Sejumlah siswa SMP belajar secara daring saat peluncuran WiFi Publik dan Pedoman Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) Kota Bogor di Kampung Bubulak RT 04/16, Kelurahan Tegal Gundil, Kota Bogor, Jawa Barat, Senin (21/9). | ARIF FIRMANSYAH/ANTARA FOTO

Nasional

Waspadai Gangguan Penglihatan di Era Pandemi 

Generasi muda berpotensi mengalami gangguan penglihatan karena sejak balita sudah terbiasa terpapar oleh layar.

OLEH PARNI HADI, mantan anggota Komnas PGPK

Komputer dan gadget, termasuk handphone, sekarang telah menjadi sarana hidup pokok manusia mulai balita sampai lansia. Tiada kehidupan yang tidak melalui sarana komunikasi lewat komputer dan gadget, lebih-lebih di era pandemi korona ini, ketika manusia mau tak mau harus semakin tergantung kepada gadget untuk bekerja dan belajar. 

Padahal, seperti dimaklumi radiasi komputer atau gadget bisa mengakibatkan gangguan penglihatan. Apalagi, kini banyak orang menghabiskan waktunya untuk bekerja dan belajar di depan komputer atau gadget. 

“Darurat mata termasuk kondisi  tatkala  orang  sudah  tidak  mampu lagi  bekerjadan  atau  belajar  lewat komputer/gadget. Tidak hanya akibat kecelakaan yang bisa dikategorikan emergency.” Begitu kata Prof Dr Tjahjono D Gondhowiardjo, SpM(K), PhD, guru besar ahli penyakit mata Universitas Indonesia.

Dalam sebuah perbincangan di ruang praktiknya di  gedung Jakarta Eye Center (JEC), awal November ini, Prof Tjahjono mengungkapkan, ada rekannya seorang guru besar yang menyampaikan tidak lagi mampu  bekerja dengan komputer dan minta perawatan untuk matanya. Juga ada orang tua yang menyampaikan kondisi anaknya yang masih usia sekolah terganggu proses belajarnya melalui Zoom karena gangguan penglihatan.

 
Bisa dibayangkan, kemungkinan generasi muda Indonesia akan mengalami gangguan penglihatan karena sejak balita sudah terbiasa terpapar oleh layar. 
 
 

JEC yang terletak di Jakarta Pusat itu dipenuhi pasien yang antri seperti pasar. “Ini bisa dikataan keadaan darurat, karena mata menjadi alat vital untuk hidup, penghidupan dan proses belajar mengajar,” katanya. Artinya, orang yang terganggu penglihatanya tidak bisa dilarang untuk datang ke rumah sakit mata. Sementara itu, beberapa waktu lalu ada himbauan hanya orang-orang yang mengalami  sakit  gawat darurat yang boleh  ke  rumah  sakit.  Ini untuk mencegah penularan Covid-19.

Ahli  penyakit mata itu menyampaikan resep untuk menghindari gangguan penglihatan, yakni 20:20:20. Maksudnya, setelah di depan komputer selama 20  menit, harus berhenti selama 20 detik, dan  kemudian melihat sesuatu yang berjarak 20 meter. 

Bisa dibayangkan, kemungkinan generasi muda  Indonesia akan mengalami gangguan penglihatan karena sejak balita sudah terbiasa terpapar oleh layar. Secara seloroh, orang bisa mengatakan Covid-19 telah membuat hari depan dokter mata dan industri optik punya kehidupan cerah. Indonesia yang terletak di garis khatulistiwa memiliki jumlah penderita katarak dalam jumlah besar. Juga angka kebutaan yang tinggi. Oleh karena itu, berbagai lembaga sosial aktif melakukan kegiatan operasi katarak gratis.

Dompet Dhuafa pun tergerak melakukan gerakan kemanusiaan ini yang dikemas dalam program Aksi Peduli Dampak Corona (APDC). Prof Tjahjono adalah mantan anggota Komite Nasional Penanggulangan Gangguan Penglihatan dan Kebutaan (Komnas PGPK ) dan sejak puluhan tahun lalu giat dalam aksi peduli kesehatan mata. Ia menyatakan siap terjun lagi dalam aksi yang sama. 

Ia juga mantan Ketua Persatuan Dokter Mata Indonesia (Perdami). Mata (penglihatan) adalah jalur utama (83 persen) masuknya  informasi  sehari-hari. Sementara telinga 11 persen dan seterusnya.

Namun, untuk belajar (mengingat), mengutip Edgar Dale dalam Cone of Learning; peran membaca 10 persen, mendengar 20 persen, melihat 30 persen, mendengar dan melihat 50 persen.  

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat