Aktivis berunjuk rasa di kawasan Patung Kuda Arjuna Wiwaha, Jakarta, Selasa (15/12). Dalam jangka panjang, perbaikan sistem politik adalah syarat mutlak. | ANTARA FOTO/Wahyu Putro A

Opini

Ekonomi Politik 2021

Dalam jangka panjang, perbaikan sistem politik adalah syarat mutlak.

DIDIN S DAMANHURI, Guru Besar Ekonomi Politik Departemen Ilmu Ekonomi, FEM IPB

Ekonomi Politik Indonesia 2021, dapat dipahami dengan melihat hubungan antara kondisi demokrasi dan kesejahteraan.

Menurut The Economist Intelligence Unit (EIU), kondisi demokrasi Indonesia dengan melihat Indeks Demokrasi (ID), dengan nilai antara 0 dan 10, sejak 2015 menurun bahkan merosot sejak 2016, dari 7,03 menjadi 6,97 kemudian 6,39.

Pada 2018, tetap 6,39 dan sedikit naik pada 2019 menjadi 6,48. Untuk 2020, dengan kondisi pandemi dan pengelolaan politik yang memiliki berbagai masalah, nilainya diperkirakan turun lagi. Pada susunan peringkat terakhir, Indonesia berada di nomor 64 dari 167 negara.

Terkait kondisi kesejahteraan, menggembirakan, dengan masuknya Indonesia sejak 1 juli 2020 menjadi negara berpendapatan menengah atas, yakni rata-rata 4.046-12.535 dolar AS bersama Malaysia, Brasil, Argentina, Rusia, dan Cina.

Cuma Indonesia baru lebih sedikit dari 4.046 dolar AS, yakni 4.150 dolar AS. Malaysia sudah lebih dari 12 ribu dolar AS. Itu kalau berbicara rata-rata. Lebih objektif, harus dilihat distribusinya dengan Rasio Gini Konsumsi.

Hasilnya, Indonesia juga masih timpang, sekitar 0,39 pada 2019. Apalagi, kalau dilihat dari penguasaan aset. Antara lain, menurut Credit Suisse (2018), kelompok 10 persen terkaya sama dengan 75,3 persen kekayaan nasional.

 
Apalagi dengan dampak pandemi, diperkirakan ketimpangan memburuk.
 
 

Apalagi dengan dampak pandemi, diperkirakan ketimpangan memburuk. Sebab, kelompok 10 persen penduduk teratas justru tabungannya meningkat. Sementara tabungan kelompok 40 persen habis dan lebih banyak tertumpu bantuan sosial dari pemerintah.

Jadi, menurunnya kondisi politik (baca: demokrasi) diikuti menurunnya kesejahteraan. Mengapa ini terjadi?

Dalam relasi antara demokrasi dan kesejahteraan, secara teori ataupun empiris, negara yang telah matang demokrasinya, seperti negara Skandinavia, Selandia Baru, Kanada, dan Australia, Indeks Demokrasinya di atas 9.

Pendapatan per kapitanya di atas 50 ribu dolar AS serta 40 persen penduduk terbawahnya mendapat lebih 22 persen PDB (kondisi yang merata). Berikutnya, kelompok negara negara maju lainnya, seperti Eropa Barat, AS, Jepang dan Korea Selatan.

Lalu, negara berkembang, seperti Malaysia dan Indonesia dan terakhir, disebut negara otoriter, seperti RRC dan Korea Utara.

Maka itu, variabel antara yang bisa menjelaskan kematangan demokrasi dan kesejahteraan, yakni pelaksanaan negara hukum (baca: index rule of law). Lagi-lagi, yang tertinggi negara Skandinavia, seperti Denmark, Norwegia, Finlandia, dan Swedia.

Indonesia peringkat 63 pada 2018. Index Rule of Law 2019 juga masih rendah, nomor 102 dari 126 negara dari sisi civil justice, nomor 97 dari  absence of corruption, nomor 86 dari criminal justice. Dari delapan faktor secara rata-rata, nomor 64.

Dalam kaitan antara rendahnya indeks demokrasi, kesejahteraan, dan penegakan hukum, menarik diperhatikan pandangan analis politik dari Northwestern University, Prof Jeffrey Winters.

 
Hambatan Indonesia mencapai kematangan demokrasi adalah kendali kaum oligarki modal terhadap proses demokrasi.
 
 

Dia berpendapat, hambatan Indonesia mencapai kematangan demokrasi adalah kendali kaum oligarki modal terhadap proses demokrasi sehingga makin menyulitkan mencapai cita-cita memakmurkan rakyat (/mediaindonesia.com, 18/8/2018).

Dengan kompleksitas hubungan di atas, kita ingat demokrasi bebas tahun 1950-an dengan sistem perlementer dan sejak 1998 kita mengalami sistem demokrasi presidensial, masalahnya hampir sama, yakni pengelolaan kebebasan sebagai ciri demokrasi.

Baru Jepang, Korea Selatan, dan Malaysia, di luar negara Barat, yang relatif mengalami kemajuan signifikan. Jadi betapa sangat jelasnya apalagi pada era pandemi, Indonesia mengelola kebebasan dalam format demokrasi.

Kita lihat bagaimana sengitnya dialog publik, perbedaan antarelite pemerintah pusat dan pemda dalam menetapkan PSBB, menetapkan kebijakan fiskal, prioritas antara kesehatan dan ekonomi, serta terakhir dalam vaksinasi.

Meski ujungnya dalam peringkat dalam penanganan Covid-19, Indonesia di posisi ke-18 (bulan Desember), AS, India, Brasil, dan Rusia berada di peringkat paling buruk dalam data-data terinfeksi dan kematian.

Jadi, umumnya justru negara berkategori demokratis, tapi juga berpenduduk besar. Hanya RRC, berkategori negara otoriter, tetapi paling berhasil menangani Covid-19 sekaligus tak mengalami resesi, meski penduduknya lebih dari 1,5 miliar.

 
Hanya RRC, berkategori negara otoriter, tetapi paling berhasil menangani Covid-19 sekaligus tak mengalami resesi.
 
 

Indonesia 2020, secara ekonomi dalam mengalami penanganan Covid-19 termasuk 20 negara terburuk. Namun, mengalami resesi sekitar minus dua persen, bukan negara yang terdalam dalam kontraksi ekonominya.

Untuk 2021, perhitungan kami, ekonomi akan pulih, tetapi dengan proyeksi sekitar 2-3 persen, hampir sama dengan Bank Dunia. Vaksinasi masih belum solid selain jaminan Presiden Jokowi bahwa akan gratis untuk seluruh penduduk.

Dari sisi APBN 2021, jelas ada penurunan fokus dari sisi kesehatan, bansos, dan stimulus UMKM. Kami menyarankan revisi APBN 2021 sehingga penanganan Covid-19 dan pemulihan ekonomi lebih cepat dari yang diperkirakan.

Dalam jangka panjang, perbaikan sistem politik adalah syarat mutlak agar proses demokrasi dan penegakan hukum mengantarkan ke tingkat kesejahteraan rakyat yang lebih baik.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat