Para pembicara dalam Workshop Online Jurnalistik Milenial yang digelar Republika bekerja sama dengan Puspeka Kemendikbud, Sabtu (14/11).. | Republika/nur hasan murtiaji

Nasional

Kemendikbud Ajak Milenial Miliki Karakter Kritis

Milenial perlu membaca dulu, melihat fenomena secara kritis.

JAKARTA – Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) bersama Republika menggelar workshop Jurnalistik Milenial untuk pelajar dan mahasiswa pada Sabtu (15/11). Kegiatan ini dinilai penting sebagai salah satu cara yang bisa dilakukan untuk menguatkan karakter pelajar.

Kepala Pusat Penguatan Karakter (Puspeka) Kemendikbud Hendarman mengatakan, karakter kritis perlu dimiliki anak muda Indonesia. Melalui program penguatan karakter, tidak hanya lewat konsep, tapi juga diimplementasikan di setiap jenjang pendidikan. Pelajar penting untuk punya nalar kritis, kreatif, dan berakhlak mulia.

“Kemampuan menulis dan bernalar kritis adalah suatu hal yang penting,” kata Hendarman dalam diskusi tersebut, Sabtu (15/11).

Dalam kegiatan jurnalistik, menurut dia, juga dibutuhkan nalar kritis. Saat mendapat informasi, harus pandai memilah dan menafsirkan serta menggunakan informasi untuk kebaikan.

Hendarman mengatakan, milenial perlu membaca dulu, melihat fenomena secara kritis. Sedangkan untuk mengasah kemampuan menulis, menghadapi tahap kegagalan adalah hal biasa, tapi perlahan dapat dikuasai asalkan terus belajar.

Rusprita Putri Utami dari Puspeka Kemendikbud mengatakan, karakter kritis adalah satu kemampuan yang penting dimiliki. Untuk menunjang kesuksesan, bukan hanya dibutuhkan nilai sekolah ataupun IPK, akan tetapi karakter-karakter mendasar.

“Pesanku, jadilah anak muda yang banyak coba, banyak bisa dan banyak karya. Jangan takut kegagalan untuk mencapai target tapi jadikan kegagalan itu pelajaran lebih baik ke depannya,” kata Prita.

Dalam kesempatan yang sama, Redaktur Pelaksana Republika Subroto mengatakan, saat ini semua orang bisa menjadi ‘jurnalis’. Orang sudah lumrah dengan istilah jurnalisme warga alias citizen journalism. Meski begitu, tentu ada perbedaan mendasar antara jurnalisme warga dan wartawan profesional.

photo
Tangkapan layar acara Workshop Online Jurnalistik Milenial yang digelar Republika bekerja sama dengan Puspeka Kemendikbud, Sabtu (14/11). - (Republika/nur hasan murtiaji)

Menurut Subroto, perkembangan jurnalisme warga ke depan bisa semakin banyak, akan tetapi untuk keakuratan hingga diadopsi menjadi sebuah profesi, belum dapat dipastikan. “Kalau wartawan bekerja di media, prinsipnya sangat ketat, terikat aturan Dewan Pers serta sertifikasi wartawan untuk meningkatkan profesionalitas,” kata Subroto.

Prinsip menghasilkan karya jurnalistik sangat ketat sehingga hasilnya adalah fakta yang bisa dipertanggungjawabkan. Beda dengan jurnalisme warga yang masih ada potensi hoaks.

Subroto mencontohkan, nilai dari berita yang terdiri dari fakta, aktualitas, penting. Bisa saja ada berita beberapa tahun lalu namun dimunculkan kembali sebagai berita saat ini oleh jurnalisme warga, itu masuknya menjadi hoaks. “Kalau kegiatan jurnalistik tidak bisa lepas tanggung jawab seperti ‘saya cuma ngeshare kok’,” ujar dia.

photo
Tangkapan layar acara Workshop Online Jurnalistik Milenial yang digelar Republika bekerja sama dengan Puspeka Kemendikbud, Sabtu (14/11). - (Republika/nur hasan murtiaji)

Sebagai wartawan pasti bisa melakukan kesalahan, seperti salah menulis nama narasumber, salah kutip dan kesalahan teknis lainnya. Akan tetapi tetap pekerjaaan jurnalistik menghasilkan fakta yang bisa dipertanggungjawabkan.

Redaktur Foto Republika, Yogi Ardhi, mengatakan, dalam konteks fotografi jurnalistik, tidak lepas dari isu yang sedang tren, termasuk viral di jagat maya. Akan tetapi untuk bisa ditindaklanjuti sebagai foto jurnalistik, bergantung momentumnya. “Ada yang bisa ditindaklanjuti dan tidak. Kalau itu spontan mungkin nggak bisa dikejar,” kata Yogi.

photo
Tangkapan layar acara Workshop Online Jurnalistik Milenial yang digelar Republika bekerja sama dengan Puspeka Kemendikbud, Sabtu (14/11). - (Republika/nur hasan murtiaji)

Yogi mencontohkan kisah anak pemulung yang viral dengan aktivitas mengaji. Kejadian itu bisa saja ditindaklanjuti fotografer, akan tetapi boleh jadi lebih menarik dari segi tulisan. Artinya, kisah tersebut akan lebih kuat jika ditindaklanjuti dan dikembangkan lewat tulisan reporter. Sebab, jika anak tersebut sudah tidak jadi pemulung, maka momen untuk foto jadi kurang menarik.

Sedangkan untuk kasus tertentu, bisa sangat menarik untuk ditelusuri fotografer. Yogi mencontohkan, pemotongan besi tua di Bogor yang ternyata merupakan besi bus Transjakarta. Foto tersebut akan sangat menarik karena punya nilai berita dan keunikan, kendati belakangan akses ke tempat tersebut sudah ditutup.

Adapun dalam menghasilkan foto jurnalistik,ada beberapa faktor yang penting diperhatikan. Salah satunya, momentum yang bisa diutamakan dibandingkan aspek lainnya.

photo
Tangkapan layar acara Workshop Online Jurnalistik Milenial yang digelar Republika bekerja sama dengan Puspeka Kemendikbud, Sabtu (14/11). - (Republika/nur hasan murtiaji)

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat