Imam Besar Al-Azhar, Ahmed Muhammad El-Tayyeb. | Republika/Putra M. Akbar

Internasional

Imam Al-Azhar Kecam Penghinaan Nabi

Duta Besar Prancis untuk Indonesia Olivier Chambard mengatakan, negaranya tidak menentang Islam.

KAIRO -- Imam Besar Al-Azhar, Ahmed Muhammad El-Tayyeb, menyatakan penolakan kategoris atas tindakan menghina Nabi Muhammad SAW dan bersumpah untuk menuntut pelaku di pengadilan internasional. Pernyataannya itu disampaikan dalam pertemuan Ahad (8/11) dengan Menteri Luar Negeri Prancis, Jean-Yves Le

Drian mengunjungi Mesir untuk membantu mengurangi ketegangan akibat komentar Presiden Prancis, Emmanuel Macron tentang Islam dan pembeleaannya terhadap karikatur menghina Nabi Muhammad SAW.

"Jika Anda mempertimbangkan untuk menghina Nabi kami, damai atasnya, dengan kebebasan berbicara, kami dengan tegas menolaknya," kata Ahmed El-Tayyeb dilansir laman Ahram Online pada Senin (9/11). "Saya orang pertama yang memprotes kebebasan berbicara ketika kebebasan ini melanggar agama apa pun, tidak hanya Islam," kata Imam Besar.

Ia menekankan, Eropa berutang budi kepada Nabi Muhammad dan agama Islam karena cahaya yang telah diperkenalkan agama ini kepada seluruh umat manusia.

El-Tayyeb menegaskan, Muslim di seluruh dunia menolak terorisme yang bertindak di bawah kedok agama. Dia menekankan bahwa Islam dan Nabi Muhammad tidak ada hubungannya dengan terorisme.

"Al-Azhar mewakili suara hampir dua miliar Muslim, dan saya katakan teroris tidak mewakili kami dan kami tidak bertanggung jawab atas tindakan mereka. Saya mengumumkan itu di semua forum internasional, di Paris, London, Jenewa, Amerika Serikat, Roma, Negara-negara Asia dan di mana-mana," kata dia. 

Dalam sambutan pers, Le Drian menegaskan rasa hormat Prancis yang dalam terhadap Islam, termasuk perannya dalam budaya, sejarah, dan ilmu pengetahuan Prancis, serta peran Imam Besar El-Tayyeb Al-Azhar dalam menyerukan toleransi dan moderasi.

Le Drian mengungkapkan, Muslim di Prancis merupakan bagian integral dari masyarakat Prancis dan dapat menjalankan ritual mereka di bawah perlindungan negara. Menurut Le Drian, satu-satunya pertempuran yang harus dilakukan bersama dengan mitra di Mesir adalah melawan terorisme dan ekstremisme dan mereka yang mendistorsi agama untuk tujuan politik.

Dia mengatakan, negaranya membedakan antara Islam dan ekstremis itu, menegaskan bahwa Muslim adalah korban utama terorisme. "Dengan lembaga besar seperti Al-Azhar, kita harus melawan kombinasi kebencian dan delusi agama ekstremis," kata dia.

Chambard: Prancis tidak Menentang Islam

Duta Besar Prancis untuk Indonesia Olivier Chambard mengatakan, negaranya tidak menentang Islam. Sebagai penganut sekularisme, dia mengatakan, Prancis justru melindungi semua agama. Pernyataannya terkait dengan kontroversi penerbitan karikatur Nabi Muhammad SAW oleh tabloid Charlie Hebdo.

“Kesalahpahaman datang dari fakta bahwa beberapa Muslim berpikir Prancis melawan Islam karena Prancis mendukung karikatur (Nabi Muhammad). Ini bukanlah yang sebenarnya terjadi,” kata Chambard saat menggelar temu media di Kedubes Prancis, Jakarta, Senin (9/11).

Dia mengatakan, di Prancis kritisisme atau membuat lelucon tentang agama tidak dapat dikategorikan sebagai tindak pidana. “Jadi, ini bukan soal pemerintah mendukung karikatur. Sederhananya, kritisisme atau membuat lelucon agama bukan kejahatan dan ini tidak bisa dituntut, baik itu mengkritik Paus, Nabi Muhammad, atau rabi Yahudi,” ujarnya.

“Kartun itu memang melukai, tetapi kita juga tidak boleh membunuh,” katanya mengingatkan.

Chambard mengatakan telah membaca di jejaring sosial dan surat kabar bahwa sekularisme Prancis menentang Islam. Dia menegaskan, ketika sekularisme Prancis bermula tidak ada Islam di negara tersebut.

Ia menjelaskan, sekularisme telah terbentuk sejak Revolusi Prancis pada akhir abad ke-18. Awalnya, Prancis adalah negara penganut Katolisisme. Namun, hal tersebut mempersulit agama lainnya.

“Jadi, jika Anda memikirkan satu hal tentang sekularisme Prancis, setiap orang bebas untuk memeluk agama apa saja, apakah itu Katolik, Protestan, Islam, Hindu, Yahudi,” kata Chambard.

Sebagai negara sekuler, Prancis tidak melarang praktik keagamaan tertentu. Misalnya, wanita Muslim diizinkan menggunakan hijab atau kerudung. Namun, dalam hal pelayanan publik, simbol-simbol agama tidak diperkenankan.

“Sebagai aparatur sipil, Anda tidak boleh jika Anda wanita (Muslim) menggunakan kerudung atau Anda Yahudi menggunakan kipah. Itu karena negara adalah netral, tidak mendukung satu negara daripada yang lain,” ujar Chambard.

Bersama Muslim

Chambard mengatakan, negaranya bertekad melawan dan memerangi terorisme bersama negara Muslim. Menurut dia, 80 persen korban dari aksi terorisme adalah Muslim di seluruh dunia.

“Dengan memerangi terorisme, kita berperang bersama negara Muslim yang menjadi korban terorisme, khususnya Indonesia,” ujarnya.

Pada kesempatan itu Chambard turut mengklarifikasi pernyataan Presiden Prancis Emanuel Macron yang menyebut Islam adalah agama dalam krisis. Dia mengaku cukup menyayangkan mengapa pernyataan itu dipandang sebagian dari bagian utama dalam pidato.

Kendati demikian, Chambard tidak sepenuhnya menganggap pernyataan Macron keliru. Menurut dia, setiap agama pasti memiliki krisis, termasuk Islam. “Islam tidak menyokong terorisme, tentu itu benar. Kendati demikian, Anda memiliki orang-orang mengatakan ‘saya membunuh orang atas nama Islam’. Ini menimbulkan masalah untuk agama,” katanya.  

Chambard mengungkapkan, Prancis telah berusaha mengklarifikasi dan menjelaskan pernyataan Macron kepada dunia Islam. Dia berharap negara-negara Muslim tidak mendengarkan berita palsu terkait pernyataan Macron.

Prancis, katanya, tidak memiliki masalah dengan Islam. Chambard menyebut, terdapat 6 juta Muslim di Prancis yang hidup damai. “Jadi, Islam dikenal baik di Prancis dan menghormatinya,” ucapnya.

Chambard juga menyayangkan seruan boikot atas produk Prancis. Menurut dia, ada sekitar 200 perusahaan Prancis di Indonesia dengan ukuran yang berbeda. “Namun, perusahaan tersebut memproduksi barangnya di sini, menjual produknya di sini atau bahkan di kawasan. Ini hal yang bagus,” ujarnya sambil menyebutkan nasib pegawai di perusahaan tersebut. 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat