Madina Su tertarik mempelajari Islam sejak dirinya menjadi pengajar bahasa Korea untuk orang-orang asing. Di antara muridnya ialah para Muslimah asal Indonesia. | DOK IST

Oase

Madina Su, Kisah Mualaf dari Korea

Sebelum mempelajari Islam, Madina Su sempat skeptis terhadap agama.

OLEH RATNA AJENG TEJOMUKTI

 

Seperti umumnya orang Korea Selatan, pada mulanya Madina Su tidak begitu mengacuhkan Islam. Agama ini tampak begitu jauh dan bahkan cenderung identik dengan Arab atau Asia Barat (Timur Tengah).

Namun, akhirnya perempuan yang lahir di Incheon itu tidak hanya mengenal, tetapi juga memeluk Islam hingga saat ini. Di Korea Selatan, Madina menjalani kehidupan seperti umumnya wanita karier.

Sebagai pekerja kantoran, ia menghabiskan banyak waktu dengan berbagai rapat dan menyelesaikan tumpukan draf. Hingga musim liburan tiba, perhatiannya tertuju untuk pelesiran ke luar negeri.

Karena suka bepergian ke berbagai negara, dirinya menjadi tertarik untuk mengambil pekerjaan sampingan. Pilihannya jatuh pada profesi sebagai pengajar bahasa Korea ke penutur asing. Caranya dilakukan melalui jejaring media sosial. Ada sebuah platform digital yang memang menjaring orang-orang yang ingin belajar dan mengajar bahasa kepada warga negara berbeda.

Madina lantas mengambil ujian kualifikasi guru bahasa Korea. Setelah berhasil lulus, perempuan ini tidak langsung mendaftar pada platform kursus bahasa asing itu. Alih-alih demikian, ia membuka kelas gratis melalui akun media sosialnya. Dan, ternyata cukup banyak peminatnya.

Tidak sedikit peserta kelasnya yang berasal dari negara-negara Asia Tenggara, termasuk Indonesia dan Malaysia. Barangkali, menurut dugaannya, hal itu seturut dengan maraknya gelombang K-Pop yang merambah hingga region tersebut.

Siapa sangka, inilah awal mulanya Madina berjumpa dengan komunitas Muslim. Beberapa orang yang menghadiri kelas jarak-jauh adalah Muslim. Beberapa di antara mereka merupakan perempuan yang mengenakan hijab.

Saat itu, Madina terbawa arus narasi yang memandang hijab sebagai simbol ketertindasan kaum perempuan. Ia tidak memahami, mengapa ada wanita yang “rela” menjadikan dirinya sebagai objek penindasan. Kalau mengenang momen itu, ia merasa dirinya seperti halnya orang-orang Korea Selatan yang belum mengenal lebih dekat ajaran Islam.

 
Saat itu, Madina terbawa arus narasi yang memandang hijab sebagai simbol ketertindasan kaum perempuan.
 
 

“Kebanyakan orang Korea tidak tahu agama Islam. Saya juga tidak berbeda. Bagi saya, agama Islam adalah tentang sesuatu yang jauh. Namun, sekarang saya masuk Islam, dan betapa kagum dan bahagianya saya sebagai seorang Muslimah,” ujar Madina Su kepada Republika beberapa waktu lalu.

“Jadi saya pikir, para peserta kelas saya itu memakai jilbab karena telah dicuci otaknya atau memang terpaksa. Ketika saya dengan hati-hati meminta pendapat mereka tentang hijab, saya terkejut dengan jawabannya. Mereka mengaku suka dengan busana ini (hijab) dan mengenakannya atas keputusan sendiri,” lanjutnya.

 
Pandangannya tentang Islam sedikit demi sedikit mulai berubah.
 
 

Keakraban Madina dengan mereka tidak hanya di dalam, tetapi juga luar kelas. Ia pun menjalin pertemanan dengan para Muslimah itu melalui media sosial. Pandangannya tentang Islam sedikit demi sedikit mulai berubah. Sikap terbuka kawan-kawannya itu membuatnya semakin tertarik untuk mengenal agama ini. Kebaikan dan keramahan para pemeluk Islam itu membuatnya kagum.

Sejak itu, Madina meninggalkan pola pikir lamanya tentang Islam dan komunitas Muslim. Ternyata, apa-apa yang kerap digembar-gemborkan banyak media massa Barat tidak benar. Stigma tentang Islam hanyalah prasangka yang tidak ditemukan di realitas, setidaknya lingkaran pertemanannya.

photo
Madina Su bersyukur karena mendapatkan seorang suami yang membimbingnya kepada Islam - (DOK IST)

Pelajari Islam

Di Korea Selatan, umumnya sarana dan prasarana untuk mempelajari Islam terbilang sedikit. Karena itu, Madina sangat mengandalkan internet untuk mendapatkan pelbagai informasi tentang agama ini.

Tentunya, ia menemukan banyak komentar buruk yang tidak berdasar tentang Islam. Itu tak ubahnya pemberitaan di berbagai media televisi, khususnya kala mengulas topik terorisme. Namun, apa yang ditunjukkan kawan-kawan Muslimnya sangat jauh berbeda dari kampanye kekerasan.

Ia pun mengambil kesimpulan, untuk melihat ajaran suatu agama dirinya perlu membaca dasarnya. Islam bersumber dari Alquran dan Sunnah Nabi Muhammad SAW. Maka, Madina pun berusaha mendapatkan Alquran meskipun versi terjemahannya dalam bahasa Korea. Syukurlah, mushaf dalam bentuk digital itu berhasil diperolehnya.

Ia membaca berbagai terjemahan ayat kitab suci itu. Di dalamnya, ditemukan banyak panduan moral dan kisah-kisah orang saleh. Bahkan, tokoh-tokoh dalam narasi agama lain, seperti Kristen dan Yahudi, pun disebutkan di sana.

“Alquran adalah inspirasi besar. Ada kalanya, saya menangis tanpa alasan saat membaca Alquran,” tutur dia.

 
Alquran adalah inspirasi besar. Ada kalanya, saya menangis tanpa alasan saat membaca Alquran.
 
 

Dalam periode pencarian ini, ia mulai mempertanyakan kembali keyakinannya selama ini. Memang, sejak kecil perempuan tersebut sudah meyakini adanya Tuhan. Sebab, tidak mungkin manusia dan alam semesta tercipta tanpa ada Penciptanya. Akan tetapi, kepercayaan itu tidak disandarkannya pada agama tertentu.

Apalagi, sejak masa remaja dirinya melihat orang-orang religius cenderung tidak gampang bersosialisasi. Bahkan, sebagiannya menampakkan diri sebagai kelompok fanatik.

Ia meyakini, tidak ada agama yang mengajarkan kekerasan dan kekejaman. Bagaimanapun, perilaku segelintir orang yang mengaku beragama tetapi abai kemanusiaan, itu membuatnya antipati.

“Dalam pikiran saya, orang yang religius tidak begitu baik. Setidaknya seperti itu di Korea. Inilah mengapa saya tidak memiliki agama dan saya tidak menyukai orang yang religius,” kata dia mengenang.

Syahadat pertama

Lama kelamaan, Madina semakin nyaman hatinya saat mempelajari Islam. Kerap dirinya berpikir dan merenung, “Bukankah Islam itu kebenaran, dan bukankah ini agama yang selama ini saya cari?”

Tahun berganti. Perempuan ini kemudian bertemu dengan pria yang menjadi suaminya. Lelaki asal Uzbekistan—sebuah negara di Asia Tengah—itu adalah muridnya dalam kelas online bahasa Korea. Keduanya lalu menjadi teman dekat melalui media sosial. Akhirnya, mereka saling jatuh cinta hingga melangsungkan pernikahan.

Suaminya memeluk agama Islam sejak lahir. Bagaimanapun, tidak pernah Madina dipaksa untuk mengikuti iman dan kepercayaan kekasihnya itu. Kehidupan suami-istri ini pun berlangsung penuh kedamaian dan ketenteraman.

Suatu hari, Madina dilanda kegalauan. Ia merasa, sudah saatnya untuk menerima kebenaran. Sebelumnya, dirinya kerap dihinggapi kerisauan, bagaimana kalau orang tua dan kawan-kawan menjauh karena ia memeluk Islam? Akan tetapi, hal itu kini tidak lagi memberatkan batinnya.

“Di tengah keraguan, saya dipertemukan dengan seseorang yang membimbing saya, sosok yang akhirnya menjadi suami saya. Berkat dia, saya akhirnya memutuskan untuk pindah agama. Jadi suatu malam, saya untuk pertama kalinya mengucapkan dua kalimat syahadat. Alhamdulillah,” tutur dia.

 
Jadi suatu malam, saya untuk pertama kalinya mengucapkan dua kalimat syahadat. Alhamdulillah.
 
 

Peristiwa itu terjadi pada awal tahun 2020. Sejak saat itu, ia memilih nama baru: Madina Su.

Langkah pertamanya sebagai Muslimah ia tempuh dengan penuh totalitas. Bahkan, dirinya memutuskan untuk berhijab. Beberapa bulan setelah secara resmi memeluk Islam, bersyahadat di hadapan imam dan jamaah masjid, ia menapaki jenjang berikutnya dalam kehidupan. Madina menikah dengan mantan muridnya itu.

Madina masih mengingat dengan jelas, bagaimana perubahan perspektif orang-orang dalam memandangnya. Sebagai contoh, selama belasan tahun dirinya rutin melakukan check-up medis di sebuah rumah sakit dekat tempat tinggalnya.

Dan, suatu waktu untuk pertama kalinya ia datang ke sana sebagai Muslimah berhijab. Tiba-tiba, petugas menanyakan kewarganegaraannya. Padahal, rumah sakit itu memegang catatan informasi pribadinya selama ini.

“Rasanya seperti tiba-tiba menjadi orang asing hanya karena berhijab,” ucapnya.

Di kantor tempatnya bekerja, sempat pula terjadi kesalahpahaman. Ceritanya berlangsung pada Ramadhan tahun ini. Waktu itu, Madina berpuasa, sedangkan orang-orang di sekitarnya menjalani rutinitas seperti biasa.

Oleh bosnya, ia diminta untuk mengikuti jamuan makan siang dengan sejumlah rekan perusahaan. Madina sudah mencoba untuk menolak, tetapi akhirnya ia tak punya pilihan lain. Ternyata, pertemuan terus berlangsung hingga jam makan malam.

“Saya mencoba untuk tidak makan, tetapi akhirnya saya membatalkan puasa. Itu terjadi persis setengah jam sebelum waktu berbuka puasa,” katanya.

 
Saya mencoba untuk tidak makan, tetapi akhirnya saya membatalkan puasa. Itu terjadi persis setengah jam sebelum waktu berbuka puasa
 
 

Begitu kembali ke rumah, Madina menangis dan menyesali perbuatannya. Namun, ada hikmah di balik itu. Keesokan harinya, ia memberanikan diri untuk menyampaikan identitas agamanya.

Ternyata, atasannya itu tidak begitu mempersoalkan. Kini, ia dapat bekerja di sana tanpa harus khawatir akan melalaikan ibadah-ibadah wajib. Bahkan, kantornya menyediakan sebuah ruangan kecil untuk tempatnya menunaikan shalat lima waktu.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat