Petani memanen padi menggunakan alat mesin pertanian (alsintan) saat panen raya di areal persawahan lumbung pangan nasional Food Estate di Desa Belanti Siam, Kabupaten Pulang Pisau, Kalimantan Tengah, Sabtu (12/9). | Makna Zaezar/ANTARA FOTO

Opini

Antisipasi Gejolak Pangan

Gejolak harga pangan yang fluktuatif jika tak diantisipasi sangat berdampak bagi masyarakat miskin.

JOJO, Kandidat Doktor Ilmu Ekonomi Pertanian IPB

Harga komoditas bahan pangan global menjelang pergantian tahun masih belum stabil, bahkan cenderung meningkat.

Organisasi Pangan dan Pertanian Internasional (FAO) menyebut, minyak nabati menjadi komoditas pangan yang harganya melonjak tajam pada November lalu. Disusul harga gula, sereal, produk susu, dan daging.

Rata-rata indeks harga pangan global pada  November, naik empat poin berada di 105 dari Oktober 2020. Angka ini menunjukkan kenaikan 3,9 persen secara month on month (mom), dan naik 6,4 poin atau menguat 6,5 persen secara year on year (yoy).

Kenaikan ini tak hanya menjadi peningkatan bulanan tertinggi sejak Juli 2012, tetapi juga posisi tertinggi sejak enam tahun silam. Laporan World Food Program mencatat, harga pangan dunia sempat turun 4,3 persen pada Februari dan Maret 2020 akibat pandemi Covid-19.

 
Laporan World Food Program mencatat, harga pangan dunia sempat turun 4,3 persen pada Februari dan Maret 2020 akibat pandemi Covid-19.
 
 

Kemudian, harga komoditas pangan global kembali naik pada Mei hingga November 2020. Mengutip Data The FAO Food Price Index (FFPI), indeks harga pangan pada Oktober 2020 berada di angka rata-rata 100,9.

Angka ini tertinggi sejak Januari 2020 dan naik 3,1 persen dari September dan enam persen lebih tinggi dari Oktober 2019. Gula merupakan penyumbang kenaikan terbesar disusul sereal dan minyak nabati.

Indeks harga komoditas gula naik 2,8 poin ke 87,5. Secara bulanan, terapresiasi 3,3 persen. Cuaca buruk membuat produksi gula di negara Uni Eropa, Thailand, dan Rusia  menurun. 

Begitu juga harga gandum, sorgum, dan jagung internasional meningkat, membuat indeks harga pangan komoditas ini ikut naik. Data FAO menunjukkan, indeks harga sereal di posisi 114,4 naik 2,5 persen  (mom) dan 19,9 persen (yoy). 

Setali tiga uang, tren naiknya harga komoditas pangan terjadi di dalam negeri (Republika, 16 November 2020).  Secara musiman, harga komoditas pangan melonjak jelang akhir tahun karena libur panjang Natal dan tahun baru di samping bonus tahunan karyawan.

 
Curah hujan ekstrem basah berdampak negatif pada produksi pertanian di beberapa daerah dan positif pada daerah lainnya.
 
 

Hal tersebut mengerek tingkat permintaan, seperti Lebaran pada Mei lalu. Bahkan, saat PSBB, harga pangan malah melonjak tajam.

Selain permintaan yang  meningkat, ada faktor lebih dominan yang mendongkrak harga bahan pangan dalam negeri, yaitu pasokan dan distribusi. Faktor cuaca pun sering menjadi dalih melonjaknya harga komoditas pangan, terutama hortikultura.

Ini diperparah fenomena alam La Nina. BMKG menyebut, dampak La Nina berpotensi meningkatkan curah  hujan hingga 40 persen lebih tinggi dari biasanya. La Nina diproyeksikan melanda seluruh wilayah Indonesia hingga akhir tahun dan mereda pada Februari 2021.

Curah hujan ekstrem basah berdampak negatif pada produksi pertanian di beberapa daerah dan positif pada daerah lainnya.

Namun, perubahan cuaca cenderung berdampak negatif terhadap akses dan ketahanan pangan. Intensitas hujan yang tinggi juga membuat penanaman komoditas tertentu, yang sangat sensitif terhadap perubahan cuaca kian sulit serta menghambat distribusi.

Dengan demikian, pasokan di pasar ikut menipis dan harga pun naik. Bila mencermati pergerakan pada pekan kedua Desember, ada beberapa komoditas pangan yang harganya masih tinggi, seperti daging ayam broiler, cabai, dan bawang merah.  

 
Harga pangan yang fluktuatif ini jika tak diantisipasi sejak dini, sangat berdampak bagi masyarakat miskin.
 
 

Menurut data Pusat Informasi Harian Pangan Strategis (PIHPS) per 15 Desember 2020, harga daging ayam segar di pasar tradisional Rp 36.850, cabai merah besar Rp 55.800, cabai rawit merah Rp 55.400, dan bawang merah Rp 39.350.

Harga pangan yang fluktuatif ini jika tak diantisipasi sejak dini, sangat berdampak bagi masyarakat miskin. Mereka membelanjakan 70 persen uangnya hanya untuk kebutuhan makan. Bisa dibayangkan jika ada lonjakan harga pangan di tengah ketidakpastian pendapatan.

Pemerintah harus turun tangan agar komponen pangan yang bergejolak itu terkendali dalam kisaran tak lebih dari lima persen. Krisis pangan bisa terjadi jika ketimpangan akses dengan ketersediaan pangan kian melebar.

Di satu sisi, akses masyarakat menengah-bawah terhadap pangan menurun drastis karena tiba-tiba tak dapat bekerja atau kena PHK akibat Covid-19. Alhasil, harga pangan secara riil lebih mahal karena daya beli anjlok meski harga nominal tak banyak berubah.

Di sisi lain, ketersediaan pangan  domestik berbasis impor mulai bermasalah karena ketergantungan yang parah pada importasi.

Pemerintah harus mengupayakan agar krisis sisi permintaan tak terjadi bersamaan dengan sisi penawaran. Intervensi diperlukan agar komoditas pangan tetap tersedia, di samping menjaga daya beli melalui program padat karya atau jaring pengaman sosial lainnya.

Antisipasi dan mitigasi agar tak terjadi krisis pangan (Arifin, 2020). Pertama, jaminan distribusi, subsidi ongkos angkut armada pangan, khususnya dari hilir dan tengah. Satgas pangan lebih produktif jika diperbantukan memantau sistem logistik dan distribusi pangan.

Kedua, berikan jaminan harga beli yang layak kepada petani untuk mampu memetik hasil panennya. Ketiga, insentif khusus untuk petani hortikultura, perkebunan, dan lainnya jika serius akan mencapai target ekspor produk andalan tiga kali lipat. 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat