Siswa mengerjakan soal penilaian akhir semester (PAS) tahun ajaran 2020/2021 menggunakan layanan Jakwifi di posyandu kawasan Kelurahan Galur, Jakarta, Senin (30/11). Isu kecurangan akademik marak terjadi saat pembelajaran jarak jaruh. | Republika/Thoudy Badai

Keluarga

Utamakan Kejujuran, Bukan Hanya Nilai

Isu kecurangan akademik marak terjadi saat pembelajaran jarak jauh.

Sistem pembelajaran jarak jauh (PJJ) yang diterapkan sepanjang pandemi Covid 19 memang telah berjalan hampir dua semester. Kendati begitu, rupanya penerapan PJJ masih mengalami banyak kendala.

Kegiatan belajar-mengajar di masa pandemi, utamanya yang terkait dengan masalah penilaian, terhambat masalah eksternal maupun internal, yakni terkait dengan kesenjangan infrastruktur dan literasi digital, serta kurangnya kesadaran dari peserta didik untuk mengikuti asesmen secara jujur.

Isu kecurangan akademik itu diakui sejumlah guru. Salah satunya diceritakan seorang guru sekolah dasar (SD) di Tangerang Selatan berinisial F. Dia bercerita kerap menemukan jawaban dari tugas anak didiknya yang dinilai menyalin dari mesin pencari, atau hasil olah pikir orang tuanya.

Bahkan saat ujian, dia menemukan anak didiknya dibantu orang tuanya dari samping. Meski telah memergoki dan menegur, kecurangan itu tetap diulangi kembali.

Sementara pada tingkat SMA, seorang guru di Surabaya berinisial D menceritakan bagaimana plagiarisme semakin marak terjadi saat PJJ. Meski telah ditegur melalui telepon video khusus, anak didiknya tetap tidak mau mengakui perbuatannya.

Menurut D, PJJ membuat murid menjadi lebih berani dalam berbuat curang. Meski hal tersebut akan kembali lagi ke budaya yang dibangun di lingkungan sekolahnya sebelum PJJ. D berharap orang tua mau bekerja sama dalam pelaksanaan PJJ yang lebih jujur.

Di Twitter, melalui akun komunitas sekolah (@subschfess), murid-murid menyuarakan pendapatnya sendiri terkait hal itu. Menurut mereka, kecurangan akademik terjadi saat PJJ karena minimnya pengawasan sehingga menciptakan kesempatan bagi mereka untuk menyontek lantaran tidak dapat memahami materi dengan baik karena sistem belajar berubah. Alhasil, mereka merasa yang terpenting dalam PJJ adalah hasil akhir asesmen alias nilai dibanding proses mendapatkannya.

Dalam ajang pertemuan virtual “Posisi Kejujuran saat PJJ, Waktunya Perbaikan Sistem Belajar?”, topik ini pun menjadi pembahasan hangat.

Mengatasi ini, guru SMKN 1 Pangkal Pinang, Rizma Panca menjelaskan guru harus mulai memperhatikan gaya dan minat belajar siswa, serta pekerjaan orang tua mereka. Terkait materi, dia menyarankan guru memberi bahan yang bersifat inklusif.

Untuk mengatasi ketidakjujuran siswa memanfaatkan gawai dalam ujian, dia menyarankan guru untuk memberi soal yang memberi ruang untuk analisis. “Gunakan soal yang lebih menganalisis, menalar. Itu mengurangi ketidakjujuran peserat didik,” kata Yaya, sapaan akrab Rizma dalam ajang tersebut.

Di saat seperti ini, menurut dia, guru harus punya strategi pembelajaran yang sesuai. Gunakan juga aplikasi atau laman Zoom untuk menasihati anak tentang pentingnya kejujuran dan tanggung jawab.

Di lapangan, Yaya membenarkan bahwa nilai kejujuran itu dipertanyakan saat PJJ. Karena itu, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) mengeluarkan kurikulum darurat yang juga memanusiakan hubungan antara siswa, guru, dan orang tua. “Peran orang tua banyak, antara lain bagaimana mereka melihat kondisi anak dalam belajarnya,” ujar dia.

Yaya mengatakan kurikulum darurat juga mengurangi capaian kompetensi dasar, sehingga siswa memiliki banyak wantu untuk mengasah keterampilan lain selama PJJ. Kedati demikian, siswa tetap suka cara alternatif dalam mendapatkan nilai besar saat ujian.  “Peran lebih besar itu di orang tua, memanusiakan hubungan itu ada kerja sama orang tua dan wali kelas,” kata dia.

Dalam model PJJ, guru merasakan tantangan luar biasa tentang kekhawatiran pencapaian yang tak maksimal. Peneliti kebijakan pendidikan dari Pusat Studi Pendidikan dan Kebijakan (PSPK), Nya’ Zata Amani menekankan bahwa orientasi saat PJJ itu bukan kurikulum, tapi melihat peserta didik sebagai seorang anak.

“Kalau masih orientasi pencapaian nilai bukan pemahaman, makanya jadinya bagaimana (siswa ingin) nilainya bagus. Perlu diperbaiki perspektif siswa. Kita melihat pemahaman siswa bukan dari nilainya, tapi prosesnya, pembelajarannya,” ujar Nyanya, sapaan akrab Nya’ Zata Amani .

Dia menyarankan guru-guru untuk mengubah paradimanya itu dengan harapan mendorong kejujuran siswa, sembari melihat apakah mereka paham atau tidak? Menurut dia, pemberian tugas itu bukan hanya untuk evaluasi, tapi juga untuk fungsi pengukuran.

Artinya, harus ada umpan balik kepada siswa, seperti di mana salahnya, apa kurangnya, dan lain-lain. "Jangan sampai memberikan tugas yang memberatkan anak di masa PJJ ini,” kata dia.

Nyanya mengatakan salah satu bentuk kecurangan mudah dilihat dalam dunia pendidikan adalah saat ujian nasional (UN). “(Saat) itu monumen tertinggi kecurangan di UN. Itu jauh dari prinsip dasar di UN,” ujar dia.

Dia mengatakan guru bisa belajar dari UN. Artinya, jika masih menjadikan ujian sebagai segalanya, maka siswa juga melakukan segala cara, termasuk curang. “Ketika ujian ini mengevaluasi keseluruhan, ada hal yang lebih besar, maka siswa akan mempersiapkan ini high stage,” kata Nyanya.

 
Kalau masih orientasi pencapaian nilai bukan pemahaman, makanya jadinya bagaimana (siswa ingin) nilainya bagus. Perlu diperbaiki perspektif siswa.
 Nya’ Zata Amani
 

Bersama Membangun Karakter Jujur

Psikolog dan kepala Sekolah Dasar Avicenna Cinere, Rini Setianingsih menuturkan kejujuran akademik adalah salah satu nilai penting yang ditanamkan dalam pendidikan karakter di sekolah.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan Jamie Koss (2011) terhadap siswa-siswa di Amerika Serikat (AS), kejujuran akademik itu akan dipengaruhi banyak faktor, yaitu pengaruh lingkungan sekolah, pengasuhan orang tua, dan penanaman nilai kejujuran di rumah, pertemanan, dan juga hal lain seperti ketakutan akan kegagalan, ketidakpercayaan terhadap kemampuan diri.

Dalam konteks PJJ atau pembelajaran daring banyak bermunculan bentuk-bentuk ketidakjujuran akademik, seperti plagiarisme, menyontek, dan pemalsuan identitas ketika ujian.

Tidak bisa dipungkiri, menurut dia, pembelajaran tatap muka adalah bentuk terbaik dalam mengontrol kejujuran akademik. Karena itu, agar kejujuran akademik tetap bertahan meskipun pembelajaran secara daring, maka pendidikan karakter di rumah dan di sekolah tetap perlu untuk digalakkan.

Mempertimbangkan kondisi tersebut, peneliti kebijakan pendidikan dari Pusat Studi Pendidikan dan Kebijakan (PSPK), Nya’ Zata Amani menyatakan pentingnya strategi baru dalam penanaman nilai kejujuran melalui institusi sekolah.

Utamanya, murid perlu diyakinkan bahwa proses dan hasil akhir sama-sama penting, dan budaya apresiasi yang adil perlu dibangun guru di dalam kelas. Orang tua juga perlu diberi pengertian untuk tidak sekadar menitipkan anaknya di sekolah, tapi ikut bersama-sama membangun karakter yang jujur dalam diri anak.

Sebagai peneliti produk Gredu, perusahaan yang bergerak di bidang edutech, Cipta Mulia sepakat dengan usulan itu. Aspek sosial dalam penanaman nilai kejujuran tetaplah harus menjadi fokus utama, dan bukannya terlalu mengandalkan teknologi sebagai upaya preventif terjadinya kecurangan akademik. “Sikap jujur seharusnya dilaksanakan dengan atau tanpa pengawasan,” ujar dia.

 

 

 

photo
Pembelajaran jarak jauh (ilustrasi) - (Freepik)

'PJJ Berdampak Negatif pada Siswa' 

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) menyebut pendidikan jarak jauh (PJJ) memberi dampak negatif pada siswa. “Mulai dari ancaman putus sekolah, yang disebabkan anak terpaksa bekerja untuk membantu keuangan keluarga di tengah pandemi COVID-19,” ujar Direktur Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini, Pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah (PAUD Dikdasmen) Kemendikbud, Jumeri.

Dia menjelaskan pelaksanaan PJJ membuat orang tua memiliki persepsi tidak bisa melihat peranan sekolah dalam proses belajar-mengajar apabila pembelajaran tidak dilakukan secara tatap muka.

Dampak berikutnya adalah kendala tumbuh kembang, yang mana terjadi kesenjangan capaian belajar. “Perbedaan akses dan kualitas selama pembelajaran jarak jauh dapat mengakibatkan kesenjangan capaian belajar, terutama untuk anak dari sosio ekonomi berbeda,” jelas dia.

Kemudian, akan terjadi risiko kehilangan pembelajaran yang terjadi secara berkepanjangan dan menghambat tumbuh kembang anak secara optimal.

Dampak selanjutnya adalah tekanan psikososial dan kekerasan dalam rumah tangga yang mana mengakibatkan anak stres akibat minimnya interaksi dengan guru, teman dan lingkungan luar, ditambah tekanan akibat sulitnya pembelajaran jarak jauh yang menyebabkan stres pada anak. “Juga kasus kekerasan banyak yang tidak terdeteksi, tanpa sekolah banyak anak terjebak pada kekerasan di rumah tanpa terdeteksi oleh guru,” kata dia lagi.

Sebelumnya, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) I Gusti Ayu Bintang Darmawati mengatakan pandemi Covid 19 telah berdampak pada tingginya kasus perkawinan atau pernikahan pada anak.

Bintang mengatakan dalam kurun waktu Januari hingga Juni 2020, Badan Peradilan Agama Indonesia telah menerima sekitar 34.000 permohonan dispensasi kawin yang diajukan oleh calon mempelai yang belum berusia 19 tahun.

Menteri Bintang menilai tingginya kasus perkawinan pada anak menjadi salah satu penyebab meningkatnya angka anak putus sekolah.

Pemerintah memberikan keleluasaan pada Pemerintah Daerah (Pemda) untuk melakukan pembelajaran tatap muka mulai semester genap 2020/2021 atau Januari 2021. Pemberian izin dapat dilakukan secara serentak atau bertahap per wilayah kecamatan dan atau desa atau kelurahan. Hal itu berlaku mulai semester genap tahun ajaran 2020/2021 atau bulan Januari 2021. Salah satu alasan pemberian keleluasaan itu adalah untuk mengurangi dampak negatif PJJ.

 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat