Pasukan Raider Kodam Iskandar Muda melakukan penyerangan saat simulasi pembebasan sandera dari kelompok teroris di kantor Pemerintah Aceh, Banda Aceh, Aceh, Jumat (9/10). | AMPELSA/ANTARA FOTO

Nasional

Dewan Soroti Dualisme Kewenangan pada Perpres TNI

DPR dan pemerintah membentuk dewan pengawas mengenai pelibatan TNI dalam penanganan terorisme.

JAKARTA – Komisi III DPR menyoroti sejumlah pasal yang ada dalam Peraturan Presiden (Perpres) tentang Pelibatan TNI dalam Mengatasi Aksi Terorisme. Salah satunya, pasal 3 dinilai berpotensi menimbulkan dualisme kewenangan antara aparat penegak hukum dan intelijen.

Ketua Komisi III DPR Herman Herry mengatakan, potensi dualisme kewenangan dapat timbul dari rancangan perpres tersebut, khususnya antara TNI dan aparat penegak hukum dalam penanganan terorisme. "Kegiatan penangkalan (oleh TNI) berpotensi bergesekan atau bersinggungan dengan kewenangan yang dimiliki oleh pihak lain, yakni aparat penegak hukum dan intelijen berdasarkan undang-undang," ujar Herman, Senin (30/11).

Untuk itu, perlu adanya pengaturan yang lebih terperinci terhadap keterlibatan TNI. Sebab, tugas yang meliputi penangkalan dan pemulihan aksi terorisme merupakan kewenangan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT). Hal itu tertuang dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. "Perlu adanya pengaturan lebih terperinci dengan batasan-batasan yang jelas," ujar Herman.

photo
Sejumlah personil TNI bersiap mengikuti upacara penerimaan pasukan setibanya di Bandara Mutiara Sis Aljufri Palu di Palu, Sulawesi Tengah, Sabtu (15/8). Kedatangan pasukan TNI tersebut untuk bergabung bersama pihak Kepolisian dalam Tim Satuan tugas Tinombala guna mengejar sisa Kelompok teroris Mujahidin Indonesia Timur (MIT) di Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah - (Mohamad Hamzah/ANTARA FOTO)

Pandangan tentang dualisme ini juga termuat dalam surat pandangan Komisi III DPR soal Perpres Pelibatan TNI. Republika sudah mengonfirmasi salinan surat bernomor 362-DW/KOM.III/MP.II/XI/2020 kepada Wakil Ketua Komisi III DPR Pangeran Khairul Saleh. “Ya, itu benar surat pandangan Komisi III,” ujar Pangeran, kemarin.  

Surat itu menyebutkan, Komisi III DPR memberikan tiga pendapat perihal pasal 3 dari perpres tersebut. Pertama, poin (a) berbunyi, “Kegiatan operasi intelijen memerlukan batasan-batasan yang lebih jelas. Karena, penyelidikan bukan tugas pokok TNI.” Poin (b), “Kegiatan operasi informasi harus dijelaskan bagaimana cara mendapatkan informasi tersebut, karena harus disesuaikan dengan prinsip hak asasi manusia (HAM) dan peraturan perundang-undangan.” Terakhir, poin (c) berbunyi, “Frasa ‘kegiatan dan/atau operasi lainnya’ dalam lingkup UU Terorisme ini juga menimbulkan multitafsir dan perlu mendapatkan pengaturan yang lebih tegas mengenai bentuk dan batasannya.”

Soal perpres ini, DPR dan pemerintah telah sepakat untuk membentuk dewan pengawas (dewas) yang akan mengawasi pelibatan TNI dalam penanganan terorisme. Dewan akan terbentuk setelah Perpres tentang Pelibatan TNI dalam Mengatasi Aksi Terorisme terbit. 

photo
Prajurit TNI yang tergabung dalam Satuan Tugas Tinombala VI tahun 2017 mengikuti Apel Purna Tugas sebelum diberangkatkan dengan menggunakan kapal di Pelabuhan Feri Taipa, Palu, Sulawesi Tengah, Jumat (9/6). - (ANTARA FOTO)

Wakil Ketua DPR Azis Syamsuddin mengatakan, pihaknya sudah membahas hal ini dengan Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly. Masukan dari DPR ini akan diteruskannya kepada Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD.

“Pembentukan dewan pengawas dari Komisi I. Kalau dari Komisi III, perlu kehati-hatian dalam penanganan TNI dalam tindakan preventif,” ujar Azis pada Rabu (25/11). 

Sementara itu, Yasonna menjelaskan, perpres itu menjadi satu-satunya yang memerlukan pertimbangan DPR sebelum penerbitannya. Ia mengatakan, hasil konsultasi dengan Komisi I dan III tersebut akan segera dibahas oleh pemerintah. 

Dosen hukum tata negara dari Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Jentera, Bivitri Susanti, menilai rancangan perpres itu sudah salah dan keliru dari cara mengaturnya. Menurut dia, ancaman terhadap HAM dan catatan terkait militerisme penting untuk diperhatikan.

"Kekhawatiran masyarakat tidaklah berlebihan karena belakangan memang diskursus kembalinya militer menangani peran otoritas sipil semakin menguat," ujar Bivitri dalam keterangan tertulis, Ahad (29/11). 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat