Polisi membagikan buku bacaan kepada sejumlah anak untuk dibaca di kawasan Maspati, Surabaya, Jawa Timur, Sabtu (28/11/2020). Perpustakaan keliling itu merupakan kegiatan yang dilakukan anggota kepolisian Polsek Bubutan untuk meningkatkan minat baca ana | ANTARA FOTO/Didik Suhartono

Opini

Kebijakan Literasi Berbasis Pandemi

Kebijakan literasi berbasis pandemi masing-masing daerah belum tentu sama.

 

 

MUHAMMAD MUFTI AM, Pustakawan Dinas Perpustakaan dan Kearsipan, Kabupaten Bantul, DIY

Pandemi Covid-19 merupakan bencana yang sanggup melumpuhkan sektor kehidupan masyarakat. Begitu pula dunia literasi, khususnya perpustakaan daerah, ikut terimbas sehingga menyebabkan aktivitas pelayanannya nyaris terhenti.

Kegiatan-kegiatan yang telah direncanakan, akhirnya batal menyusul terbitnya sejumlah regulasi pemerintah pusat ataupun daerah terkait Covid-19 dalam kurun setahun. Tingkat kunjungan ke perpustakaan menurun drastis.

Beragam cara ditempuh agar akses ke perpustakaan tetap ada. Sejumlah perpustakaan daerah lalu bangkit, melahirkan inovasi menjembatani masyarakat terhadap akses pengetahuan dan informasi.

UU Nomor 43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan, pada  Pasal 3 menyebut, perpustakaan berfungsi sebagai wahana pendidikan, penelitian, pelestarian, informasi, dan rekreasi untuk meningkatkan kecerdasan dan keberdayaan bangsa.

Banyak pihak tak menyadari, menyebarluaskan informasi bagian dari fungsi perpustakaan. Ini penting digarisbawahi mengingat potensi perpustakaan mendistribusikan informasi sebetulnya mendukung peran satgas Covid-19, institusi kesehatan, dan kebencanaan.

Masyarakat berhak memperoleh informasi atas jaminan UUD 1945, amendemen Pasal 28E. Perpustakaan berkewajiban menyediakan dan menyebarluaskan informasi kepada masyarakat.

Buku-buku bertema kesehatan secara umum sampai topik khusus, sudah ada di perpustakaan sejak lama. Sementara informasi seputar Covid-19, sosialisasi protokol kesehatan, kebijakan, atau regulasi pemerintah terkait pandemi tergolong tren informasi baru.

Karena itu, Perpustakaan Nasional selama pandemi menginstruksikan pustakawannya mengumpulkan semua informasi tentang Covid-19. Pustakawan dipacu menulis untuk mengemas ulang informasi ke bentuk digital, penyebarannya melalui internet.

 
Pustakawan dipacu menulis untuk mengemas ulang informasi ke bentuk digital, penyebarannya melalui internet.
 
 

Perpustakaan Nasional mengoptimalkan layanan buku digital berbasis teknologi informasi. Ini menyebabkan peningkatan akses layanan perpustakaan cukup tinggi.

Perpustakaan yang memiliki layanan digital (e-perpus), seperti iPusnas, iJogja, iMagelang Kota, iMadiun, dan sejenisnya memang dipastikan lebih meningkat aksesnya. Sirkulasi peminjaman-pengembalian buku seratus persen dijalankan mesin.

Jika ada keterlambatan pengembalian buku, mesin digital otomastis memproses transaksi pengembaliannya. Lain dengan aplikasi sistem perpustakaan semacam SLiMS, IBRA, Inlislite yang memakai barcode scanner. Transaksi melibatkan personel perpustakaan.

Setiap perpustakaan mengembangkan layanan seiring kemajuan teknologi informasi dan komunikasi sesuai UU Perpustakaan Pasal 14 ayat 3.

Mengacu UU ini, selain layanan otomasi dan digital, perpustakaan daerah membuka lebar WiFi gratis ketika muncul kebijakan layanan tertutup disertai pembatasan pengunjung. Akses katalog serta sumber informasi lainnya dilakukan secara daring.

Perpustakaan daerah memang ada yang menerapkan layanan tertutup memasuki kenormalan baru. Pemustaka bisa memesan atau memperpanjang pinjaman buku melalui saluran komunikasi perpustakaan.

Perpustakaan daerah dan perpustakaan desa pun berperan penting bagi tersedianya akses pembelajaran daring siswa sekolah. Siswa tak mampu yang membutuhkan jaringan internet atau perangkat komputer gratis dipersilakan datang ke perpustakaan.

Inovasi lainnya, penyelenggaraan rapat koordinasi, workshop, webinar, bedah buku, pelatihan, termasuk visitasi akreditasi secara virtual. Teknologi makin akrab di setiap aktivitas perpustakaan karena tuntutannya memang demikian.

Kebijakan literasi berbasis pandemi masing-masing daerah belum tentu sama, terutama menyangkut penganggaran. Tak sedikit perpustakaan daerah mengalami situasi sulit, bahkan lumpuh menghadapi pandemi dan kenormalan baru karena minimnya dana.

 
Tak sedikit perpustakaan daerah mengalami situasi sulit, bahkan lumpuh menghadapi pandemi.
 
 

Sebagian pemerintah daerah menganggap eksistensi lembaga perpustakaan kurang penting. Anggaran kegiatannya dialihkan begitu saja tanpa mempertimbangkan potensi perpustakaan sebagai penyedia informasi.

Potensi perpustakaan luput dari perhatian pemangku kebijakan. Padahal, perpustakaan dapat diandalkan untuk berkolaborasi dengan instansi pemerintah lainnya dalam hal penyebaran informasi kesehatan, melalui perpustakaan keliling misalnya.

Sebagai penyedia informasi, pengadaan buku cetak dan digital masih relevan. Penerbitan buku, majalah, atau buletin perpustakaan materinya juga disesuaikan. Isinya lebih diarahkan pada literasi kesehatan terkait pandemi dari sudut pandang berbeda.

 
Kebijakan literasi berbasis pandemi diupayakan mengakomodasi kebutuhan pustakawan dan masyarakat.
 
 

Sayangnya, kegiatan-kegiatan perpustakaan daerah lebih sering dianulir, sulit dipertahankan. Fungsi perpustakaan sebagai wahana pembelajaran sekaligus pusat informasi seakan mandul akibat inkonsistensi penganggaran.

Di sisi lain, fungsional pustakawan bingung dari mana memperoleh angka kredit kenaikan pangkat. Terlebih bila pustakawannya tergolong pasif, stagnan, minim daya kreasi inovasi, barangkali hanya lebih sering mengikuti kegiatan webinar memburu sertifikat.

Perpustakaan bersama tim anggaran di pemerintahan seyogianya mempertimbangkan hal di atas. Kebijakan literasi berbasis pandemi diupayakan mengakomodasi kebutuhan pustakawan dan masyarakat.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat