KH Abdurrahim Nur merupakan seorang tokoh Muhammadiyah yang pernah berkiprah di GP Anshor Nahdlatul Ulama semasa mudanya. | DOK WORDPRESS

Mujadid

KH Abdurrahim Nur, Sosok Dai Pemersatu Umat

Kiai Abdurrahim menjadi panutan tidak hanya di satu, melainkan lintas organisasi Islam.

OLEH MUHYIDDIN

 

Cendekiawan Muslim Prof Nurcholish Madjid (1939-2005) pernah mengibaratkan dua organisasi masyarakat (ormas) Islam terbesar, Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah. Menurut akademisi yang akrab disapa Cak Nur itu, kedua ormas tersebut bagaikan sepasang sayap. Oleh karena itu, keberadaan NU dan Muhammadiyah saling melengkapi dan tak bisa terpisahkan.

Kedekatan NU-Muhammadiyah dapat dibaca tidak hanya melalui sejarah panjang masing-masing lembaga. Umpamanya, bagaimana sang pendiri NU, Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari, dan pendiri Muhammadiyah KH Ahmad Dahlan ternyata pernah belajar pada guru yang sama, KH Saleh Darat. Begitu pula, hingga kini ada beberapa tokoh pergerakan yang pernah menyelami dua organisasi tersebut meskipun pada akhirnya terlibat aktif hanya di salah satunya.

Di antara tokoh-tokoh yang demikian adalah KH Abdurrahim Nur. Alumnus Universitas al-Azhar Kairo, Mesir, itu sesungguhnya tumbuh besar di lingkungan Nahdliyin. Namun, ulama kelahiran Desa Jatirejo, Porong, Sidoarjo, Jawa Timur, itu pada akhirnya menjadi kader Muhammadiyah.

Bahkan, mubaligh yang lahir pada 17 September 1932 itu pernah menjabat sebagai ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jawa Timur periode 1987-2000. Kaum Muslimin, khususnya yang tinggal di provinsi tersebut, kerap menjulukinya sebagai dai pemersatu umat.

 
Kaum Muslimin, khususnya yang tinggal di provinsi tersebut, kerap menjulukinya sebagai dai pemersatu umat.
 
 

KH Abdurrahim Nur lahir dari pasangan Teriman dan Supiah. Saat usianya baru menginjak enam tahun, ayahnya meninggal dunia. Beberapa waktu kemudian, ibunya menikah lagi. Dari ayah tirinya, Abdurrahim kecil mendapatkan banyak bimbingan, termasuk dalam segi agama. Masa kecilnya dihabiskan terutama untuk menuntut ilmu.

Pendidikan dasarnya tak ubahnya anak-anak yang tumbuh di lingkungan santri. Ia pernah menimba ilmu di Pondok Pesantren Tirmidzi, Porong, Sidoarjo. Di lembaga yang dipimpin Kiai Manshur dan Kiai Marzuki itu, dirinya mempelajari berbagai disiplin keilmuan, termasuk nahwu, sharaf, dan tahsin Alquran.

Seusai dari sana, ia meneruskan rihlahnya ke Pondok Pesantren Darul Ulum, Peterongan, Jombang. Seperti halnya Tebuireng, pesantren tersebut pun diasuh para kiai Nahdliyin. Mereka antara lain adalah KH Romli Tamim dan KH Dahlan Kholil.

Waktu itu, Indonesia dalam masa transisi dari era penjajahan menuju kedaulatan. Meskipun telah memproklamasikan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, RI tetap jauh dari kondisi sentosa. Sebab, Belanda datang lagi dengan tujuan ingin menjajah kembali Bumi Pertiwi. Jawa Timur termasuk wilayah yang mengalami banyak pergolakan pada masa revolusi.

Pada 1948, Belanda melancarkan agresi militer kedua. Masyarakat Jawa Timur turut merasakan dampaknya. Nyaris seluruh aktivitas publik terhenti. Para pelajar dan santri setempat turut berjuang bersama arek-arek laskar bersenjata demi mengusir penjajah.

Saat suasana mulai mereda, orang-orang mulai kembali beraktivitas meskipun belum sepenuhnya normal. Dari Jombang, Abdurrahim kala itu memutuskan untuk pulang kampung. Untuk sampai ke Porong, dirinya harus berjalan kaki karena memang tidak ada kendaraan untuk ditumpangi.

Di kampung halamannya, kawan-kawannya mengajaknya untuk berdagang. Selama dua tahun, Abdurrahim pun menjadi pedagang, tetapi semangat pencari ilmu tetap menyala dalam dadanya. Pada 1950, ia kembali nyantri. Kali ini, tempatnya menuntut ilmu adalah sebuah pondok pesantren yang diasuh seorang tokoh Persatuan Islam (Persis), Ustaz A Hassan.

 
Kali ini, tempatnya menuntut ilmu adalah sebuah pondok pesantren yang diasuh seorang tokoh Persatuan Islam, Ustaz A Hassan.
 
 

Di pesantren Persis, Abdurrahim pun memperoleh banyak pengetahuan baru tentang agama. Para guru dan rekan-rekannya sesama murid mengenalnya sebagai pribadi yang tekun belajar.

Kecerdasannya juga mengesankan banyak orang, terutama lantaran dirinya memiliki kelebihan dalam membaca Alquran secara fasih. Putra Ustaz Hassan, Ustaz Abdul Qadir Hassan, bahkan kerap memujinya karena kegigihannya dalam menuntut ilmu. Tak hanya itu, lelaki asal Sidoarjo itu juga dikagumi kepiawaiannya dalam berdakwah.

Abdurrahim memang termasuk di antara para santri yang mendapatkan izin untuk bisa berdakwah di luar pondok pesantren selepas jam pelajaran. Begitu waktunya tiba, ia pamit ke luar untuk berceramah di beberapa daerah sekitar, seperti Pandaan, Porong, dan bahkan pelosok-pelosok desa.

Dari hari ke hari, aktivitasnya semakin padat. Bagaimanapun, Abdurrahim justru semakin getol melibatkan dirinya dalam berbagai kegiatan keagamaan. Di Pesantren Persis, dirinya lantas bergabung dengan Gerakan Pemuda Ansor, organisasi kepemudaan NU. Sejak saat itu, namanya semakin dikenal masyarakat luas.

Ke luar negeri

Kegigihan Abdurrahim sebagai mubaligh muda dan aktivis organisasi akhirnya sampai ke telinga Mohammad Natsir. Perdana menteri pertama RI itu merupakan seorang tokoh Persis. Dai sekaligus politikus tersebut juga bersahabat karib dengan Ustaz Abdul Qadir Hassan.

Atas saran putra Ustaz A Hassan itu, Natsir kemudian memasukkan nama Abdurrahim sebagai calon penerima beasiswa ke luar negeri. Waktu itu, pemerintah RI memang mendapatkan tawaran dari Presiden Mesir Gamal Abdul Nasir untuk mengirimkan putra-putri Muslim agar bisa belajar di Negeri Piramida.

Setelah melalui seleksi yang cukup ketat, Abdurrahim dan beberapa santri Pesantren Persis Bangil terpilih sebagai penerima beasiswa dari Mu’tamar al-Alam al-Islamy (MAI). Mereka akan belajar di Universitas al-Azhar, Kairo, Mesir.

Sebelum berangkat, para pemuda itu berkesempatan untuk menghadiri jamuan dengan M Natsir. Dalam pertemuan tersebut, tokoh Masyumi itu menyampaikan pesan-pesan dan harapan-harapannya. Pada 1955, Abdurrahim pun memulai studi tingkat sarjananya di al-Azhar.

 
Pada 1955, Abdurrahim pun memulai studi tingkat sarjananya di al-Azhar.
 
 

Di kampus tersebut, ia memilih jurusan pada Fakultas Ushuluddin. Selain aktivitas belajar, dirinya juga terlibat aktif dalam berbagai kegiatan kemahasiswaan, seperti kepanduan, olahraga, dan musik. Sesekali, bersama kawan-kawannya lelaki yang hobi membaca dan menulis itu menghabiskan sore hari dengan bermain sepak bola.

Pada 1963, Abdurrahim sukses menyelesaikan studinya. Ia berhak mendapatkan gelar licence atau Lc. Sebelum bertolak ke Tanah Air, para penerima beasiswa, termasuk dirinya, menerima gemblengan dari para tokoh MAI dan ulama. Mereka mendapatkan pesan untuk terus berjuang dalam mengamalkan ilmu dan berperan demi kemajuan umat Islam.

Sesampainya di Sidoarjo, Abdurrahim disambut hangat keluarga, masyarakat dan teman-temannya. Malahan, mereka mengadakan acara selamatan sebagai bentuk rasa syukur ke hadirat Allah SWT. Hingga saat itu, alumnus al-Azhar tersebut masih terdaftar sebagai kader GP Anshor NU.

Kiprah di Muhammadiyah

Di kampung halamannya, Abdurrahim kembali melanjutkan perannya sebagai pendidik, pendakwah, dan sekaligus aktivis organisasi keislaman. Sebagai pengajar, kariernya secara formal dimulai sebagai guru dan kepala sekolah Pendidikan Guru Agama Atas (PGAA) Muhammadiyah di Porong, Sidoarjo.

Kemudian, sejak tahun 1967 dirinya mulai menapaki karier sebagai dosen. Kiprahnya berlangsung antara lain di Institut Agama Islam Negeri (IAIN)—kini Universitas Islam Negeri (UIN)—Sunan Ampel Surabaya hingga masa pensiun pada 1997. Selain itu, ia juga mengajar di Universitas Muhammadiyah Surabaya.

Pada periode 1960-an itulah, KH Abdurrahim mulai tertarik pada organisasi Muhammadiyah. Ketertarikan itu disebabkan dirinya cukup sering diundang Muhammadiyah untuk mengisi kajian keagamaan. Memang, sebagai mubaligh ia tidak pernah membeda-bedakan siapa yang mengundang. Selama demi kepentingan agama dan umat, undangan akan selalu dipenuhinya bila waktu dan keadaan fisik memungkinkan.

Lama kelamaan, ikatan emosionalnya dengan Muhammadiyah mulai terbangun kuat. Akhirnya, Kiai Abdurrahim bergabung dengan persyarikatan yang didirikan KH Ahmad Dahlan itu.

 
Akhirnya, Kiai Abdurrahim bergabung dengan persyarikatan yang didirikan KH Ahmad Dahlan itu.
 
 

Saat berkiprah di Muhammadiyah, pada mulanya ia dipercaya sebagai sekretaris Majelis Tarjih Pimpinan Daerah Muhammadiyah Sidoarjo. Sejak menduduki jabatan itu pada 1970, perannya terus mengemuka. Alhasil, dirinya kemudian diangkat menjadi ketua Majelis Tabligh Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jawa Timur sekitar tahun 1980-an.

Pada periode 1985-1990, Kiai Abdurrahim menjadi salah satu wakil ketua PWM Jawa Timur. Waktu itu, yang menjadi ketuanya adalah KH Anwar Zain. Pada Desember 1989, Kiai Anwar berpulang ke rahmatullah.

Dalam sebuah musyawarah wilayah (musywil) PWM di Asrama Haji Surabaya, hadirin pun bersepakat untuk mengangkat Kiai Abdurrahim sebagai penerus tugas sang almarhum. Akhirnya, tokoh yang pada masa mudanya aktif di NU itu terpilih sebagai ketua PWM Jawa Timur dua periode berturut-turut, yakni 1990-1995 dan 1995-2005.

Dengan latar belakangnya itu, sosok Kiai Abdurrahim menjadi panutan tidak hanya di satu, melainkan lintas organisasi Islam. Semasa memimpin PW Muhammadiyah, dirinya diakui luas mampu menjembatani segala perbedaan yang ada di perserikatan maupun antar-organisasi.

Bagi warga Nahdliyin, utamanya yang tinggal di Jawa Timur, alumnus al-Azhar yang seangkatan dengan KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) itu merupakan pribadi yang sangat bersahabat dan terbuka. Malahan, tabiatnya mengingatkan orang-orang pada Mohammad Natsir, yang juga diterima seluruh elemen Muslimin Indonesia.

photo
Persyarikatan Muhammadiyah sejak berdiri lebih dari 1 abad silam telah memunculkan banyak tokoh yang berkiprah mencerahkan kehidupan umat dan bangsa. Di antara mereka adalah KH Abdurrahim Nur. - (DOK REP Tahta Aidilla)

Pribadi Rendah Hati dan Sufistik

Tawadhu merupakan salah satu sifat orang-orang saleh. Buya Syafii Ma’arif dalam buku Pergumulan Tokoh Muhammadiyah Menuju Sufi mengenang KH Abdurrahim Nur sebagai seorang teladan dalam perkara tawadhu. Menurutnya, keteladanan itu dapat menjadi inspirasi bagi Muslimin Indonesia, khususnya warga Muhammadiyah.

Mantan ketua umum Pengurus Pusat (PP) Muhammadiyah itu menuturkan, Kiai Abdurrahim dikenang karena kepribadiannya. Tutur katanya lembut, sikapnya santun, dan menunjukkan sifat rendah hati. Ulama yang wafat pada 29 Mei 2007 itu menjalani hidupnya dengan kesederhanaan.

Di samping itu, lanjut Buya Syafii, Kiai Abdurrahim sangat getol dalam melakukan dakwah. Sejak masa muda, alumnus Universitas al-Azhar, Mesir yang seangkatan dengan KH Abdurrahman Wahid itu sudah menekuni dunia syiar Islam.

Selain itu, tokoh kelahiran Sidoarjo, Jawa Timur, tersebut selalu terlibat aktif dalam berbagai kegiatan sosial keagamaan, seperti menyantuni anak-anak yatim, baik secara pribadi maupun melalui persyarikatan.

Selain berkiprah di Muhammadiyah, Kiai Abdurrahim juga mendirikan dan memimpin Yayasan Nurul Azhar, yang mengelola panti asuhan yatim-piatu. Tiap pekan, dirinya juga mengadakan pengajian rutin tafsir Alquran dan pengajian bulanan bertajuk “Fajar Shodiq” di halaman rumahnya. Tiap kegiatan itu kerap diikuti ribuan jamaah dari pelbagai kalangan.

“Namun bagi ustaz kita ini (KH Abdurrahim Nur), dikagumi atau tidak bukan urusannya. Yang penting baginya, pesan risalah Nabi SAW disampaikan secara bijak melalui pengajaran yang baik, dan bila berdialog dilakukannya dengan penuh kesopanan,” tulis Buya Syafii.

 
Yang penting baginya, pesan risalah Nabi SAW disampaikan secara bijak melalui pengajaran yang baik.
 
 

Ada satu kisah yang berkesan tentangnya. Dalam setiap kesempatan, Kiai Abdurrahim tidak membiasakan diri untuk dicium tangannya oleh para santri atau muridnya. Buya menceritakan, hal itu dilakukannya sebagai cerminan sikap tawadhu sekaligus menunjukkan jiwa tauhid yang kuat.

Buya melihat, dalam diri ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jawa Timur periode 1987-2000 terdapat karakteristik sufi sejati. Dalam arti, seorang salik yang tidak hanya menghabiskan waktunya untuk berzikir atau beribadah “vertikal” (habluminallah).

Dalam berbagai risalah pemikirannya, tampak bahwa sang kiai menasihati pentingnya sikap menerima, menyerah, tunduk dan patuh sepenuhnya kepada ketentuan Allah SWT.

Sebagai seorang dai prolifik, Kiai Abdurrahim menghasilkan cukup banyak karya. Di antaranya adalah Percaya Kepada Taqdir: Membawa Kemajuan atau Kemunduran? (1987) dan Perkembangan Aqidah Dalam Islam (1999).

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat