IMAN SUGEMA | Daan Yahya | Republika

Analisis

Kelembaman Sosial

Kelompok yang mengidap kelembaman sosial alias sulit untuk diajak move on.

Oleh IMAN SUGEMA

OLEH IMAN SUGEMA

Ada sebagian kelompok masyarakat yang sangat sulit berubah ketika situasi menuntutnya untuk berubah atau melakukan penyesuaian. Kelompok ini secara sosial memiliki inersia yang tinggi sehingga sulit diajak untuk menyesuaikan diri dengan keadaan, yang sedang mengalami perubahan yang dahsyat. Kelompok ini disebut juga sebagai kelompok yang mengidap kelembaman sosial alias sulit untuk diajak move on.

Dalam konteks penanganan wabah pandemi Covid-19, salah satu penyebab masih meningkatnya jumlah kasus harian adalah masalah kelembaman sosial ini. Kita banyak menyaksikan sebagian dari masyarakat kita masih hilir mudik tanpa mematuhi protokol kesehatan yang dianjurkan pemerintah, yakni memakai masker, mencuci tangan pakai sabun, dan menghindari kerumunan. Bagi kelompok masyarakat seperti ini seolah-olah virus korona itu tidak pernah ada.

Jumlah kasus harian akan semakin terkendali bila minimal dua pertiga populasi Indonesia patuh terhadap protokol kesehatan. Dengan kata lain, tetap meningkatnya kasus harian menunjukkan bahwa lebih dari sepertiga penduduk Indonesia masih belum mematuhi protokol kesehatan.

Kalau pakai angka absolut itu berarti lebih dari 90 juta orang Indonesia belum patuh. Ini sebuah angka yang besar dan tampaknya bukanlah pekerjaan mudah.

 
Kalau kita pakai kelembaman sosial sebagai kerangka berpikir, masalahnya dapat ditelusuri melalui kacamata sosial, ekonomi, dan politik. 
 
 

Untuk bisa memecahkan masalah ini tentunya kita harus tahu akar masalahnya. Kalau kita pakai kelembaman sosial sebagai kerangka berpikir, masalahnya dapat ditelusuri melalui kacamata sosial, ekonomi, dan politik. Masing-masing penyebab tentunya menuntut pemecahan berbeda.

Dari kacamata sosial, kelembaman dapat terjadi karena pengetahuan dan tata nilai atau norma yang berlaku. Dengan berkembangnya internet of things banyak sekali terjadi disinformasi, yang membingungkan masyarakat sehingga ada sebagian dari kita tidak paham mengenai bahaya Covid-19. Khusus masalah ini, WHO sendiri kemudian menyebut fenomena ini sebagai infodemic.

Walaupun seandainya infodemic itu tak ada, kita masih menghadapi satu masalah laten, yakni nilai-nilai yang dipegang oleh masyarakat, yang tecermin dalam kebiasaan hidup sehari-hari. Bagi kelompok masyarakat yang terbiasa hiruk-pikuk dengan aktivitas sosial, adalah sangat sulit untuk kehilangan kebiasaan.

Social engagement merupakan kebutuhan hidup yang tetap harus dipenuhi. Interaksi sosial secara digital tampaknya belum bisa menggantikan semua kenikmatan interaksi sosial secara fisik.

Masyarakat Indonesia dikenal sebagai bangsa yang sangat guyub. Mangan ora mangan asal ngumpul. Karena itu, jangan heran kalau masih banyak di antara kita yang masih aktif kumpul-kumpul. Tampaknya social distancing hanya berhasil bagi masyarakat yang soliter, dan tampaknya Indonesia tidak termasuk kelompok yang soliter.

Dari kacamata ekonomi, banyak dari kita yang terancam kelaparan kalau tidak bekerja. Mereka harus tetap bekerja agar tidak mati kelaparan. Ini juga menunjukkan bahwa bansos yang disediakan oleh pemerintah belum cukup untuk menjangkau kelompok ini. Kelompok yang tetap bekerja di luar rumah ini juga mesti kita pahami sebagai kelompok yang menyelamatkan perekonomian.

Karena merekalah, perekonomian tetap bergerak dan kita bisa menghindari resesi yang lebih dalam. Namun, kita harus berusaha keras agar lingkungan kerja mereka menjadi kondusif terhadap penerapan protokol kesehatan. Di sinilah peran pemerintah daerah dan TNI-Polri bisa dimaksimalkan agar tidak mudah lelah dalam melakukan persuasi.

 
Dari kacamata ekonomi, banyak dari kita yang terancam kelaparan kalau tidak bekerja. Mereka harus tetap bekerja agar tidak mati kelaparan.
 
 

Dari kacamata politik, tantangannya sangatlah pelik. Kita baru saja melewati pemilu serentak pada 2019 dan kini kita sedang menghadapi Pilkada Serentak 2020. Pola pengelompokan yang sangat tajam antara cebong versus kampret masih terasa dominan.

Coba Anda lihat sumber-sumber infodemic seperti yang diungkapkan oleh WHO, maka akan sangat terlihat pola yang sangat umum. Apa pun kualitas informasinya, hampir bisa dipastikan bahwa dua kelompok ini tetap berseberangan. Setiap isu yang digulirkan oleh cebong maka kampret akan dianggap salah walaupun esensinya benar. Begitu juga sebaliknya berlaku.

Kalau kita telusuri di internet dan pergerakan masa politik riil di lapangan, selalu ada korelasi antara perseteruan dalam kancah politik dan pembentukan persepsi di dunia maya. Harap dipahami bahwa dalam era digital, setiap perseteruan sangat mudah untuk terdelegasi ke bilik-bilik rumah tanpa sekat waktu dan wilayah.

Untuk kepentingan politik, apa pun jenis perseteruannya akan selalu ada pihak-pihak yang memiliki kepentingan agar perseteruan ini terus meruncing. Apa yang terjadi di Petamburan atau Tugu Proklamasi serasa berada di depan rumah kita. Dalam hal seperti ini, diperlukan kesadaran tinggi di antara elite-elite politik untuk mendahulukan kepentingan masyarakat luas agar kita segera terbebas dari momok Covid-19.

Kapankah elite politik akan mendahulukan kepentingan rakyat? Wallahu a’lam bishawab.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat