Menurut Kiai Mukti Ali Qusyairi, dalam membela paham Aswaja sosok Hadratussyekh KH Hasyim Asyari tetap memerhatikan semangat ukhuwah Islamiyah. | DOK IST

Hiwar

KH Mukti A Qusyairi, Membedah Aswaja Perspektif Mbah Hasyim

Sebenarnya, semangat Aswaja dalam perspektif Mbah Hasyim ini adalah persatuan.

Dalam memahami Alquran dan Sunnah Nabi Muhammad SAW, kalangan Ahlussunnah wal jamaah (Aswaja) mengikuti metodologi yang diterapkan para sahabat beliau, yakni jalan tengah atau moderat. Ada keseimbangan antara penggunaan teks-teks suci dan akal.

Moderasi itulah yang terutama membedakannya dengan pelbagai haluan lain yang cenderung ekstrem dalam memahami ajaran Islam. Mayoritas umat Islam di seluruh dunia mengikuti Aswaja.

Menurut KH Mukti Ali Qusyairi, salah seorang tokoh yang berjasa besar dalam penyebaran paham tersebut di Nusantara ialah Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari. Pendiri Nahdlatul Ulama (NU) itu, lanjut dia, telah menghasilkan banyak karya yang berkaitan dengan Aswaja. Yang termasyhur di antaranya adalah Risalah Ahl Sunnah wa al-Jamaah.

Kiai Mukti mengatakan, kitab tersebut masih sangat relevan untuk terus dikaji saat ini. Dalam risalah tersebut, pendiri Pondok Pesantren Tebuireng Jombang, Jawa Timur, itu secara tersirat berpesan tentang pentingnya berprinsip dan ilmu bagi orang beragama.

“Nah dalam konteks sekarang, kalau generasi muda kini tidak memiliki pegangan dasar keagamaan, maka dia akan terombang-ambing dan mudah terpengaruh sesuatu yang datang dari medsos (media sosial), misalnya, yang boleh jadi berpengaruh buruk,” kata alumnus Universitas al-Azhar Kairo, Mesir, itu.

Mengapa sang mahaguru (hadratussyekh) sampai menulis kitab itu? Apa saja yang melatarinya? Lantas, bagaimana pemaknaan atasnya yang sesuai untuk zaman sekarang? Berikut wawancara wartawan Republika, Muhyiddin, dengan ketua Lembaga Bahtsul Masail Pengurus Wilayah NU DKI Jakarta itu beberapa waktu lalu.

 

Apa yang mendorong KH Hasyim Asy'ari untuk menulis Risalah Ahl Sunnah wa al-Jamaah?

Hadrastus Syekh Hasyim Asy’ari menulis Risalah Ahlussunnah wal Jamaah ini dilatarbelakangi faktor eksternal dan internal sekaligus. Faktor eksternalnya terkait dengan runtuhnya Kekhalifahan Turki Utsmaniyah pada 1924. Selain itu, Jazirah Arab pun kemudian lepas dari (kekuasaan) Turki. Keluarga Ibnu Saud lantas berkolaborasi dengan Muhammad bin Abdul Wahhab dan berhasil mendirikan Kerajaan Saudi.

Bagaimana Mbah Hasyim mengamati dinamika di Jazirah Arab itu?

Menurut Mbah Hasyim, di Saudi saat itu memiliki pemahaman keagamaan yang nantinya akan mengancam eksistensi paham Ahlussunnah wal jamaah (Aswaja). Sebab, waktu itu Ibnu Saud bersama dengan Muhammad bin Abdul Wahhab beserta pengikutnya menghancurkan situs-situs bersejarah yang dimiliki umat Islam.

Mereka menganggap situs-situs keislaman itu sebagai tempatnya umat untuk berbuat syirik, bid’ah, dan khurafat. Mereka juga membunuh Muslimin yang tidak mau mengikuti paham Wahabi. Itu sangat brutal. Lalu, sejak 1926 paham Wahabi mulai menyebar ke berbagai penjuru dunia.

Mbah Hasyim khawatir bilamana paham tersebut masuk ke Nusantara?

Mbah Hasyim menganggap, paham Wahabi ini berbahaya kalau dibiarkan saja. Sebab, orang yang tidak sepaham dengannya (Wahabi) dianggap kafir, lalu dilarang berziarah kubur. Dan di sana (Arab) orang yang di luar paham Wahabi itu juga dibantai.

Pada akhirnya, orang-orang membawa paham Wahabi ini ke Nusantara. Terjadilah konflik-konflik. Seperti di Palembang (Sumatra Selatan), itu pernah ada konflik antara Kaum Tuo dan Kaum Mudo. Di Jawa pun juga serupa. Maka, melihat kondisi itu, tergeraklah ide Mbah Hasyim untuk menulis Risalah Aswaja.

Kapan Risalah Aswaja terbit?

Dalam kitab ini, pada naskah awalnya memang tidak tercatat tahun kepenulisannya. Namun, pada halaman sembilan kitab tersebut, Mbah Hasyim menuliskan bahwa “telah muncul banyak sekali paham keagamaan yang bermacam-macam pada tahun 1330 Hijriah". Dari situ, saya menduga bahwa pada tahun itulah Mbah Hasyim menulis kitab tersebut.

Dalam karyanya itu, bagaimana Mbah Hasyim mendefinisikan Aswaja, setidaknya di Nusantara?

Menurut Mbah Hasyim, penduduk Muslimin Nusantara sudah sejak lama berpegang teguh pada mazhab Aswaja. Nah, dalam kitab ini yang dimaksud dengan Aswaja itu adalah paham yang diikuti penduduk Nusantara dengan mengikuti mazhab Imam Syafi’i, khususnya dalam fikih. Namun, kalau di qanun asasi NU, Mbah Hasyim mengatakan bahwa ada empat mazhab dalam Aswaja.

Dalam bidang akidah, yang diikuti adalah mazhab Imam Abul Hasan al-Asy’ari dan Imam Abu Manshur al-Maturidi. Dalam bidang fikih, mengikuti salah satu dari keempat mazhab, yakni Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hambali. Kemudian, dalam bidang tasawuf mengikuti mazhab Imam al-Junaid al-Baghdadi dan Imam al-Ghazali.

Menurut Mbah Hasyim, Ahlussunnah itu adalah kelompok yang berpegang teguh pada sunnah Nabi SAW. Namun, masih menurutnya, sunnah itu bukan hanya yang dilakukan Rasulullah SAW, tetapi juga kebaikan-kebaikan yang dilakukan para sahabat, termasuk Khufaur Rasyidin. Jadi orang-orang yang berpegang teguh kepada sunnah itulah yang dinamakan Aswaja.

Adapun wal jamaah itu berarti ‘berkumpul’ atau ‘bersatu padu'. Sebenarnya, semangat Aswaja dalam perspektif Mbah Hasyim ini adalah persatuan. Karena itu, Mbah Hasyim pun tak hanya tokoh di NU. Pernah juga menjadi petinggi Masyumi, yang bertujuan untuk menyatukan seluruh umat Islam dalam satu naungan.

Apa saja yang dikritik Mbah Hasyim melalui risalahnya itu?

Di dalam kitab ini, disebutkan ada beberapa paham yang menurut Mbah Hasyim mengancam (Aswaja). Pertama, ghuluwu Shufiyun, yakni sufi atau tasawuf yang berlebihan alias ekstrem. Sementara, sufisme yang berkolaborasi dengan syariat, itu malah dianjurkan oleh Mbah Hasyim.

Jadi, ada semacam jargon dalam bahasa Arab, yang artinya, “Barangsiapa bertasawuf tanpa berfikih, maka dia zindiq. Barangsiapa berfikih tanpa bertasawuf, maka dia fasik. Barangsiapa menggabung keduanya, maka dia akan sampai pada hakikat.”

Paham lainnya yang mengancam saat itu adalah Syiah, khususnya Syiah yang mencaci-maki atau melaknat sahabat Nabi SAW. Kemudian, ancaman yang paling besar adalah Wahabi. Kalau kita mau jujur, Wahabi sekarang ini sudah “beranak pinak” menjadi banyak. Di antaranya wahabi jihadis yang melahirkan Alqaidah atau ISIS itu.

Mengapa Aswaja ditekankan untuk bermazhab?

Mbah Hasyim menasihati dalam risalah itu bahwa kalangan awam sangat penting sekali untuk bermazhab. Apalagi, kalau kita kaitkan dengan fenemona sekarang ini. Ada yang dinamakan “matinya kepakaran.” Semua orang—mulai dari yang mengerti sampai yang tidak mengerti agama—sekarang bicara semua. Orang yang tidak punya kapasitas keagamaan, tidak pernah membaca kitab salafus shalih secara mendalam, tidak pernah studi Islam, kok tiba-tiba sudah berani berfatwa, umpamanya, melalui medsos (media sosial)?

Nah, fenomena “matinya kepakaran” ini pas sekali dengan anjuran untuk bermazhab. Jadi, menurut Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari, bermazhab itu sangat penting bagi orang-orang yang tidak punya ahliyatul ijtihad alias orang awam. Sebab, orang awam tidak mungkin bisa memahami sendiri Alquran dan hadis.

Mereka akhirnya mengutip Alquran dan hadis secara harfiah, tanpa mengetahui konteks turunnya ayat atau hadis. Mereka tanpa pengetahuan tentang asbabul wurud, asbabanun nuzul, dan tafsiran ayat dan hadis itu. Sebab, mereka tidak mau bertaklid.

Nah, relevansinya taklid itu adalah, kita juga menghargai referensi atau karya ulama-ulama salafus shalih. Dengan bertaklid, kita bisa mengakses ilmu pengetahuan dari seluruh kitab mereka sehingga kita tahu konteks dan tafsiran ayat.

Menurut Anda, mengapa Risalah Aswaja penting untuk ditelaah generasi kini?

Generasi muda sekarang ini kan banyak yang “mabuk gadget.” Sebagian sukanya hanya membaca meme dan tulisan yang singkat-singkat. Karena itu, kitab ini sangat relevan bagi kalangan muda. Di samping menumbuhkan kecintaan terhadap literasi agama, mereka juga dapat membentengi diri dan paham keagamannya di tengah arus zaman disrupsi dan media sosial.

Saya mengibaratkan medsos itu seperti pasar informasi. Terkadang, di situ ada benarnya. Namun, ada dan bahkan banyak juga hoaksnya, pelintirannya. Marak orang-orang yang tidak berkompeten dalam urusan agama justru berani berfatwa. Tetapi, ada juga yang memakai medsos untuk dakwah rahmatan lil 'alamin. Jadi, dari yang wangi sampai yang busuk semua ada di media sosial itu.

Nah, kalau generasi muda tidak memiliki pegangan dasar keagamaan, maka ia akan terombang ambing, mudah terpengaruh sesuatu yang datang dari medsos, yang boleh jadi berpengaruh buruk. Bagaimana caranya menbentengi diri? Ya salah satunya dengan membaca, memahami, dan menelaah kitab-kitab, termasuk Risalah karya Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari. 

photo
Ketua Lembaga Bahtsul Masail Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama DKI Jakarta KH Mukti Ali Qusyairi menyarankan generasi muda kini agar mendaras kitab-kitab ulama nusantara. Di antaranya adalah Risalah Aswaja karya Hadratussyekh KH Hasyim Asyari - (DOK PRI)

Pesan Persatuan Dalam Risalah Aswaja

 

Baru-baru ini, Bahtsul Masail Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) DKI Jakarta menggelar acara bedah buku karya Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari. Buku yang dikaji dalam kesempatan itu berjudul Risalah Ahl Sunnah wa al-Jamaah atau Risalah Aswaja.

KH Mukti Ali Qusyairi selaku ketua lembaga tersebut menjelaskan, pengkajian atas legasi intelektual sang pendiri NU penting dilakukan. Dengan demikian, harapannya generasi kini dapat memetik hikmah dan pelajaran dari pemikiran para pendahulunya.

Dalam karyanya itu, Mbah Hasyim juga turut mengobarkan semangat persaudaraan sesama Muslimin (ukhuwah Islamiyah). Kiai Mukti Ali mengingatkan, kitab tersebut ditulis pada masa kolonialisme. Pada waktu itu, kakek presiden keempat RI KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) itu menginginkan agar Muslimin jangan terpecah-belah. Sebab, ada musuh bersama yang harus dilawan, yakni penjajahan.

“Kalau orang membaca secara jeli, dalam kitab ini juga ada pesan-pesan persatuan. Jadi, meskipun misalnya NU sendiri kala itu kerap diposisikan sebagai kelompok yang dituduh sebagai melakukan takhayul, bid'ah, dan khurafat atau (disingkat) TBC, tetapi Mbah Hasyim tetap mengkritik para penuduh itu secara santun. Sebab, sama-sama umat Islam,” kata kiai kelahiran Cirebon, Jawa Barat, itu kepada Republika beberapa waktu lalu.

Secara garis besar, Risalah Aswaja merupakan jawaban Mbah Hasyim terhadap kelompok-kelompok yang “menyerang” paham Aswaja. Kiai Mukti menjelaskan, sasaran utama sang mahaguru (hadratussyekh) itu adalah Gerakan Wahabi yang mulai mengemuka di Jazirah Arab pada 1920-an atau selepas runtuhnya Kekhalifahan Turki Utsmaniyah. Dan, Wahabi pun tersebar ke pelbagai penjuru dunia, termasuk Indonesia.

 
Secara garis besar, Risalah Aswaja merupakan jawaban Mbah Hasyim terhadap kelompok-kelompok yang “menyerang” paham Aswaja.
 
 

Bagaimanapun, Mbah Hasyim dalam menangkal serangan para pengkritik Aswaja tetap mengedepankan prinsip ukhuwah. Baginya, perbedaan-perbedaan yang nonprinsipil tidak boleh menguras habis energi umat Islam. Seharusnya, energi yang besar itu tercurah untuk bersama-sama membangun kekuatan, perjuangan menuju kemerdekaan bangsa Indonesia.

“Mbah Hasyim melihat bahwa persatuan adalah prioritas utama untuk melawan penjajah. Makanya, Mbah Hasyim akhirnya juga mengeluarkan Resolusi Jihad pada 22 Oktober 1945. Itulah seruan untuk menyatukan umat Islam di seluruh Indonesia dalam mempertahankan kedaulatan negeri,” tutur pria yang pernah nyantri di Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri, Jawa Timur, itu.   

“Nah, sekarang ini kita punya musuh bersama. Namanya, Covid-19. Mengikuti semangat Mbah Hasyim, kita pun harus bersatu padu agar Indonesia bisa bebas dari wabah ini,” tutupnya.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat