Subroto | Daan Yahya | Republika

Narasi

Dipecat Membawa Nikmat

Kalau tidak begitu, mungkin aku tak pernah bergabung dengan Republika.

SUBROTO, Jurnalis Republika

Setamat kuliah aku langsung bekerja sebagai wartawan.  Sampai saat ini aku hanya satu kali berpindah kantor.  Pindahpun ceritanya karena ‘dipaksa keadaan’. 

Hari itu pertengahan tahun 1996, aku dipanggil  bagian sumber daya manusia (SDM) Harian Berita Yudha (BY), tempat aku bekerja. Aku diminta datang ke kantor di  Jakarta. Kebetulan aku liputan di Bekasi dan tinggal di Bekasi.  

Melalui  alat komunikasi pager teman-teman memberikan  selamat. Isunya aku akan diangkat menjadi karyawan  tetap  pertama di antara para calon reporter. Kami sudah enam bulan jadi calon reporter di BY.

Aku berangkat dengan percaya diri. Aku senang bisa lebih dulu diangkat jadi karyawan. Menurutku wajar karena kinerjaku lumayan bagus. Setiap hari aku membuat tak kurang dari tiga berita. Aku juga tak pernah mendapat surat peringatan karena melakukan kesalahan.

 
Bagai petir di siang bolong aku mendengar kalimat itu. Kaget.  Dipanggil bukannya diangkat, malah dipecat. 
 
 

Aku menemui sang kepala manajer SDM di ruangannya. Baru pertama kali aku bertemu pria itu. Dia tersenyum ramah menyambutku.   Dia duduk dengan gelisah. Beberapa kali dia  membolak-balik  selembar kertas  yang dipegangnya.  Lalu menarik napas panjang.

“Maaf Mas, kontraknya tidak diperpanjang,” katanya.  Bagai petir di siang bolong aku mendengar kalimat itu. Kaget.  Dipanggil bukannya diangkat, malah dipecat. 

”Maksudnya apa Mas ? “ tanyaku tidak mengerti.

“Ya, Mas Broto tidak diteruskan menjadi wartawan disini.”

Aku  masih bingung. Aku tahunya kan dipanggil untuk diangkat. 

“Salah saya apa Mas ?” tanyaku.

“Maaf Mas saya tidak bisa menjelaskan,”  kanya sambil bersandar ke kursi.

Aku tambah bingung. Ini dipecat  tapi tak diberitahu kesalahannya apa. Aku ngotot tak mau  menerima pemecatan itu kalau tak diberitahukan alasannya. 

Si manajer SDM diam sejenak. Dia seperti berpikir keras. “Baiklah aku sampaikan sebagai kawan,” katanya.

Dia bercerita, pada saat menyampaikan kabar itu sebenarnya dia juga sudah tak menjabat sebagai manajer SDM.  Dia sudah mengundurkan diri per hari itu. Tugas terakhirnya adalah memberitahu bahwa kontrakku tak diperpanjang.

 
Jika kinerjaku dianggap lebih buruk dibandingkan reporter yang lain, mungkin aku bisa terima.
 
 

Menurutnya, pemecatanku tak ada urusan dengan kinerja. Dia bilang kinerjaku bagus.

“Anda dianggap mata-mata ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indononesia).”

Tentu saja  aku terkaget-kaget mendengar alasan itu. Mata-mata ? 

“Koq bisa ? “ tanyaku heran.

Dia mengangkat bahu. 

Aku tak habis pikir kenapa alasan itu yang dipakai untuk memecatku. Jika kinerjaku dianggap lebih buruk dibandingkan reporter yang lain, mungkin aku bisa terima. Asal ada datanya.

Atau aku dianggap tak bisa diatur, mungkin saja. Aku memang termasuk repoter yang agak keras kepala. Tidak semua penugasan dari redaktur atau koordinator liputan aku telan mentah-mentah begitu saja. Jika ada yang tak masuk akal,  aku akan mendebat, walaupun kadang terpaksa aku jalankan juga. 

Menurutku reporter itu harus kritis,  dengan begitu isu koran menjadi lebih bermutu. Kadang-kadang redaktur dan koordinator liputan di kantor itu hanya sok tahu dengan yang terjadi di lapangan.

Satu lagi yang aku sesalkan, mengapa tidak mereka sendiri yang memberitahukan tentang nasibku ? Mengapa meminta kepala SDM yang sudah mengundurkan diri untuk menyampaikan kontrakku diputus ?

Aku tak menyerah begitu saja. Sebagai lulusan sarjana hukum aku sedikit banyak mengerti tentang UU Tenaga Kerja. Salah satu pasal UU Tenaga Kerja menyebutkan,  pekerja harus diberitahukan sebulan sebelum penghentian kontrak dilakukan. Jadi aku anggap saat itu adalah pemberitahuan, eksekusinyanya baru sebulan kemudian.

Si  manajer SDM kaget mendengar penjelasanku yang panjang lebar soal UU Tenaga Kerja. Dia mau berdebat dengan dasar apalagi ? Akhirnya kami sepakat. Aku tetap bekerja sebulan lagi.

Aku berjalan keluar ruangan dengan lunglai.  Belum terpikir  mau mencari kerja kemana lagi. Keinginanku menjadi wartawan seolah terkubur.

Aku memang bercita-cita menjadi wartawan. Ini adalah pekerjaan pertama yang aku jalani sejak lulus kuliah. Selama bekerja enam bulan ini tak pernah aku berniat pindah kerja, atau melamar ke tempat lain.

Teman-teman  reporter yang kuberitahu bahwa kontrakku tak diperpanjang, tak ada yang percaya. Mereka mengira aku cuma berpura-pura.

Sejumlah redaktur yang mengetahui kabar itu juga kaget. Malam harinya aku diajak bertemu  redaktur politik Effendy Choirie  dan dua redaktur lainnya di  taman yang tak jauh dari kantor.  Mereka mengatakan tak habis pikir  mengapa aku dituduh jadi mata-mata. “Lawan saja Dek. Banyak yang membantu nanti,” saran Effendy Choirie.

Mereka menyarankan supaya  aku mengadu ke Persatuan Wartawan Indonesia (PWI  atau Aliansi Jurnalis Independen (AJI).  Menurut mereka aku sudah diperlakukan sewenang-wenang. Mereka heran bagaimana  mungkin seorang wartawan baru seperti aku dianggap mata-mata ABRI. Tapi aku tak tertarik untuk  memperbesar kasus itu.

Koran BY sebelumnya dimiliki oleh Angkatan Darat. Setelah diambil oleh manajemen baru, koran itu dijadikan koran metropolitan Jakarta. Tapi perseteruan antara manajemen lama dan manajemen baru  belum berakhir. Awak BY lama yang umumnya sudah berumur tua dianggap mewakili manajemen lama. 

Aku  termasuk reporter yang sering mengobrol dengan orang-orang lama. Karena itu  aku banyak tahu tentang peta  persaingan di BY saat itu. Aku juga tahu banyak mengenai sepak terjang sejumlah awak manajemen baru.

Informasi soal peta persaingan di BY juga  aku dapat dari Ayah Maya May Syarah (yang beberapa tahun kemudian menjadi istriku),   sesama reporter baru di BY.  Ayahnya bekerja di Puspen Mabes ABRI. Aku bersama sejumlah reporter baru sering main ke rumahnya dan ngobrol, termasuk soal BY dan awak BY. 

Saat berkumpul sesama reporter kadang aku  bercerita soal konflik di tubuh BY.  Mungkin itu yang menyebabkan aku dikira mata-mata ABRI. Mata-mata Angkatan  Darat yang hendak mengambil kembali BY. Entahlah.

Seminggu  setelah dipanggil  manajer SDM,  aku dipanggil Valens G Doy Valens adalah mentor langsung kami anak-anak baru. Mantan wartawan Kompas itu adalah konsultan dari koran BY  manajemen baru.  Valens bukan pemimpin redaksi (pemred). Tapi secara de facto dia adalah pemrednya. Dia otak dari koran baru BY.

Valens mengatakan bahwa dia tidak terlibat dalam keputusan memecatku. Dia mengaku sedang tidak berada di kantor beberapa waktu.  Kendati begitu dia tak bisa mengubah keputusan yang sudah diambil bawahannya.

You punya bakat jadi wartawan. Kalau you mau pindah ke tempat lain, Om bersedia memberikan surat rekomendasi,” kata Valens.

Aku mengucapkan terima kasih atas tawarannya. Tapi aku tak tertarik  untuk mendapatkan surat rekomendasi itu.  Aku sudah terlanjur kecewa dipecat  karena dituduh sebagai mata-mata ABRI. Aku ingin buktikan bahwa aku bisa diterima di tempat lain dengan usahaku sendiri. 

Aku hanya katakan bahwa  akan menggunakan hak untuk bekerja sebulan lagi. Itu saja.

 
Kalau tidak begitu, mungkin aku tak  pernah bergabung dengan Republika.
 
 

Selanjutnya aku bekerja seperti biasa, menjalani hari-hari sebagai reporter di Bekasi. Aku tetap produktif, bahkan tulisanku memenangkan lomba penulisan di Kabupaten Bekasi.

Tak lama kemudian aku mendapat informasi ada penerimaan reporter baru di Harian Republika. Segera saja aku mendaftar. Aku mengikuti semua prosesnya dan diterima sebagai reporter baru di Republika.  Tak  menunggu lama setelah masa kontrakku  di BY habis, aku sudah bergabung di Republika.

Menjadi wartawan Republika tentu lebih menyenangkan. Republika adalah koran nasional. Saat itu gaji reporter Republika dua kali lipat dibandingkan BY.  

Saat semua wartawan baru bertemu Pemred Republika Parni Hadi, beliau bertanya. “Siapa yang pernah jadi wartawan sebelumnya ?” Aku mengangkat tangan.

You dari mana sebelum disini ?” tanya Parni.”Berita Yudha Pak,”  jawabku. 

Parni tersenyum dan mengangguk-angguk. “Bagus. You sudah diselamatkan disini. Sebentar lagi BY akan tutup.”

Sebagai wartawan senior dan sekretaris jendral PWI tentu Parni sangat paham peta media massa. Perkataannya terbukti benar. Sekitar dua tahun kemudian Harian BY benar-benar tutup. 

Hingga saat ini aku tak pernah berusaha mencari tahu apa alasan sebenarnya mengapa aku dulu dipecat. Tak perlulah. Toh  belakangan aku bersyukur dengan pemecatan itu. Pemecatan yang membawa nikmat. Mengantarkan akau ke tempat yang lebih baik. Kalau tidak begitu, mungkin aku tak  pernah bergabung dengan Republika.

Tips memilih perusahaan media sebagai tempat bekerja

- Cari informasi sebanyak-banyaknya  tentang perusahaan media yang akan dilamar

- Bertanya kepada wartawan yang bekerja di perusahan itu

- Pertimbangkan reputasi perusahaan

- Ketahui  apakah perusahaan bergerak di bidang media, lebih bagi lagi jika sudah mempunyai sertifikasi media dari Dewan Pers

- Pertimbangkan apakah perusahaan menggaji wartawannya dengan layak 

- Pertimbangkan apakah perusahaan memberi kesempatan untuk mengembangkan diri dengan berbagai kursus dan pelatihan atau melanjutkan sekolah

- Pastikan Anda menyukai perusahaan tersebut

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat