
Sastra
Wakil Rakyat
Cerpen Rusmin Sopian
Oleh RUSMIN SOPIAN
Tampang kusut masai. Kerutan-kerutan kecil mulai menghiasi dahi. Kesan letih tergambar di wajahnya yang tampan. Terlihat gambaran adanya sebuah tekanan hidup yang menghimpitnya.
Itulah gambaran diriku saat melihat dirinya.
Dia kelihatan sangat gembira melihat kedatanganku ke rumahnya yang besar dan luas. Maklum, sahabat ku ini adalah orang besar. Pejabat publik. Mengemban amanah sebagai Wakil Rakyat.
Sambutannya sangat hangat, saat pintu rumahnya terbuka lebar .
Dan kami pun saling berpelukan. Sebagai sebuah bentuk persahabatan dan persaudaraan. Lagi pula sudah lama kami tidak bertemu. Maklum, aku jarang pulang ke Kampung. Paling, saat lebaran saja aku pulang ke Kampung.
Kini, semenjak kedua orang tua ku sudah wafat, aku hampir jarang pulang ke Kampung halaman.
Tidak heran, saat aku pulang ke Kampung untuk berziarah ke makam orang tua ku, aku selalu menyempatkan waktu untuk bersilaturahmi ke rumah sahabat sepermainan ku saat kecil itu.
"Kalau kamu pulang Kampung, jangan sampai tidak mampir ke rumah ku. Bisa retak persaudaraan kita. Dan aku akan membencimu seumur hidup," ucapnya kepada ku lewat handphone saat aku memberitahukan bahwa aku akan pulang ke Kampung untuk berziarah ke makam orang tua ku.
Lelaki itu biasa aku panggil Renggo. Nama aslinya amat panjang. Renggo Menggolo Wibawa. Ayahnya seorang juragan lada terkenal di Kampung Kami. Siapa yang tidak kenal dengan ayahnya. Taipan.
Perkebunan lada orang tuanya, ribuan hektare. Setiap panen lada, hasilnya bisa membeli belasan kendaraan roda dua bahkan mobil.
Selain memiliki perkebunan lada, ayahnya memiliki usaha rumah toko di Pasar Kecamatan. Pendek cerita, soal cuan, kekayaan Renggo dan keluarganya tidak habis dimakan tujuh turunan.
"Lalu, apa alasan utama kamu ingin menjadi Wakil Rakyat?," tanyaku pada suatu saat Renggo mengabarkan kepada ku bahwa dia ingin ikut dalam kontestasi demokrasi.
"Ini bukan soal duit, Bro. Ini soal kehormatan," jelasnya.
"Soal kehormatan?," tanyaku bingung.
"Iya, Orang boleh memiliki kekayaan yang tidak habis dimakan tujuh turunan. Tapi, kehormatan di publik biasa saja. Saat kita menjadi Wakil Rakyat atau pejabat publik, orang-orang akan menghormati kita. Kita dihormati. Walaupun kita terkadang tidak paham dengan apa yang kita perjuangkan," ujarnya sambil tertawa.
"Maksud mu, banyak pengemban amanah rakyat yang tidak paham dengan tugasnya?," tanyaku.
"Demikianlah. Yang penting mereka merasa terhormat di mata warga. Di mata publik mereka dihormati," jawabnya kembali dengan suara tawa terbahak-bahak.
Renggo adalah teman semasa kecil ku dan teman seperjuangan saat masih menuntut ilmu di perantauan. Kami tinggal di kost yang sama saat masih kuliah.
Bedanya, saat lulus kuliah dia pulang ke Kampung Kami. Sedangkan aku bekerja di Kota.
Renggo memang ingin mengabdi di Kampung Kami.
"Masuk Bro," ajaknya dengan memanggilku dengan sebutan Bro. Panggilan akrab kami.
"Makin hebat kamu sekarang. Sudah jadi Wakil Rakyat.Cita-citamu dari kecil akhirnya sudah tercapai. Kamu sudah mengemban amanah sebagai Wakil Rakyat," ujarku sambil menyandarkan badan ku di kursi sofa.
Renggo terdiam. Tak terlihat kegembiraan di wajahnya saat aku memujinya. Tak terlihat sama sekali. Tak ada jawaban dari mulutnya. Biasanya, teman kecil ku itu sungguh bangga saat aku memujinya.
Kulihat ia menghela napas. Matanya menerawang jauh. Sesekali pandangannya menyapu halaman rumahnya yang luas. Beberapa dahan pohon mangga berayun-ayun lembut diterpa angin senja. Kubiarkan ia larut dalam diamnya.
"Aku tidak sebagaimana yang dibayangkan kawan-kawan kita," ujarnya tiba-tiba. Dan aku pun terkaget-kaget. lamunanku membuyar.
Aku diam. Tak menyahut sama sekali. Dan saat mulut ku ingin menyampaikan sesuatu, tiba-tiba suaranya muncul.
"Aku orang yang gagal, Bro," lanjutnya dengan suara yang terasa berat di telinga ku.
Aku kembali tak menyahut. Aku kembali diam. Tak mengerti arah pembicaraannya. Dan sekonyong-konyong mulut ku bersuara juga.
"Maksudmu gagal sebagai seorang Wakil Rakyat ?," tanya ku sekenanya.
"Ya," jawabnya cepat.
"Aku tak menyangka sama sekali, sebagai seorang pejabat publik aku gagal menjalankan amanah rakyat yang telah menitipkan suaranya kepada ku. Aku ingin mundur,Bro. Aku sudah bertekad ingin mundur dari jabatan itu," lanjutnya.
"Mundur?," tanyaku lagi.
"Ya. Buat apa aku memegang amanah ini kalau aku tak mampu menjalankan amanah ini dengan baik. Daripada jadi beban. Daripada nantinya jadi dosa di akhirat nanti," sambungnya.
"Aku malu Bro. Mengemban amanah sebagai Wakil Rakyat, tapi aku gagal memperjuangkan kepentingan rakyat. Gagal memperjuangkan aspirasi rakyat. Rakyat sebagai pemberi amanah, hidupnya susah. Mereka sebagai pemegang kekuasaan hidupnya miskin. Kami sebagai Wakil Rakyat malah joget-joget bergembira ria saat kesusahan hidup melanda rakyat. Tiap minggu ke luar kota. Tidur di hotel mewah. Sementara rakyat sebagai pemberi amanah, tidur beralaskan tikar," ungkapnya lagi.
Aku terdiam. Kubiarkan ia melepaskan beban yang menggelayut di dadanya. Kubiarkan dia sejenak lega dan terbebas dari semua nestapa yang menghimpitnya.
Kepadaku hampir semua persoalannya pasti dikisahkannya. Demikian juga aku. Kami adalah dua sahabat karib sejak kecil. Tak ada yang kami tutup-tutupi. Maklum, kami bersahabat sejak kecil. Persaudaraan kami sudah terjalin semenjak kanak-kanak.
Kuhirup kopi yang baru saja tersaji di meja depan kami.
Tiba-tiba aku merasakan kopi yang baru saja diantar pembantunya terasa sangat pahit.
Angin sore yang semilir membelai wajahku. Senja mulai turun. Magrib akan segera tiba. Aku pamit pulang.
Toboali, 2025
***
Rusmin Sopian, penulis dan pegiat literasi yang tinggal di Toboali Bangka Selatan. Cerpennya dimuat di media massa lokal dan luar Bangka Belitung. Buku cerpen yang telah diterbitkannya diantaranya Mereka Bilang Ayahku Koruptor (2017), Penjaga Makam dan Pembulak (2025) yang diterbitkan Galuh Patria Jogjakarta. Rusmin Sopian tinggal di Toboali Bangka Selatan bersama istri dan dua putrinya yang cantik serta kakek satu orang cucu yang bernama Nayyara Aghnia Yuna.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.