Terdakwa kasus dugaan suap penghapusan red notice Djoko Tjandra, Brigjen Pol Prasetijo Utomo (tengah) menjalani sidang lanjutan di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Senin (23/11). | Republika/Thoudy Badai

Nasional

Imigrasi Akui Hapus Nama Djoko Tjandra

KPK pelajari fakta persidangan kasus skandal Djoko Tjandra.

JAKARTA -- Kepala Subdirektorat Cegah Tangkal Dirwasdakim pada Direktorat Jenderal Imigrasi, Kementerian Hukum dan HAM, Sandi Andaryadi, mengakui adanya permintaan dari Divisi Hubungan Internasional (Divhubinter) Mabes Polri untuk penghapusan nama Djoko Tjandra dalam daftar Enhanced Cekal System (ECS) pada Sistem Informasi Keimigrasian (Simkim). 

Sandi mengungkapkan hal itu dalam sidang lanjutan dugaan suap penghapusan red notice Djoko Tjandra di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta Pusat, Senin (23/11), dengan terdakwa Prasetijo Utomo. Awalnya, jaksa penuntut umum (JPU) Wartono menanyakan ihwal surat permintaan pada Mei 2020 dari Divhubinter Polri kepada Imigrasi. "Ada dua surat. Siapa yang tanda tangan dan jelaskan isi masing surat apa?" tanya jaksa. 

Sandi menerangkan, pada kurun waktu Mei 2020, pihaknya menerima surat nomor B/1030/V/2020/NCB-Div HI tanggal 04 Mei 2020 dan surat nomor B/1036/V/2020/NCB-Div HI tanggal 5 Mei 2020. Keduanya ditandatangani oleh Sekretaris NCB Interpol Indonesia Divhubinter Polri Brigjen Nugroho Slamet Wibowo. 

"Kedua surat tersebut berasal dari Divhubinter dan ditandatangani oleh Ses NCB Indonesia atas nama Brigjen Slamet Wibowo, kalau tidak salah. Dua-duanya ditandatangani oleh pejabat yang sama," ujar Sandi. 

Surat tanggal 4 Mei berisi pembaruan data yang sedang dilakukan NCB Interpol 1996-2020 dan penegasan kembali bawa NCB berwenang menerbitkan red notice, bukan DPO. Kemudian, surat tanggal 5 Mei berisi penghapusan nama Djoko Tjandra dari daftar red notice Interpol sejak 2014. "Di surat (tanggal 5) itu diinformasikan bahwa red notice nomor A sekian tahun 2009 atas nama Djoko Soegiarto Tjandra sudah terhapus dari sistem basis data Interpol," tutur dia.

Sandi menerangkan, kedua surat tersebut merupakan inisiasi dari Divisi Hubungan Internasional Polri yang saat itu dipimpin Irjen Napoleon Bonaparte. Menanggapi surat itu, lanjut Sandi, pihaknya berdiskusi dan menyepakati untuk menghapus nama Djoko Tjandra dalam ECS yang sudah dimasukkan sejak 2015.

"Karena kami melihat bahwa rujukan untuk mencantumkan nama Djoko Tjandra itu merujuk pada red notice, yang kemudian pada surat tanggal 5 disebutkan bahwa red notice Djoko Tjandra sudah terhapuskan dalam sistem, sehingga tidak ada rujukan atau dasar untuk menempatkan nama dalam sistem kami," ungkap Sandi.

Brigjen Prasetijo Utomo didakwa menerima suap sebesar 150 ribu dolar AS atau setara Rp 2 miliar. Mantan kepala Biro Koordinator Pengawas Penyidik PNS Polri itu diminta membantu menghapus nama Djoko Tjandra dalam red notice Interpol Polri. Dalam kasus itu, Irjen Napoleon Bonaparte juga didakwa menerima suap 200 ribu dolar Singapura dan 270 ribu dolar AS untuk kepentingan yang sama.  

Kemarin, majelis hakim Pengadilan Negeri Tipikor juga menolak nota keberatan Napoleon dalam persidangan yang berbeda. Artinya, persidangan akan dilanjutkan dengan agenda pemeriksaan saksi-saksi. Penasihat hukum Napoleon, Santrawan T Pangarang, menyatakan telah menerima putusan tersebut dan meminta agar sidang segera dilanjutkan ke pemeriksaan pokok perkara.

"Mohon dilanjutkan dengan pokok perkara pemeriksaannya," kata dia. Adapun JPU meminta waktu tujuh hari untuk dapat menghadirkan sejumlah saksi.

Dalam dakwaan disebutkan, Napoleon melakukan penghapusan red notice Djoko Tjandra bersama-sama dengan Brigjen Prasetijo. Napoleon memerintahkan penerbitan surat yang ditujukan kepada Direktorat Jenderal Imigrasi untuk menghapus nama Djoko Tjandra dari ECS pada Simkim Direktorat Jenderal Imigrasi.

Keterlibatan pihak lain 

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengaku masih mengkaji dokumen perkara suap Djoko Tjandra dari Polri dan Kejaksaan Agung. Pelaksana Tugas Juru Bicara KPK Ali Fikri mengatakan, KPK berfokus pada kemungkinan keterlibatan pihak lain dalam kasus tersebut.

"Dikaji kemungkinan adanya pihak-pihak lain yang dapat dipertanggungjawabkan secara hukum," kata Ali, kemarin.

Dia memastikan, tim KPK juga terus mencermati setiap fakta-fakta yang ada dalam proses pembuktian di persidangan perkara suap Djoko Tjandra. 

Selain suap red notice, ada dua kasus lain dalam skandal Djoko Tjandra, yaitu kasus surat jalan palsu dan suap pemufakatan jahat membebaskan Djoko Tjandra dari jerat hukum. Kasus terakhir ditangani kejaksaan dan melibatkan jaksa Pinangki Sirna Malasari. 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat