Syafii Maarif | Daan Yahya | Republika

Resonansi

Kader Muhammadiyah Itu Semakin Berkibar

Kedua kader Muhammadiyah ini ternyata punya kemampuan sosialisasi diri yang sangat hebat.

Oleh AHMAD SYAFII MAARIF

OLEH AHMAD SYAFII MAARIF

Alinea terakhir Resonansi tertanggal 25 Agustus 2020 berbunyi, "Siapa tahu, retak tangan anak muda ini memang sudah ditakdirkan untuk berbuat yang terbaik di sana, minimal selama dua tahun ke depan."

Kini, sudah tiga bulan Sidiq dan Inggit berdakwah di Sumpur Kudus, bahkan sudah diundang ke Muaro, ibu kota Kabupaten Sijunjung dan Kecamatan Lintau di Kabupaten Tanah Datar.

Agak melebihi perkiraan semula, kedua kader Muhammadiyah ini ternyata punya kemampuan sosialisasi diri yang sangat hebat dalam merebut hati rakyat setempat. Masyarakat umum sudah akrab dengan mereka, tak sebatas warga Muhammadiyah.

 
Sebelum berangkat pada pertengahan Agustus 2020, saya pesankan kepada mereka, dalam berdakwah agar merangkul semua golongan dengan memakai bahasa otak dan bahasa hati.
 
 

Sebelum berangkat pada pertengahan Agustus 2020, saya pesankan kepada mereka, dalam berdakwah agar merangkul semua golongan dengan memakai bahasa otak dan bahasa hati.

Karena mereka punya dasar agama yang mencerahkan selama belajar di Yogyakarta, tak heran bila sambutan masyarakat demikian hangat, demikian terbuka. Pejabat negara pun, seperti camat, kapolsek, wali nagari berdialog dan berkenalan dengan mereka.

Di antara warga Sumpur Kudus yang sederhana itu, bahkan sering mengirimkan beras, sambal, dan lain-lain sehingga wadah beras di kediaman mereka kehabisan daya tampungnya. Padahal, rakyat kecil sekitar adalah petani yang biasa hidup pas-pasan.

Puan dan tuan bisa membayangkan, eratnya pertalian hati antara warga dan dua kader dari Jawa ini. Membaca fenomena ini, secara tak langsung, sebenarnya Sidiq dan Inggit turut memperkokoh tonggak integrasi nasional pada tingkat akar rumput di pedesaan.

Berkat pendekatan sosio-agama-kemanusiaan yang bijak, dua kader ini dalam tempo singkat menyatu dengan masyarakat Minang di Kecamatan Sumpur Kudus yang berpenduduk 26.162 jiwa itu.

Sekiranya, penyuluh pertanian dan kesehatan bisa melakukan pendekatan serupa, suasana desa akan jauh lebih hidup. Amat disayangkan, sebagian penyuluh sebatas PNS tanpa banyak inisiatif membangun kawasan pedesaan.

 
Dari laporan yang disampaikan kepada saya, dua kader ini nyaris kehabisan waktu melayani masyarakat, sekalipun berulang-ulang saya pesankan agar tidak lupa membaca.
 
 

Bantuan negara dalam bentuk dana desa, semestinya dikelola tangan-tangan yang jujur dan punya semangat menghalau kemiskinan. Kejujuran dalam menggerakkan pembangunan pedesaan diperlukan sehingga angka kemiskinan dapat diturunkan lebih cepat.

Pengalaman empiris dua kader Muhammadiyah di Sumpur Kudus ini, mungkin dapat dijadikan salah satu rujukan dalam metode pembangunan desa di bagian-bagian lain di nusantara.

Jika demikian kenyataannya, selama tiga bulan berdakwah, apa saja yang diperbuat Sidiq dan Inggit di Sumpur Kudus dan sekitarnya? Dakwah di sini mesti dipahami dalam makna luas, seluas harapan-harapan manusia untuk meraih kemajuan lahir batin.

Dari laporan yang disampaikan kepada saya, dua kader ini nyaris kehabisan waktu melayani masyarakat, sekalipun berulang-ulang saya pesankan agar tidak lupa membaca.

Mengisi pengajian, khutbah Jumat, melatih tahfiz dan tahsin (menghafal dan memperbaiki/memperindah bacaan ayat-ayat Alquran) di beberapa masjid dan surau adalah di antara tugas harian mereka.

Kepada mereka juga, saya sampaikan untuk mendorong masyarakat memanfaatkan lahan-lahan kosong di pekarangan rumah dan di pematang sawah untuk pertanian kecil-kecilan, sekalipun keduanya bukan penyuluh pertanian.

 
Batin saya bersorak riang karena menyaksikan anak-anak kampung yang umumnya miskin itu, punya semangat tinggi ikut latihan Tapak Suci.
 
 

Ini penting sebab dengan cara itu, sebagian keperluan hidup warga akan terpenuhi. Saya kenal betul, rakyat Sumpur Kudus amat lalai dalam memanfaatkan lahan kosong ini untuk menanam sayur-sayuran.

Mereka lebih senang pergi ke kota yang jauh untuk mendapatkan keperluan harian mereka itu. Kehidupan desa yang penuh paradoks, sudah berlangsung puluhan jika bukan ratusan tahun.

Selain itu, dua kader ini mengenalkan latihan Tapak Suci Putra Muhammadiyah (seni bela diri) untuk anak-anak dan remaja, yang mendapat sambutan hangat dari warga.

Dengan didikan Tapak Suci ini diharapkan, para remaja terhindar dari penyakit sosial. Dengan pakaian seragam merahnya, akan mulai tertanam rasa bangga dan percaya diri sebagai modal untuk masa depan mereka sebagai anak kampung.

Tapak Suci melatih mental, fisik, dan disiplin bagi remaja tingkat SD, SMP, dan SMA Sumpur Kudus. Puluhan yang ikut. Sepanjang sejarah Sumpur Kudus, Tapak Suci baru sekarang ini diperkenalkan oleh dua dai dari Yogya itu.

Saat gambar para remaja yang sedang berlatih itu dikirimkan kepada saya, air mata ini meleleh tak terasa. Batin saya bersorak riang karena menyaksikan anak-anak kampung yang umumnya miskin itu, punya semangat tinggi ikut latihan Tapak Suci.

Tapak Suci mendidik dan menanamkan nilai luhur kemanusiaan dalam diri para remaja. Baru tiga bulan berjalan, nama Sidiq dan Inggit berkibar di lingkungan pedesaan di kaki Bukit Barisan yang terpencil itu. Tapak Suci berhasil merebut hati para remaja. 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat