IKHWANUL KIRAM MASHURI | Daan Yahya | Republika

Resonansi

Si Pemain Baru dalam Perjanjian Armenia-Azerbaijan

Bilamana peta aliansi berubah,antara Rusia si pemain besar di Kaukasus dan Turki si pendatang baru.

Oleh IKHWANUL KIRAM MASHURI

OLEH IKHWANUL KIRAM MASHURI

Yang tersiar pada 10 November lalu adalah perjanjian tripartit — Armenia-Azerbaijan-Rusia — buat mengakhiri 40 hari perang berdarah di wilayah perbukitan Nagorno-Karabakh, menewaskan sedikitnya 2.500 orang, sipil dan militer. Namun, sebenarnya ia adalah penandatanganan ‘menyerah kalah’ Armenia, sebuah pilihan terbaik yang tersedia bagi negara berpenduduk sekira 3 juta jiwa itu, mayoritas Kristen. 

Itulah sebabnya Perdana Menteri Armenia Nikol Pashinyan tidak ingin ada kamera wartawan mendokumentasikan penandatanganan peristiwa memalukan dalam sejarah negaranya ini. Sebaliknya, Presiden Azerbaijan Ilham Aliyev pun tidak menutupi kegembiraannya berhasil mengusir para musuh --yang ia sebut sebagai anjing-anjing liar.

Nagorno-Karabakh secara hukum internasional merupakan bagian dari Azerbaijan. Namun selama 27 tahun terakhir dikendalikan Armenia. Wilayah pegunungan di Kaukasus Selatan, berjarak 270 kilometer sebelah barat Baku, ibu kota Azerbaijan ini, dulunya dihuni mayoritas etnis Azerbaijan yang beragama Islam.

Pada masa Joseph Stalin berkuasa di Uni Soviet, ia memerintahkan pembersihan etnis dan menggantikannya dengan etnis lain. Praktik keagamaan pun dilarang. Sejak itu, etnis Armenia mendominasi Nagorno-Karabakh.

 
Sejak itu, terjadilah perang antara Armenia dan Azerbaijan untuk memperebutkan wilayah Nagorno-Karabakh dan sekitarnya, berakhir dengan gencatan senjata pada 1994.
 
 

Pada 10 Desember 1991, beberapa hari sebelum Uni Soviet bubar (26 Desember 1991), penduduk etnis Armenia setempat memproklamasikan kemerdekaan Republik Nagorno-Karabakh, yang langsung diakui Armenia. Bahkan yang terakhir ini mempersenjatai rakyat untuk melakukan operasi pembersihan besar-besaran terhadap etnis Azerbaijan.

Sejak itu, terjadilah perang antara Armenia dan Azerbaijan untuk memperebutkan wilayah Nagorno-Karabakh dan sekitarnya, berakhir dengan gencatan senjata pada 1994. Nagorno-Karabakh pun mulai dikendalikan militer Armenia.

Pada 27 September lalu, pertempuran kembali meletus. Ada dua faktor utama di pihak Azerbaijan. Pertama, penghinaan yang mereka rasakan setelah Armenia menguasai Nagorno-Karabakh dan seperlima wilayahnya.

Kedua, Azerbaijan yang berpenduduk sekitar 10 juta jiwa kini merasa kuat setelah menjalin kerja sama militer dengan Turki. Perang yang berlangsung 40 hari itu berakhir dengan penandatanganan perjanjian damai Armenia-Azerbaijan-Rusia. Turki pun muncul sebagai pemain baru di kawasan.

Menurut perjanjian tripartit itu, pihak Azerbaijan dan Armenia akan mempertahankan wilayah yang direbutnya dalam perang tersebut. Lalu, Armenia berkewajiban mengembalikan kedaulatan atas tiga wilayah berikut ke Azerbaijan, yaitu Agdam pada 20 November, Kilbajar pada 15 November, dan Lachin pada 1 Desember.

Selanjutnya, perjanjian itu juga mengatur penempatan pasukan pernjaga perdamaian Rusia di sepanjang garis gencatan senjata di Nagorno-Karabakh serta di sepanjang koridor Lachin yang menghubungkan Nagorno-Karabakh dengan Armenia. Berikutnya, Armenia akan memastikan pembukaan transportasi antara Azerbaijan Barat dan wilayah Nakhichevan, dengan tujuan mengamankan pergerakan orang dan barang di kedua arah.

Nakhichevan merupakan wilayah otonomi Azerbaijan seluas 5.500 kilometer persegi, dihuni sekitar 500 ribu jiwa, tapi terisolasi dan tidak terhubung langsung dengan wilayah Azerbaijan.

 
Dengan perjanjian ini, Azerbaijan tampaknya telah membalas kekalahannya pada 1994. Mereka mendapatkan kembali seperlima dari wilayah yang dikuasai Armenia. 
 
 

Perjanjian ini dirumuskan sebagaimana norma yang berlaku di dunia internasional — berbahasa diplomatik dan tidak menyinggung pihak mana pun. Namun, menurut media Aljazirah, bila dibaca dengan cermat perjanjian tiga halaman itu menunjukkan Azerbaijan berhasil mendapatkan lebih dari yang diharapkan. Sebaliknya, Armenia justru menderita kerugian yang sebenarnya bisa dihindari jika mereka bersedia berunding sebelum pecah perang.

Dengan perjanjian ini, Azerbaijan tampaknya telah membalas kekalahannya pada 1994. Mereka mendapatkan kembali seperlima dari wilayah yang dikuasai Armenia. Mereka berhasil mengendalikan hampir 60 persen wilayah Nagorno-Karabakh. Mereka berhasil mengambil kendali atas kota strategis Shusha. Mereka berhasil menghubungkan wilayahnya dengan wilayah Nakhchivan yang selama ini terisolasi. 

Sebaliknya, bagi Armenia, perjanjian ini sangatlah menyakitkan. Mereka kehilangan seluruh perolehan 1994. Namun, mereka tidak mempunyai pilihan lain. Istilahnya, mentok kanan mentok kiri, dari lawan maupun kawan.

Di medan perang, pasukan Azerbaijan sudah tiba di Shusha. Dan, siapa pun yang mengendalikan kota ini akan dengan mudah menguasi Nagorno-Karabakh dan wilayah sekitarnya, lantaran posisi geografisnya yang strategis. Kota ini terbuka ke seluruh wilayah, terutama ibu kota Stepanakert yang hanya berjarak sekitar 15 kilometer. Artinya, untuk menguasai wilayah ini bagi Azerbaijan hanyalah masalah waktu.

Karena itu, beberapa hari menjelang kejatuhan Shusha di tangan Azerbaijan, Armenia pun menyerukan permintaan bantuan kepada negara-negara sahabat, terutama Rusia. Permintaan bantuan yang didasarkan pada ‘perjanjian pertahanan bersama dan perjanjian persahabatan’. 

 
Namun untuk jangka panjang, percikan api bisa sewaktu-waktu menyala, terutama jika keseimbangan kekuatan atau peta aliansi di kawasan berubah. 
 
 

Namun, jawaban dari negara-negara sahabat sangat mengecewakan. Prancis yang mempunyai hubungan historis dengan Armenia lebih memilih bersikap netral, seperti dikatakan Menlunya, Jean-Yves Le Drian. Di Prancis kini terdapat sekitar 700 ribu warga etnis Armenia.

Lobi Armenia juga sangat kuat. Namun, Prancis tampaknya tidak ingin ikut berperang di luar lingkup geostrategisnya. Selain itu, Rusia, Turki, dan Iran tentu akan menolak intervensi Prancis.

Sedangkan, Rusia menganggap pihaknya hanya akan campur tangan berdasarkan ‘perjanjian pertanahan bersama’, yaitu apabila yang diserang Armenia, bukan Nagorno-Karabakh, yang menurut hukum internasional bagian dari Azerbaijan. 

Selain itu, Rusia tentu tahu betul keunggulan militer Azerbaijan yang didukung Turki. Mereka juga tahu Ankara telah mengirimkan para ahli militer, sejumlah pesawat drone, dan mungkin juga F-16 untuk membantu militer Azerbaijan. Namun, sikap Rusia juga untuk memberi ‘hukuman’ kepada Armenia yang lebih berorientasi ke Barat dan AS daripada ke Moskow. Juga sebagai ‘pelajaran’ buat negara-negara lain pecahan Uni Soviet.

Sikap Rusia juga bisa dibaca sebagai kerja sama yang lebih erat dengan Turki. Di kasus Azerbaijan, Moskow seolah 'memberi’, tapi di wilayah lain ia akan ‘meminta’. Wilayah-wilayah lain yang bisa dikerjasamakan antara Moskow dan Ankara membentang luas, dari Suriah, Libia hingga Mediterania Timur dan Kaukasus Selatan, dan lainnya.

Dengan begitu, Turki kini telah menjadi pemain baru di Kaukasus Selatan, sesuai kesepakatan dengan Rusia tentunya. Bukankah tidak ada makan siang yang gratis, termasuk dalam hubungan internasional?

Benar bahwa perjanjian itu tidak menyebut peran atau keikutsertaan Turki dalam menjaga perdamaian. Namun, Presiden Azerbaijan Ilham Aliyev berterus terang tentang pentingnya kehadiran Turki. Tidak menutup kemungkinan ada klausul yang tidak diumumkan, tapi akan diberlakukan secara de facto.

Mengutip sejumlah pengamat, perdamaian Azerbaijan-Armenia kemungkinan akan berlangsung relatif lama. Namun untuk jangka panjang, percikan api bisa sewaktu-waktu menyala, terutama jika keseimbangan kekuatan atau peta aliansi di kawasan berubah. Yaitu antara Rusia si pemain besar di Kaukasus dan Turki si pendatang baru. 

Sedangkan Prancis dan AS posisinya tampak lemah. Mereka mungkin akan puas berada di kursi belakang seperti Iran. Kendati demikian Washington akan terus memandang dengan penuh curiga kesepahaman Turki-Rusia.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat