Ratusan demonstran yang tergabung dalam Konfederasi Serikat Pekerja Nasional (KSPN) berunjuk rasa menolak pengesahan Undang-undang Cipta Kerja di Alun-alun Serang, Banten, Rabu (14/10). | ASEP FATHULRAHMAN/ANTARA FOTO

Opini

Demarkasi Makar dan Aspirasi

Kita perlu menarik demarkasi antara yang tergolong tindak pidana makar dan sebatas aspirasi kritis

SATRIO WAHONO, Sosiolog dan Magister Filsafat UI

Hari-hari belakangan ini, salah satu isu paling mengemuka dalam diskursus politik kita adalah kemunduran demokrasi, terutama dari segi kebebasan berekspresi dan menyampaikan aspirasi.

Secara objektif, ini terlihat dari Indeks Demokrasi Indonesia 2019 hasil rilis BPS, yaitu aspek kebebasan sipil menurun 1,26 poin ke 77,20.

Sebelumnya, Saiful Muzani Research Center (SMRC) merilis fakta, tingkat kepuasan masyarakat terhadap jalannya demokrasi kala pandemi menurun dari 74 persen menjadi 67 persen.

Selain itu, pemerintah dan aparat penegak hukum dalam beberapa kesempatan, setidaknya dalam lima tahun terakhir, kerap menggunakan kata makar untuk memproses hukum orang-orang yang berseberangan dengan pemerintah.

 
Kita perlu menarik demarkasi (garis pemisah) antara yang tergolong tindak pidana makar dan sebatas aspirasi kritis.
 
 

Memang, ada proses peradilan yang bisa digunakan oleh pihak-pihak yang menjadi tersangka untuk membela diri, seperti di forum praperadilan ataupun di pengadilan mulai dari pengadilan negeri, tinggi, hingga kasasi di Mahkamah Agung (MA).

Namun, kondisi demikian merupakan disadvantage tersendiri bagi tersangka. Sebab, proses itu menguras harta, tenaga, dan kondisi psikis orang yang menjadi tersangka, apalagi jika mereka sudah menjalani proses penahanan atau vonis hukuman.

Karena itu, sebagai masukan bagi semua pihak, kita perlu menarik demarkasi (garis pemisah) antara yang tergolong tindak pidana makar dan sebatas aspirasi kritis dari pihak-pihak yang sebenarnya memiliki kepedulian terhadap negara.

Makar dalam KUHP

Merujuk Prof Indriyanto Seno Adji dalam Humanisme dan Pembaruan Penegak Hukum (Penerbit Buku Kompas, 2009, hal 207-208), objek istilah “makar” itu diatur dalam Bab I Buku II Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tentang Kejahatan terhadap Keamanan Negara. Yakni, yang ditujukan kepada kepala negara/wakil kepala negara (Pasal 104), dilakukan dengan maksud supaya wilayah negara jatuh ke tangan musuh (Pasal 106), dan yang dilakukan dengan maksud menggulingkan pemerintahan (Pasal 107).

Kemudian, Belanda sebagai perumus asal KUHP menempatkan rumusan pada Bab I Buku II itu dengan tambahan adanya unsur act of violence (tindakan kekerasan) dan threat of violence (ancaman kekerasan).

Dari rumusan di atas, kita lihat betapa terbatasnya pasal makar bisa dikenakan pada pihak yang berseberangan dengan pemerintah.

 
Sebaliknya, suara-suara kritis itu mesti dianggap kelaziman dan keniscayaan dalam sistem politik demokrasi, yang memerlukan perimbangan kekuasaan.  
 
 

Sebab, pengenaan pasal makar, yang dalam Pasal 87 KUHP mensyaratkan suatu “niat” yang dilaksanakan dalam “permulaan pelaksanaan”, sejatinya hanya berlaku jika calon tersangka ingin menyerang presiden/wakil presiden lewat aksi kekerasan ataupun ancaman kekerasan, bekerja sama dengan pihak asing untuk meruntuhkan negara, atau secara permulaan pelaksanaan ingin menggulingkan pemerintahan yang sah lewat jalur inkonstitusional, utamanya lewat kekerasan dan ancaman kekerasan.

Dengan kata lain, pihak-pihak kritis yang kerap mengkritik pemerintah, termasuk oposisi di dalam ataupun di luar parlemen, harusnya diberikan ruang lapang untuk mengungkapkan aspirasi mereka.

Sepanjang mereka tidak terbukti mengeluarkan ancaman, ajakan, ataupun seruan melakukan tindakan kekerasan atau anarkistis berupa kekerasan itu sendiri. Sebaliknya, suara-suara kritis itu mesti dianggap kelaziman dan keniscayaan dalam sistem politik demokrasi, yang memerlukan perimbangan kekuasaan.  

Tanpa oposisi, suara kritis, atau devil’s advocate yang merumuskan argumentasi secara jernih, pemerintah malah bisa terjerumus menjadi entitas yang lepas kendali dan berbalik menindas rakyat yang seharusnya ia lindungi.

Jadinya, pemerintah mesti terbiasa menghadapi kritik dengan semangat berdialog lewat kepala dingin dan penyusunan argumentasi tertib nalar berdasarkan aturan-aturan komposisi premis mayor, premis minor, dan konklusi yang sahih.

 
Pemerintah justru harus menganggap kritik itu obat mujarab untuk membantu negeri ini melangkah bersama-sama ke arah yang lebih baik. 
 
 

Sebab, inti demokrasi adalah keadaban dan rasionalitas dalam memecahkan konflik serta merumuskan segala kebijakan publik. Kita harus ingat, demokrasi lahir dari semangat Zaman Pencerahan, yang terkenal dengan slogan masyhur Immanuel Kant, sapere aude (beranilah berpikir sendiri).

Tatkala pemerintah tidak lagi alergi dengan kritik dan justru menanggapinya dengan semangat dialog argumentatif yang rasional, mutu demokrasi negara otomatis bertambah.

Demokrasi pun akan kian matang dan warga negara tumbuh akrab dalam situasi konflik, yang memang niscaya dalam proses dialektika sosial-politik untuk membuat negara menjadi lebih baik.

Bila proses dialektika kebijakan publik-kritik-kebijakan publik yang lebih baik itu dihambat, termasuk oleh proses kebijakan hukum yang meskipun legal, lebih bersifat formalistis-prosedural, demokrasi terhambat bahkan mundur menjadi demokrasi yang tidak matang.

Akhirulkalam, demarkasi antara makar dan aspirasi perlulah ditarik hingga taraf bahwa sepanjang kritik itu argumentatif dan bernalar tanpa tendensi melakukan kekerasan, yang ingin menggulingkan pemerintah, menyerang presiden/wakil presiden, dan menyerahkan negara ke tangan musuh, pemerintah justru harus menganggap kritik itu obat mujarab untuk membantu negeri ini melangkah bersama-sama ke arah yang lebih baik. Semoga! 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat