KH Hasan Abdullah Sahal mengenakan masker dan menjaga jarak dalam acara Pelantikan IKPM Jakarta periode 2020-2025. | IKPM Jakarta

Opini

Jaga Jarak KH Hasan Abdullah Sahal

Kata KH Hasan Abdullah Sahal, ada jaga jarak seumur hidup, bukan hanya pada pandemi Covid-19.

OLEH ERDY NASRUL, Wartawan Republika

Sejak Covid-19 mewabah, banyak orang menjaga jarak. Saf shalat jamaah tak lagi rapat di banyak masjid. Antrean belanja di supermarket merenggang. Tujuannya mempersempit ruang penyebaran Covid-19 yang sudah menewaskan 1,79 juta orang di dunia per 30 Desember 2020.

Penguasa Inggris Ratu Elizabeth II (94 tahun) dan anak-cucunya menerapkan jaga jarak Pada awal Desember. Di halaman Kastil Windsor yang sudah dihuni sejak abad ke-11, mereka difoto para jurnalis. Elizabeth II yang berbusana serba merah berdiri di tengah. Pangeran William (38) dan istrinya Kate Middleton (38) berdiri dua meter di sebelah kanan sang ratu. Sedangkan Putra Mahkota Pangeran Charles (72) dan istrinya Camilla (73) berjarak dua meter di sebelah kiri sang ibu.

Foto yang ditampilkan independent.co.uk, dan sejumlah media arus utama Inggris ini memberi pesan, jangan lupa jaga jarak dimanapun dan bersama siapapun, meski anggota keluarga sendiri.

Perdana Menteri Kanada, Justin Trudeau mengimbau 37,59 juta warganya untuk selalu jaga jarak. Secara lisan, pesan ini ia sampaikan melalui siaran televisi. “Physical distancing is the single best way to keep people around us safe,” katanya dalam sebuah siaran CTV News April lalu.

Presiden Joko Widodo juga berpesan kepada 267 juta warga Indonesia untuk jaga jarak, memakai masker, dan menghindari kerumunan. “Suasana masih pandemi, tapi kehidupan tetap harus berjalan. Ada yang harus tetap bekerja dan bepergian. Jika terpaksa harus keluar rumah, jangan pernah lalai,” tulisnya melalui @jokowi pada 12 Desember 2020.

Bukan pertama kali disampaikan. Pada 9 Desember sebelum pilkada serentak dilaksanakan, imbauan menerapkan protokol kesehatan juga dia sampaikan. Foto dan video Presiden juga menampilkan dirinya menjaga jarak mulai dua hingga tiga meter dalam berbagai pertemuan.

Kamus Merriam Webster mengartikan jaga jarak (physical distance) sebagai praktik mempertahankan ruang fisik yang lebih lebar (atau berjarak) dari biasanya. Hal ini dilakukan antara diri sendiri dan orang lain, menghindari kontak langsung dengan orang (atau benda) di tempat umum selama wabah penyakit menular untuk meminimalisasi dan menekan penularan infeksi (virus atau penyakit).

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) meyakini, jaga jarak bertujuan untuk memutus mata rantai Covid-19. Sebab, virus ini dapat berpindah lewat percikan air dari mulut dan hidung orang yang bicara, batuk, atau bersin. Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menerangkan jaga jarak bukan hanya berlaku di tempat umum, tetapi juga di seluruh rumah tangga dan keluarga. Karena di antara keluarga belum tentu semuanya negatif Covid-19.

Dunia dihipnotis dengan jaga jarak yang difokuskan untuk mencegah wabah. Lembaga dunia, pemimpin negara, dan miliaran orang, termasuk 1,9 miliar Muslim (Pew Research) di berbagai benua terus menerus diajak menjaga jarak fisik.

Tak hanya jaga jarak untuk mencegah penyakit. Islam mengajarkan pemeluknya menjaga jarak untuk membentengi diri dari dosa. Jaga jarak semacam ini berlaku sampai mati. Bukan sebatas pada masa pandemi terjadi.

Dalam acara pelantikan pengurus Ikatan Keluarga Pondok Modern (IKPM) Gontor cabang Jakarta di Kompleks Pesantren Darunnajah, Pimpinan Pondok Modern Darussalam Gontor KH Hasan Abdullah Sahal menekankan pentingnya jaga jarak semacam ini. Putra pendiri Gontor KH Ahmad Sahal (1901-1977) ini menggunakan kata la taqrabu. Aslinya kata ini bermakna jangan dekati, tapi juga cocok dimaknai jaga jarak.

Jaga jarak dari empat hal

Dalam pertemuan yang ketat menerapkan protokol kesehatan tadi, Kiai Hasan Abdullah Sahal menyitir empat ayat Alquran terkait jaga jarak. Semuanya adalah imbauan jaga jarak dari perbuatan keji, yang keterlaluan dan merugikan orang lain. Pimpinan Pondok Modern Darussalam Gontor sengaja menyampaikan empat ayat berikut ini, sebagai rasa prihatin dengan kondisi kehidupan sekarang.

Pertama adalah surah an-Nisa ayat 43.

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ لَا تَقْرَبُوا۟ ٱلصَّلَوٰةَ وَأَنتُمْ سُكَٰرَىٰ حَتَّىٰ تَعْلَمُوا۟ مَا تَقُولُونَ

Artinya: Hai orang-orang beriman, janganlah (jaga jaraklah dari) shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga mengerti apa yang kamu ucapkan.

Ayat ini diturunkan sebagai upaya awal melarang khamar. Allah lebih tegas lagi menyatakan keharaman Khamar dalam al-Maidah ayat 90. Di dalam ayat tersebut, khamar, judi, berhala, mengundi nasib, dikategorikan sebagai perbuatan setan. 

Dalam riwayat Abu Daud (817-889), Tirmizi (824-892), Nasai (829-915), dan al-Hakim (933-1014), yang bersumber dari Sayyidina Ali (599-661), surah An-Nisa ayat 43 dilatarbelakangi peristiwa sejumlah sahabat mabuk ketika shalat. Suatu ketika Abdurrahman bin ‘Auf (580-653) mengundang makan Ali bin Abi Thalib dan kawan-kawannya. Dalam pertemuan itu mereka meminum khamar hingga mabuk. Ketika tiba waktu shalat, orang-orang menyuruh Sayyidina Ali menjadi imam. Ketika memimpin shalat, dia keliru membaca Surah al-Kafirun. “Qul ya ayyuhal kafirun, la a’budu ma ta’budun, wanahnu na’budu ma ta’budun”. Maka turunlah ayat tersebut di atas (An-Nisa ayat 43) sebagai larangan shalat di waktu mabuk.

Penafsir Alquran, Muhammad Musthafa al-Maraghi (1881-1945 M) menjelaskan setiap Muslim yang akan melaksanakan shalat harus sepenuhnya sadar. Nalarnya berfungsi sempurna, sehingga mengetahui gerakan shalat yang akan dilaksanakannya. Karena berdasarkan kesadaran yang penuh, shalat akan mendatangkan kekhusyuan, ketundukan (al-khudhu’) , dan kehadiran bersama Allah (al-hudhur ma’allah).

Dengan mengutip ayat ini, Kiai Hasan bermaksud mengimbau umat Islam untuk memperbaiki shalat. Karena dengan shalat yang baik, seseorang akan terhindar dari kerusakan dan kemungkaran.

Kedua,  Surah al-Isra ayat 34.

وَلَا تَقْرَبُوا۟ مَالَ ٱلْيَتِيمِ إِلَّا بِٱلَّتِى هِىَ أَحْسَنُ حَتَّىٰ يَبْلُغَ أَشُدَّهُۥ

Artinya Dan janganlah kamu mendekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih baik (bermanfaat).

Dalam Tafsir al-Wajiz, pakar fikih dan tafsir, Prof Wahbah Zuhaili menjelaskan, ayat ini merupakan bukti kelembutan dan kasih sayang Allah kepada anak yatim, yang kehilangan ayahnya saat masih kecil. Anak yatim tidak mengetahui kemaslahatan baginya. Tak mampu mengurus diri sendiri. Maka Allah memerintahkan walinya supaya menjaga sang anak dan memelihara hartanya serta tidak mendekati harta itu, kecuali dengan cara yang lebih baik. Maksudnya adalah memanfaatkan harta anak yatim seperti menginvestasikannya dalam perdagangan, tidak menjerumuskannya pada bahaya-bahaya dan bersemangat untuk mengembangkannya. 

Usaha ini berlangsung sampai si anak yatim mencapai usia dewasa yaitu masa baligh, matang akalnya, dan bisa berpikir dengan baik. Apabila anak yatim tersebut telah mencapai usia dewasa, maka selesailah tanggung jawab perwalian darinya. Selanjutnya, si anak tersebut menjadi wali bagi dirinya sendiri. 

Hartanya pun diserahkan kepadanya, sebagaimana Firman Allah, "Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya" (An-Nisa: 6).

Wali anak yatim harus memerankan orang tua. Menjadi ayah bagi si anak. Mencurahkan kasih sayang kepada mereka. Dengan begitu, anak yatim mendapatkan cinta dan tumbuh dewasa dengan bahagia.

Dalam pidatonya, Kiai Hasan tidak menjelaskan mengapa harus menjaga harta anak yatim. Namun, Allah dalam Alquran dan Rasulullah dalam sejumlah hadis sudah menerangkan hal tersebut. Misalkan, An-Nisa: 10

“Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api dalam perutnya dan mereka akan masuk kedalam api yang menyala-nyala (nereka)”.

Rasulullah bersabda, “Jauhilah oleh kalian tujuh perkara yang merusak,” dan salah satu diantara perkara yang Rasulullah sebutkan adalah “Memakan harta anak yatim.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Melalui ayat ini, Kiai Hasan bermaksud perhatikan kehidupan anak yatim. Jaga dan kembangkanlah hartanya sehingga menjadi bekal kehidupan anak yatim pada masa depan.

photo
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati (kedua kiri) berbincang dengan Pimpinan Pondok Modern Darussalam Gontor KH Hasan Abdullah Sahal (kanan) saat melakukan kunjungan di Pondok Modern Darussalam Gontor di Kabupaten Ponorogo, Jawa Timur, Jumat (26/5). Sri Mulyani melakukan kunjungan ke Pondok Gontor dalam rangka silaturahmi dan memberikan kuliah umum di depan santri dan pengasuh pondok pesantren - (ANTARA FOTO)

Ketiga adalah ayat jangan mendekati zina, yaitu al-Isra ayat 32

وَلَا تَقْرَبُوا۟ ٱلزِّنَىٰٓ ۖ إِنَّهُۥ كَانَ فَٰحِشَةً وَسَآءَ سَبِيلًا

Artinya: Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan jalan yang buruk.

Dalam kitab Bidayatul Mujtahid disebutkan bahwa zina adalah persetubuhan yang terjadi bukan karena pernikahan yang sah, bukan karena semu nikah, dan bukan pula karena kepemilikan (terhadap budak). Mayoritas ulama mengiyakan ta’rif tersebut.

Istilah popular zina saat ini adalah seks bebas. Fenomenanya sungguh mengerikan. Data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dan Kemenkes menunjukkan 62,7 persen remaja Indonesia telah berhubungan seks di luar nikah. Sebanyak 20 persen dari 94.270 perempuan remaja mengalami hamil di luar nikah. 21 persen di antaranya nekat melakukan aborsi.

Penyebabnya beragam. Di antaranya adalah faktor lingkungan yang terlalu individualistis, sehingga satu keluarga dan lainnya sangat berjarak. Jarang berkomunikasi. Kurang peduli.

Lainnya adalah keluarga yang jauh dari kasih sayang. Orang tua kurang mengawasi kegiatan anaknya. Kemudian si anak berpacaran yang pada akhirnya berzina. Penyebab yang juga mendasar adalah minimnya edukasi tentang zina. Anak tidak dibekali wawasan agama yang memadai, sehingga akhlaknya menjadi rusak. Hingga berani melakukan perbuatan dosa (besar). 

Imam Syamsuddin adz-Dzahabi (abad ke-13 dan 14 M) dalam kitabnya al-Kabair, memasukkan zina dalam dosa besar (al-kabirah) ke-10. Sang imam merujuk Kitab Zabur yang membahas tentang dosa besar ini. Dijelaskan di dalamnya, pezina akan mendapat siksaan. Setelah dimasukkan neraka, kemaluan mereka akan digantung dan dihantam dengan cambuk besi.

Ketika tak kuat menahan siksa, pezina meminta tolong (istighats). Lalu datanglah Malaikat Zabaniyah. Dia berkata kepada pezina, “Ketika di dunia, Anda tertawa, bersuka ria, dan tidak mendekati Allah. Namun (ketika berzina), Anda tidak malu dosa besar itu diketahui Allah.” 

Islam tegas melarang zina, karena mudharatnya yang besar. Di antaranya adalah mengaburkan silsilah, merusak keturunan, menghancurkan rumah tangga, menghancurkan silaturahim, dan menyebarkan penyakit kelamin.

Agar terhindar dari zina, seseorang harus mengekang hawa nafsu. Caranya dengan memperbanyak puasa. Bagi kaum jomblo, jika sudah hidup berkecukupan, maka akan lebih baik untuk segera menikahi pasangan hidup yang dicintainya. 

 
 
 
Lihat postingan ini di Instagram
 
 
 

Sebuah kiriman dibagikan oleh PM Darussalam Gontor (pondok.modern.gontor)

Keempat adalah surah al-An’am ayat 151.

وَلَا تَقْرَبُوا۟ ٱلْفَوَٰحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ

Artinya: janganlah mendekati perbuatan-perbuatan yang keji, baik yang nampak di antaranya maupun yang tersembunyi.

Semua hal yang melampaui batas, hal buruk, tidak wajar, berupa tindakan dan perkataan, disebut fahisyah (فاحشة). Jamaknya adalah fawahisy (فواحش). Bentuk lain darinya adalah “fuhsy” (فحش) dan “fahsya’” (فحشاء). Fahisyah adalah perbuatan kotor, hina, nista, tidak sopan, yang merendahkan martabat diri. 

Maksud ayat ini adalah imbauan agar setiap orang tidak melakukan perbuatan keji, baik secara terang-terangan maupun sembunyi.

Salah satu contohnya adalah korupsi. Pada awal Desember negeri ini dihebohkan kasus korupsi bantuan sosial (bansos). Jumlah uang yang digelapkan mencapai Rp 17 miliar tunai. Uang tersebut disembunyikan dalam sejumlah koper. 

Sejatinya bantuan tersebut disalurkan kepada masyarakat terdampak pandemic Covid-19, termasuk di dalamnya adalah orang-orang fakir-miskin dan anak yatim. Namun kenyataannya, uang tersebut digelapkan dan diduga dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi, di tengah situasi serba sulit karena wabah korona. Sungguh sangat keji.

Manfaat

Kiai Hasan Abdullah Sahal mengatakan, jaga jarak dari empat bahaya tadi adalah upaya untuk menjaga kualitas iman. Harus dibarengi dengan keikhlasan dan mengharap ridha Allah. Juga takut (khauf) kepada siksa Allah.

Insya Allah, setelah itu akan sampai kepada empat keadaan. Pertama adalah hati yang tenang (qalbun salim). Maksudnya adalah hati terlindungi dari syirik, memiliki akidah yang benar, terhindar dari segala bentuk sirik. 

Hati yang telah bebas dari keadaan selain dari Allah SWT. Di dalam harinya hanya ada Allah. Bukan harta, dan segala kenikmatan dunia yang fana.

Qalbun salim menunjukkan hati bersih dari penyakit-penyakit hati (amradhul qulub). Contoh penyakit hati adalah iri-dengki, pamer, dan kikir. Hati yang sehat mengenal Allah, lalu menggerakkan si pemilik hati untuk mewujudkan keimanan dalam laku sehari-hari.

Hati yang sehat akan membuat pikiran kita berfungsi sempurna (aqlun salim). Menghasilkan gagasan brilian yang menginspirasi kehidupan.

Kemudian berlanjut kepada jasad yang sehat (jismun salim). Tubuh menggerakkan kebaikan. Mengajak orang-orang berkarya, mendidik anak bangsa, membangun peradaban, dan menghasilkan legasi ilmu yang bermanfaat untuk generasi penerus (fahmun salim).

“Dengan begitu, dalam hidup ini, kita menjadi bersih, tubuh kita sehat dan kuat, menjalani akhlak mulia, dan menggapai ridha Allah,” kata Kiai Hasan.

Meski dihajar wabah Covid-19 dan diharuskan physical distancing, kita harus jaga jarak yang lebih berat lagi. Yaitu jaga jarak dari shalat yang tidak sempurna, harta anak yatim, seks bebas, dan perbuatan keji. 

Jaga jarak ini jauh lebih lama. Tak sebatas pada masa pandemi Covid-19 atau Korona. Tapi, sepanjang usia kita. Allah yahdina...

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat