CEO BioNTech Ugur Sahin saat menerima penghargaan Mustafa Prize di Teheran pada 2019 lalu. | mustafaprize.org

Kisah Mancanegara

Pasangan Muslim di Balik Vaksin Unggul

Metode vaksinasi kanker Sahin dan Tureci bisa jadi landasan membangun vaksin Covid-19.

OLEH FITRIYAN ZAMZAMI, LINTAR SATRIA

Pada 11 November 2019 lalu, di Teheran, Iran, digelar helatan yang tak biasa. Perwakilan dari sedikitnya 30 negara-negara Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) hadir kala itu. Kali ini bukan politikus, melainkan para ilmuwan. Ratusan jumlahnya. Datang dari ratusan lembaga penelitian dan sekitar 200 universitas dari negara-negara mayoritas Muslim.

Acaranya kala itu penganugerahan Mustafa Prize, penghargaan yang disebut oleh Science Journal sebagai penghargaan Nobelnya umat Islam. Diberi nama merujuk salah satu panggilan Rasulullah SAW, penganugerahan itu bernilai total 500 ribu dolar AS bagi ilmuwan Muslim terpilih di manapun mereka berkarya. Dari Indonesia, pesertanya kala itu Profesor Gunawan Indrayanto, seorang ahli farmasi di bidang kimia organik, bioteknologi, dan biomedis di Universitas Airlangga Surabaya. 

Associated Press melansir, pada 2019 pemenangnya lima orang sekaligus. Salah satunya Ugur Sahin, seorang peneliti yang lahir di Turki, tapi menjalani karier akademisinya di Jerman. 

Kala itu, Ugur Sahin (55 tahun) terpilih sehubungan penelitiannya terkait imunoterapi penyakit kanker secara individual. Ia melakukan terobosan dan berhasil mencapai tahapan uji klinis vaksin berbasis mRNA yang dibangun seturut profil mutasi sel kanker pada masing-masing pasien. 

“Gagasannya, ada sel-sel dalam sistem imun tubuh kita yang pada dasarnya mampu mendeteksi sel kanker dan membunuhnya,” ujarnya dalam video pengantar menjelang penganugerahan Mustafa Prize, dalam laman Facebook lembaga tersebut. Ia mengerjakan penelitian berbiaya mahal itu bersama istrinya, Özlem Türeci.

photo
CEO BioNTech Ugur Sahin dan istrinya Özlem Türeci yang menjabat sebagai kepala bagian medis. - (Twitter)

Kala itu, Ugur menyatakan sangat bangga mendapat penghargaan tersebut. “Ini menarik dan saya merasa bangga bahwa ada komite yang menganugerahkan penghargaan semacam ini untuk warga negara Islam,” kata dia.

“Ada semiliar lebih Muslim di planet ini dan ternyata komite ini bisa melacak kerja-kerja kami di Jerman dan menghargai apa yang kami lakukan,” kata dia melanjutkan.

Namun, penghargaan yang lebih besar barangkali menanti Ugur Sahin. Terlebih, karena belakangan metode vaksinasi kanker yang ia gagas bersama istrinya ternyata bisa jadi landasan membangun vaksin untuk Covid-19, penyakit yang sedemikian mengobrak-abrik tata dunia belakangan ini.

Pada Senin (9/11), BioNTech, perusahaan yang didirikan Ugur dan Ozlem Tureci pada 2008 dan didanai Pfizer, mengumumkan bahwa vaksin yang mereka kembangkan terbukti efektif 90 persen mencegah Covid-19. Hal ini diumumkan seusai vaksin tersebut selesai melalui pengujian tahap tiga.

Pengumuman tersebut adalah yang pertama kalinya terkait hasil uji coba vaksin virus korona skala besar. Jika klaim itu terbukti, akan menjadi terobosan besar dalam upaya mengatasi pandemi virus korona. 

"Kami harus optimistis, dampak imunitas dapat bertahan setidaknya selama satu tahun," kata Ugur Sahin yang juga menjabat sebagai CEO BioNTech dilansir Reuters.

Kisah perusahaannya mengembangkan vaksin Covid-19 bermula pada Januari 2020. Saat itu Sahin membaca jurnal sains tentang pandemi di Wuhan dan menyadari betapa kecilnya langkah mengalihkan obat kanker berbasis mRNA menjadi vaksin virus berbasis mRNA.

BioNTech yang mempekerjakan 1.300 orang langsung mengalihkan sumber daya mereka. Laman the Guardian melaporkan, kala itu Sahin memperkirakan bahwa sekolah dan kampus di Kota Mainz, tempat mereka beroperasi, akan ditutup pada April.

Sebab itu, Sahin mengebut pengerjaan vaksin. Proyek itu lalu dinamai “Lightspeed”alias “Kecepatan Cahaya”. Pada Maret, Pemerintah Jerman kemudian menerapkan karantina wilayah seturut parahnya penularan. Saat itu, BioNTech sudah memiliki 20 kandidat vaksin yang kemudian diuji dengan melibatkan 500 peneliti.

Jika nantinya vaksin yang mereka kembangkan benar-benar berhasil, betapa ia menambah keajaiban pada kisah Sahin dan Ozlem yang sudah luar biasa. 

Putra-putri Gastarbeiter 

Ugur Sahin dan Ozlem Tureci adalah anak “pekerja tamu” alias “gastarbeiter” yang didatangkan dari Turki untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja di Jerman pada 1960-an. Sahin lahir di bagian utara Turki kemudian pindah ke Kota Cologne saat berusia empat tahun. Sedangkan, Tureci lahir di Saxony, Jerman.

Keduanya bertemu saat menempuh pendidikan di Saarland University di Hamburg dan menikah pada 2002. Saking seriusnya melakukan penelitian, keduanya memulai hari pernikahan masih dalam mantel laboratorium dan melanjutkan penelitian setelah pernikahan selesai.

Saat ini dunia menanti keampuhan vaksin yang digagas dua putra-putri imigran Turki tersebut. Terutama di tengah sorotan sebelah mata terhadap kehadiran mereka di negara-negara maju Eropa. 

The Guardian melaporkan pernyataan CEO yang datang ke kantor dengan sepeda itu menyiratkan etos kerja, keketatan terhadap norma ilmiah, dan hasrat kewirausahaan mendorong BioNTech bergerak lebih cepat dibandingkan produsen vaksin lainnya. Keberhasilan ini membawa Şahin dan Türeci sebagai keturunan Turki pertama yang masuk 100 orang terkaya di Jerman.

 

Keduanya tumbuh dilingkungan lintas budaya yang dinamis, Türeci menggambarkan dirinya sebagai 'Turki Prusia'. Dalam sebuah wawancara ia mengungkapkan kekagumannya pada biarawati yang sangat sabar dalam merawat pasien di rumah sakit tempat ayahnya bekerja.

Sementara Şahin yang gemar dengan sepakbola terinspirasi belajar sains dari buku sains populer yang ia temukan di perpustakaan gereja tempat ia tinggal saat kecil. Setelah meraih gelar dokter dengan tesis pengobatan sel kanker melalui imunoterapi, Şahin melanjutkan PhD di Saarland University, tempat Türeci belajar kedokteran.

Sejak tahun 2001, Şahin dan Türeci sudah tinggal di Mainz, kota pinggir sungai Rhine yang terkenal dengan budaya karnaval dan rumah penemu mesin cetak Johannes Gutenberg.

Pasangan ilmuwan itu memiliki semangat yang sama. Di rumah sakit universitas Mainz, mereka berencana membentuk laboratorium untuk meneliti sistem kekebalan tubuh yang dapat dilatih untuk menyerang sel-sel kanker. Tapi dana hibah sulit di dapat.   "Kami akhirnya membangun perusahaan kami sendiri," kata Şahin pada situs berita Heise.

Perusahaan pertama mereka didirikan pada tahun 2001, diberi nama Ganymed. "Bukan dari pahlawan tampan dari mitologi Yunani tapi ungkapan bahasa Turki yang secara kasar artinya 'meraih melalui kerja keras'," kata Türeci pada surat kabar Jerman, Süddeutsche Zeitung.

Perusahaan yang menjadi pelopor terapi antibodi menyerang sel kanker itu dijual ke perusahaan farmasi Jepang, Astellas sebesar 1,4 miliar poundsterling pada tahun 2016 lalu. Lalu pasangan itu mendirikan perusahaan kedua pada tahun 2008 bersama dokter kanker atau onkologis Christoph Huber dari Austria yang hingga kini masih menjadi dewan pengawas BioNTech.

Kini perusahaan itu memiliki sekitar 1.300 pegawai. Pasangan Şahin dan Türeci mengembangkan pengobatan kanker melalui imunoterapi, menggunakan materi genetik yang disebut mRNA untuk melatih tubuh manusia memproduksi antigen sendiri. 

"Segera setelah vaksin itu diizinkan, saya akan menjadi orang pertama yang akan melakukannya, tapi pertama-tama kami harus pastikan vaksin itu sampai ke tangan orang yang membutuhkan; terutama orang lanjut usia, orang dengan penyakit penyerta dan staf medis," kata Şahin pada Business Insider Jerman.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat