Wakil Presiden KH Ma'ruf Amin saat menghadiri Munas ke-10 MUI. | Dok. KIP/Setwapres

Kabar Utama

Munas MUI Hasilkan Lima Fatwa

Munas MUI yang ke-10 berlangsung di Hotel Sultan Jakarta pada 25-27 November 2020.

JAKARTA -- Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) menghasilkan lima fatwa pada hari kedua Musyawarah Nasional (Munas) X MUI, Kamis (26/11). Keempat fatwa berkaitan dengan ibadah haji, sementara satu fatwa mengenai penggunaan human diploid cell atau sel diploid manusia untuk bahan produksi obat dan vaksin.

Fatwa-fatwa tersebut merupakan istifta' atau pertanyaan yang diajukan Badan Pengelolaan Keuangan Haji (BPKH) dan Kementerian Kesehatan (Kemenkes). Ketua Tim Materi Fatwa Munas MUI ke-10 KH Asrorun Niam Sholeh mengatakan, hasil fatwa telah dibacakan pada sidang pleno, Kamis (26/11).

Terkait fatwa penggunaan sel diploid manusia, KH Asrorun menjelaskan, sel diploid manusia adalah sel yang memiliki jumlah kromosom ganda, yaitu memiliki dua set kromosom yang berjumlah 46. Sel tubuh manusia adalah satuan terkecil yang membentuk jaringan serta organ manusia. Sedangkan yang dimaksud sebagai bahan adalah bahan baku, bahan tambahan, dan bahan penolong yang digunakan dalam pembuatan obat atau vaksin.

Pada dasarnya, kata dia, penggunaan sel yang berasal dari bagian tubuh manusia untuk bahan obat atau vaksin hukumnya haram. Sebab, bagian tubuh manusia (juz’u al-insan) wajib dimuliakan. "Namun, dalam hal terjadi kondisi kedaruratan (dharurah syar’iyah) atau kebutuhan mendesak (hajah syar’iyah), penggunaan sel diploid manusia untuk bahan obat atau vaksin hukumnya boleh," kata Kiai Niam kepada Republika, Kamis (26/11) malam.

Sekretaris Sidang dan Juru Bicara Komisi Bidang Fatwa ini menegaskan, meski hukumnya dibolehkan, ada sejumlah persyaratan yang harus dipenuhi. Syarat pertama, tidak ada bahan lain yang halal dan memiliki khasiat atau fungsi serupa dengan bahan yang berasal dari sel tubuh manusia.

Kedua, obat atau vaksin tersebut hanya diperuntukkan pengobatan penyakit berat, yang jika tanpa obat atau vaksin tersebut maka berdasarkan keterangan ahli yang kompeten dan terpercaya diyakini akan timbul dampak kemudaratan lebih besar.Syarat ketiga, tidak ada bahaya (dharar) yang mempengaruhi kehidupan atau kelangsungan hidup orang yang diambil sel tubuhnya untuk bahan pembuatan obat atau vaksin. Keempat, apabila sel tubuh manusia yang dijadikan bahan obat atau vaksin bersumber dari embrio, maka harus didapatkan melalui cara yang dibolehkan secara syar’i.

"Cara yang syar'i seperti berasal dari janin yang keguguran spontan atau digugurkan atas indikasi medis atau didapatkan dari sisa embrio yang tidak dipakai pada inseminasi buatan atau IVF (in vitro fertilization)," ujar Kiai Niam.

Adapun syarat kelima, pengambilan sel tubuh manusia harus mendapatkan izin dari pendonor. Keenam, dalam hal sel tubuh berasal dari orang yang sudah meninggal harus mendapatkan izin dari keluarganya.Kemudian, sel tubuh manusia yang menjadi bahan pembuatan obat atau vaksin diperoleh dengan niat tolong-menolong (ta’awun), tidak dengan cara komersial.

Kedelapan, kebolehan pemaanfaatannya hanya sebatas untuk mengatasi kondisi kedaruratan atau kebutuhan mendesak. Kiai Niam mengatakan, ada sejumlah rekomendasi yang disampaikan Komisi Bidang Fatwa Munas MUI ke-10.

Pertama, pemerintah, tenaga medis, dan masyarakat diminta untuk menjadikan fatwa ini sebagai pedoman. Kedua, pemerintah wajib menjamin ketersediaan obat atau vaksin halal sebagai bentuk perlindungan terhadap keyakinan keagamaan. "Ketiga, produsen obat dan vaksin wajib mengupayakan produksi obat dan vaksin yang halal dan mensertifikasikannya sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku," jelasnya.

Rekomendasi lainnya adalah mengimbau masyarakat agar dalam pengobatan senantiasa menggunakan obat yang suci dan halal. Terakhir, pemerintah dan masyarakat dalam menetapkan kondisi kedaruratan atau kebutuhan mendesak yang membolehkan obat dan vaksin yang haram, harus merujuk pada fatwa keagamaan.

Pimpinan Sidang Komisi C pada Munas ke-10 MUI, KH Sholahuddin Al Aiyub, menjelaskan, empat fatwa yang dibahas berkaitan dengan ibadah haji. Keempat fatwa itu mengenai penggunaan masker bagi yang sedang ihram, fatwa pendaftaran haji saat usia dini, fatwa pembayaran setoran awal haji dengan utang dan pembiayaan, dan fatwa penundaan pendaftaran haji bagi yang sudah mampu.

"Jadi, ada empat fatwa sekaligus yang terkait dengan haji," kata Kiai Sholahuddin saat sidang pleno agenda komisi di arena Munas MUI di Hotel Century, Jakarta, Kamis (26/11).

Ia menjelaskan, tata cara manasik haji dalam kondisi Covid-19 menimbulkan pertanyaan. Ketika haji terjadi kerumunan, untuk tetap menjaga protokol kesehatan perlu menggunakan masker. Padahal, dalam kondisi sedang berihram, hukum menutup wajah tidak diperbolehkan. Begitu juga bagi perempuan yang harus membuka penutup wajah.

Fatwa tentang haji yang kedua adalah terkait rencana pendaftaran haji saat usia dini. Fatwa ini dibahas agar antrean haji yang semakin lama bisa diantisipasi dengan pendaftaran haji pada usia dini. Dengan demikian, meskipun antrean lama, seorang Muslim masih berkesempatan menjalankan ibadah haji.

"Mungkin ketika masih muda belum memiliki istithaah (kemampuan), sedangkan ketika mereka sudah mampu, umurnya sudah agak uzur. Ditambah lagi dengan problem semakin panjangnya antrean sehingga waktu berangkat haji kondisinya sudah sepuh. Bagaimana agar pendaftarannya dimulai sejak usia kecil?" ujarnya.

Wakil Sekretaris Jenderal Bidang Fatwa MUI ini melanjutkan, fatwa ketiga yang dibahas terkait pembayaran setoran awal haji dengan utang dan pembiayaan. Hal ini muncul karena banyaknya umat yang tidak memiliki dana likuid lebih. Sementara, masyarakat umumnya cenderung memiliki aset dalam bentuk tanah ataupun sejenisnya.

"Boleh atau tidak menggunakan dana talangan haji. Ini diungkit kembali dana talangan haji. Kebijakan Kementerian Agama dalam hal ini tidak membolehkan, ini mustafti (pemohon pertanyaan fatwa) adalah BPKH," katanya menjelaskan.

Kiai Sholahuddin menyampaikan, Komisi Fatwa MUI pada awalnya mendaftarkan sembilan masalah, tetapi mengerucut menjadi lima setelah melalui diskusi dan pembobotan. Ada proses yang direspons, disaring, dan dilihat bobot masalahnya. Sementara, satu fatwa lainnya yang dibahas adalah mengenai human diploid cell atau sel diploid manusia.

Munas MUI yang ke-10 berlangsung di Hotel Sultan Jakarta pada 25-27 November 2020. Munas digelar secara luring dan daring mengangkat tema “Meluruskan Arah Bangsa dengan Wasathiyatul Islam, Pancasila, dan UUD NRI 1945 Secara Murni dan Konsekuen”.

Sidang komisi fatwa berlangsung hingga Kamis malam. Hingga berita ini dibuat, hasil sidang belum disampaikan ke publik. Selain sidang-sidang komisi, agenda lain pada hari kedua Munas X MUI adalah pemilihan ketua umum MUI periode 2020-2025.

Ketua Panitia Pengarah Munas ke-10 MUI KH Abdullah Jaidi menyampaikan, pemilihan jajaran kepengurusan baru MUI dilakukan pada Kamis malam. Sesuai jadwal, pengesahan hasil kerja komisi-komisi, termasuk pengesahan hasil rapat tim formatur yang salah satunya mengenai kepengurusan baru, dilakukan pada pukul 23.00 WIB.

Imam Besar Masjid Istiqlal Prof KH Nasaruddin Umar menilai, MUI ke depan tidak hanya membutuhkan seseorang yang ahli dalam agama, tetapi juga seorang pemimpin yang mampu menyelesaikan berbagai masalah. “Jadi, tidak hanya sebagai Muslim scholar, tapi juga harus menjadi problem solver, harus punya pengalaman internasional,” ujar Kiai Nasaruddin. Menurut dia, hal itu penting karena MUI akan dihadapkan dengan berbagai problem keumatan.

Ia menambahkan, ketua umum MUI yang baru juga harus mempunyai visi untuk memajukan umat Islam dalam 50 tahun yang akan datang. “Kedua, harus punya visi kira-kira 50 tahun yang akan datang, kira-kira seperti apa umat yang kita akan wujudkan nantinya. Jadi, harus visioner,” ucapnya.

Hal yang tak kalah penting, kata dia, pemimpin tertinggi MUI harus mampu menjembatani berbagai komponen umat sehingga bisa membangun persatuan umat. “Intinya, tokoh MUI mesti punya pengalaman birokrasi yang mahir, punya figur intelektual yang matang, dan juga figur emosionalitas yang mumpuni,” katanya menjelaskan. 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat