Sunarsip | Daan Yahya | Republika

Analisis

Alarm Resesi Ekonomi: Krisis Berlanjut atau Pulih?

Tidak berarti perekonomian tak memiliki peluang bisa pulih setidaknya pada 2021.

OLEH SUNARSIP

Awal bulan ini, Badan Pusat Statistik (BPS) telah mengumumkan laju pertumbuhan ekonomi pada kuartal III-2020 sebesar -3,49 persen secara year on year (yoy) dan tumbuh 5,05 persen secara quarter to quarter (q-t-q). Pertumbuhan negatif ini melanjutkan kinerja pada kuartal II-2020 yang juga mengalami pertumbuhan negatif sebesar -5,32 persen (yoy).

Dengan laju pertumbuhan ini, maka secara teknikal perekonomian kita telah secara resmi masuk zona resesi karena telah mengalami pertumbuhan negatif selama dua kuartal berturut-turut. Resesi ini adalah pertama kalinya dalam 22 tahun terakhir sejak krisis ekonomi hebat pada 1998.

Resesi ekonomi yang kita alami saat ini seolah menjadi alarm: apakah krisis akibat pandemi ini akan berlanjut atau kita mampu mengubah keadaan, setidaknya pada 2021. Namun demikian, sepertinya sangat kecil kemungkinan kita dapat mempertahankan pertumbuhan positif pada 2020. Ini mengingat, berdasarkan perhitungan saya, agar selama 2020 perekonomian kita terhindar dari pertumbuhan negatif, maka pada kuartal IV-2020 perekonomian kita wajib tumbuh setidaknya 6,0 persen (yoy) atau 7,92 persen (q-t-q).

Rasanya, ini akan menjadi sebuah mission: impossible. Kenapa? Dalam kondisi normal saja, bisa tumbuh 5 persen (yoy) sudah begitu sulit dalam beberapa tahun terakhir, apalagi sekarang dalam kondisi krisis di mana aktivitas usaha masih dibatasi oleh kebijakan pembatasan sosial berskala besar (PSBB).

 
Namun demikian, ini tidak berarti perekonomian tak memiliki peluang bisa pulih setidaknya pada 2021. 
 
 

Sehubungan dengan perkembangan ekonomi kita saat ini, sejumlah lembaga internasional memproyeksikan pada 2020, perekonomian kita akan tumbuh negatif. Dana Moneter Internasional (IMF), misalnya, pada Oktober lalu merevisi outlook ekonomi Indonesia menjadi -1,5 persen lebih rendah dibanding sebelumnya (Juni) yang memprediksikan tumbuh 0,3 persen.

Bank Pembangunan Asia (ADB) juga memproyeksikan ekonomi kita pada 2020 tumbuh negatif -1,0 persen. Adapun lembaga pemeringkat kredit seperti S&P dan Fitch Rating juga memproyeksikan ekonomi kita pada 2020 tumbuh negatif masing-masing 1,1 persen dan 2,0 persen.

Namun demikian, ini tidak berarti perekonomian tak memiliki peluang bisa pulih setidaknya pada 2021. Kalau melihat tren sejumlah indikator aktivitas ekonomi secara bulanan, kini kita bisa melihat bahwa telah terdapat peningkatan aktivitas ekonomi yang cukup besar terjadi di hampir seluruh sektor ekonomi.

Hal ini antara lain dibuktikan dengan pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) kuartalan, di mana pada kuartal III-2020 tumbuh 5,05 persen (q-t-q) terhadap PDB pada kuartal II-2020. Pada kuartal IV-2020, meskipun secara year on year diperkirakan masih berpotensi kontraksi, tapi pertumbuhan negatifnya diperkirakan mengecil.

Dengan pola pertumbuhan seperti ini, maka proses pemulihan ekonomi kita berpeluang berbentuk seperti huruf “V” atau setidaknya “U”, yang berarti pemulihan dapat berlangsung lebih cepat atau krisis ini tidak semakin dalam. Namun, tentunya terdapat beberapa syarat yang perlu dipenuhi agar pemulihan ekonomi kita berjalan lebih cepat. Apa saja itu?

 
Banyak analisis berpendapat bahwa pemulihan ekonomi kita sangat bergantung pada keberhasilan vaksin.
 
 

Sejauh ini, banyak analisis mengkaitkan antara pemulihan ekonomi dengan vaksin Covid-19. Banyak analisis berpendapat bahwa pemulihan ekonomi kita sangat bergantung pada keberhasilan vaksin.

Bila proses uji klinis vaksin berhasil dan terbukti efektif mencegah Covid-19, maka aktivitas ekonomi dapat dijalankan secara normal sehingga proses pemulihan ekonomi berlangsung cepat. Saya sepakat dengan analisis ini.

Namun, kita juga perlu memikirkan langkah-langkah pemulihan ekonomi di luar solusi klinis atau kesehatan (seperti vaksin) untuk menjaga agar ekonomi mampu bertahan di tengah pandemi. Salah satunya dengan melihat sejauh mana efektivitas kebijakan ekonomi dalam menjaga daya tahan ekonomi selama pandemi.

Kalau kita lihat kinerja berdasarkan struktur perekonomian kita selama tiga kuartal 2020, faktor permintaan (demand) sepertinya menjadi hal utama yang perlu memperoleh perhatian untuk menjaga daya tahan ekonomi dan mempercepat pemulihan ekonomi. Faktor demand ini, antara lain, terkait demand untuk konsumsi (baik rumah tangga maupun pemerintah) maupun demand untuk kebutuhan investasi.

 
Pertumbuhan negatif yang dialami konsumsi RT dan pertumbuhan positif dari sisi konsumsi pemerintah setidaknya memiliki dua kemungkinan arti.
 
 

Selama sembilan bulan pertama 2020, konsumsi rumah tangga (RT) tumbuh negatif -2,29 persen. Di sisi lain, pemerintah telah banyak menggelontorkan dana pemulihan ekonomi nasional (PEN), terlihat dari kinerja konsumsi pemerintah yang tumbuh 2,03 persen selama sembilan bulan pertama 2020. Perlu diketahui bahwa salah satu tujuan utama dana PEN adalah untuk menjaga daya beli masyarakat untuk konsumsi.

Pertumbuhan negatif yang dialami konsumsi RT dan pertumbuhan positif dari sisi konsumsi pemerintah setidaknya memiliki dua kemungkinan arti. Pertama, karena keterbatasan jangkauan pengeluaran pemerintah. Pertumbuhan negatif di sisi konsumsi RT diperkirakan berasal dari kelompok rumah tangga yang tidak masuk jangkauan pengeluaran pemerintah sehingga daya beli mereka turun. Kelompok rumah tangga ini pada umumnya merupakan rumah tangga menengah bawah yang sebelum Covid-19 menjadi penggerak pertumbuhan konsumsi RT, tapi pasca Covid-19 peran mereka turun karena kehilangan pendapatan.

Kedua, perlu didalami terkait efektivitas penyaluran dana PEN, terutama dengan melihat kelompok sasaran penerima yang dikaitkan dengan dampak multiplier efeknya. Kalau kita melihat realisasi belanja pemerintah di APBN hingga Agustus 2020, yang mengalami pertumbuhan hanya belanja sosial (bansos). Sedangkan belanja lainnya, termasuk belanja modal, mengalami pertumbuhan negatif.

Tak terlalu mengherankan bila pertumbuhan konsumsi pemerintah tidak terlalu berdampak pada pertumbuhan ekonomi karena yang tumbuh hanya bansos. Sementara itu, multiplier effect dari bansos pada umumnya lebih rendah dibanding belanja pemerintah lainnya (terutama dengan belanja modal). Dengan kata lain, efektivitas alokasi konsumsi pemerintah melalui PEN akan turut mempengaruhi bagaimana pola pemulihan ekonomi kita ke depan.

 
Realisasi pembayaran dana kompensasi dan penyertaan modal negara ke sejumlah BUMN, misalnya, perlu dipercepat realisasinya. 
 
 

Oleh karenanya, menjadi penting untuk mengevaluasi kembali penyaluran PEN, baik menyangkut prioritas sasaran maupun realisasi. Tujuannya, agar dana PEN bisa memberikan multiplier effect lebih kuat bagi pemulihan ekonomi.

Dalam rangka ini, saya mengusulkan agar realisasi belanja modal dipercepat sekaligus volumenya perlu diperbesar. Realisasi pembayaran dana kompensasi dan penyertaan modal negara ke sejumlah BUMN, misalnya, perlu dipercepat realisasinya. Tujuannya untuk menjadi stimulator bagi kegiatan investasi terutama dimulai melalui proyek-proyek investasi yang didorong pemerintah.

Pada tahun depan, pemerintah (melalui APBN 2021) dan sejumlah lembaga internasional memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia akan berkisar di level 5 hingga 6 persen. Pertumbuhan yang relatif tinggi ini tentunya karena faktor baseline-nya yang memang rendah.

Anggaplah tahun 2020 ini kita tumbuh negatif -1,0 persen (asumsi optimistik). Dengan asumsi pertumbuhan ekonomi 5 persen (asumsi pemerintah) pada 2021, maka capaian ini setara dengan pertumbuhan 3,95 persen dibanding PDB pada 2019. Saya kira angka ini tidak jelek, bila melihat magnitude krisis akibat pandemi selama 2020.

Namun, peluang tidak tercapainya target pertumbuhan tetap terbuka bila kita tidak mengimbanginya dengan peningkatan efektivitas kebijakan, terutama fiskal, terkait dengan alokasi dan realisasi belanja pemerintah.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat