Priyantono Oemar | Daan Yahya | Republika

X-Kisah

Mereka Pernah Keberatan Bahasa Persatuan Bahasa Indonesia

Salah satu peran bahasa daerah di Indonesia adalah memperkuat pengembangan bahasa Indonesia.

OLEH PRIYANTONO OEMAR

Pada 1 November 2019, 20 guru besar di Sumatra Utara membuat kebulatan tekad menolak pelemahan bahasa Indonesia. Kebulatan tekad itu muncul karena ada gerakan membangkitkan bahasa Melayu sebagai bahasa internasional. Mereka menegaskan komitmennya untuk memperkuat fungsi bahasa Indonesia sebagai basis pengembangan dan pemanfaatan sains dan teknologi.

Di Indonesia, bahasa Melayu menjadi salah satu bahasa daerah di antara banyak bahasa daerah yang ada. Salah satu peran bahasa daerah di Indonesia adalah memperkuat pengembangan bahasa Indonesia.

Saat M Tabrani mengusulkan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan, Muh Yamin menuduh Tabrani sedang ngelamun karena saat itu tak ada yang namanya bahasa Indonesia.

Di dalam pidatonya di Kongres Pemuda Indonesia Pertama, Yamin menyebut bahasa-bahasa Indonesia untuk menunjuk keberadaan beragam bahasa yang ada di wilayah Indonesia. Tak ada bahasa Indonesia di dalamnya.

Yamin membahas dua bahasa yang besar penggunanya dan berpotensi menjadi bahasa persatuan, yaitu bahasa Jawa dan bahasa Melayu. Meski saat itu jumlah pengguna bahasa Jawa lebih besar daripada bahasa Melayu, Yamin cenderung memprediksi bahasa Melayu yang akan berkembang karena mudah dipelajari. Sehingga, ia mencantumkan sebagai bahasa persatuan dalam naskah resolusi pemuda yang akan dibacakan di Kongres Pemuda.

 
Yamin membahas dua bahasa yang besar penggunanya dan berpotensi menjadi bahasa persatuan, yaitu bahasa Jawa dan bahasa Melayu.
 
 

Pada 1916 bangsawan Jawa Soewardi Soerjaningrat juga sudah menilai bahasa Melayu layak menjadi bahasa persatuan. Kemudian, bangsawan Banten Achmad Djajadiningrat mengusulkan penggunaan bahasa Melayu di Volksraad pada 1918. Jauh sebelumnya, Budi Utomo yang isinya bangsawan Jawa juga memilih menggunakan bahasa Melayu di pertemuan-pertemuan mereka.

Sanusi Pane yang mendukung usulan Tabrani di Kongres Pemuda itu pada Maret 1940 (Pemandangan edisi 3, 4, dan 6 April 1940) meluruskan pandangan keliru yang menganggap bahasa Indonesia dilahirkan dari bahasa Melayu. Pun tidak dilahirkan dari bahasa Melayu Riau. Sanusi menyampaikan hal itu ketika berceramah di Taman Siswa.

Menurut dia, bahasa Indonesia memang didasari oleh bahasa Melayu pasar. Melayu pasar ini digunakan di berbagai daerah dan pers yang dalam penggunaannya bercampur antara bahasa Melayu, bahasa Belanda, bahasa Arab, dan bahasa daerah lainnya.

Tabrani juga menyebut, bahasa Indonesia bukanlah nama baru dari bahasa Melayu. Namun, karena saat itu orang belum mengenal bahasa Indonesia, ketika ia ditanya bahasa Indonesia itu bahasa apa, ia jawab; "bahasa Melayu gampang." Hal itu ia ungkapkan di Hindia Baroe pada awal 1926 dan di sidang Dewan Kota Batavia saat ditanya ketua Dewan Kota, saat ia dan Thamrin meminta izin berbicara dalam bahasa Indonesia.

Setelah Kongres Bahasa Indonesia Pertama diadakan di Solo pada Juni 1938, Agus Salim menyampaikan pandangannya di majalah Soeara Oemoem, Agustus 1938. Ia menyebut, penggerak munculnya bahasa Indonesia adalah kalangan muda yang terhalang jalan politiknya, sehingga memilih jalan budaya dengan memunculkan nama bahasa Indonesia, yang menurut dia sebenarnya bahasa Melayu. Padahal, kata Agus Salim, bahasa Melayu sudah berumur panjang dan diterima masyarakat Indonesia lewat pers, buku, laporan-laporan lembaga.

 
Agus Salim menyebut, penggerak munculnya bahasa Indonesia adalah kalangan muda yang terhalang jalan politiknya.
 
 

Secara etimologi, kata Sutan Takdir Alisjahbana, bahasa Indonesia saat itu adalah bahasa Melayu. Takdir aktif mengembangkan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan dan bahasa kebudayaan. Karena itulah, mulai 1933, ia menerbitkan Pudjangga Baru untuk pengembangan sastra bahasa Indonesia. Sanusi Pane juga menerbitkan edisi bahasa Indonesia di majalah berbahasa Belanda Timboel, meski tak berumur panjang.

Atas pandangan Agus Salim di Soeara Oemoem itu, Takdir yang terlibat di kongres bahasa itu merasa tersinggung. Ia lalu menanggapi pandangan Agus Salim di majalah Pudjangga Baru, Agustus 1938. Takdir yang baru berusia 30 tahun bukanlah orang politik, melainkan pujangga yang telah berdarma di majalah Pudjangga Baru.

Dua tahun sebelum kongres bahasa Indonesia diadakan, setelah pelaksanaan Kongres Bahasa Jawa, Takdir menulis di Pudjangga Baru edisi Juli 1936 bahwa kongres bahasa kebangsaan mendesak perlu diadakan. Tujuannya, "Untuk menjatakan keinginan dan tjita-tjita kita, untuk menetapkan pekerdjaan dan pedoman pekerdjaan dalam reconstructiearbeid bangsa kita jang luas."

Di Kongres Pemuda Indonesia Pertama, Djamaluddin Adinegoro mendukung usulan bahasa Melayu sebagai bahasa persatuan. Di Kongres Bahasa Indonesia Pertama, ia berbicara tentang bahasa Indonesia di dunia pers. Artinya, pandangannya telah berubah dan ikut mengembangkan bahasa Indonesia.

Parada Harahap --raja pers yang bangkrut dan kemudian mengelola Tjaja Timoer sendirian-- juga hadir di Kongres Bahasa Indonesia Pertama, tetapi ia masih keberatan menyebut bahasa persatuan adalah bahasa Indonesia. Ia tetap menyebutnya sebagai bahasa Melayu. Alasannya, bahasa Indonesia sedang dibuat, jadi belum ada bentuknya.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat