

Jika satu lisensi cuma Rp 30 per buah, mereka berani membeli Rp 55-60 per buah. Itu yang membuat kapasitas alat tenun milik pengusaha Cina lebih besar dari alat tenun milik pribumi. Berapa yang berpindah tangan? Ternyata mencapai 11.874 kapasitas per bulan pada 1939.

Dalam dua tahun itu, keadaaan benar-benar berubah. Usaha tenun orang Indonesia mengalami kemunduran 12 persen, dan usaha tenun orang Cina mengalami kemajuan 45 persen. Pada 1939 ada 412 lisensi yang dimiliki orang Indonesia dengan kapasitas 73.901 sarung per bulan dan 122 lisensi yang dimiliki orang Cina dengan kapasitas 49.556 sarung per bulan.

Artinya, 10 sarung dari orang Indonesia berbanding dengan tujuh sarung dari orang Cina. Padahal, dari sisi lisensi usaha, 10 lisensi untuk orang Indonesia, baru tiga lisensi untuk orang Cina.

Setelah Perang Dunia II, alat tenun yang masih bisa dipakai tinggal 20 ribu (tangan) dan 6.000 (mesin). Awal 1942, jumlahnya mencapai 49.316 alat tangan dan 7.600 alat mesin yang ada di 1.867 pabrik. Sesudah perang, harapan kembali mengarah kepada usaha tenun.

photo
Alat tenun tradisional - (DOK Wikipedia)

Memasuki 1952, tercatat ada 2.537 pabrik tenun dengan 72.025 alat tenun tangan dan 8.307 alat tenun mesin. Ini memberi hidup kepada sedikitnya 100 jiwa orang Indonesia. Pada 1950, urusan benang masih dipegang pemerintah. Namun, sejak 1951, urusan benang dilepas pemerintah, yang membuat pabrik-pabrik tenun kembali goyah.

Pada Mei 1952, anggota parlemen mempersoalkan ini, meminta pemerintah bertanggung jawab. Namun, pemerintah menjawab:

Pemerintah akan berbuat apa yang mungkin untuk menjamin kepentingan para konsumen yang misalnya memerlukan impor tekstil yang murah. Sebaliknya, pemerintah harus perhatikan impor tekstil itu tidak boleh mematikan sama sekali industri tekstil yang dibimbing dan ditumbuhkan dengan susah payah itu.

Untuk perbaikan ekonomi, impor dianggap lebih menggiurkan, ternyata.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat