Lukisan peta bergambar kawasan Asia Tengah yang menjadi daerah persebaran suku-suku bangsa Turki jauh sebelum adanya Dinasti Utsmaniyah. | DOK Snappy Goat

Tema Utama

Sang Bapak Wangsa Utsmaniyah

Eksistensi Utsmaniyah pada abad ke-14 merupakan muara dari alur sejarah bangsa Turki.

OLEH HASANUL RIZQA

Sejak akhir abad ke-13, dominasi Romawi Timur kian melemah di Anatolia. Osman I berhasil menyatukan suku-suku bangsa Turki-Muslim setempat. Kesuksesannya menjadi awal sejarah panjang Dinasti Utsmaniyah.

Turki Sebelum Utsmaniyah

Pegunungan Altai terbentang sepanjang 2.000 kilometer (km) di Asia Tengah, tepatnya pada titik-temu perbatasan empat negara modern: Mongolia, Republik Rakyat Cina (RRC), Kazakhstan, dan Rusia. Lembah pegunungan tersebut diyakini sebagai tempat bangsa Turki berasal.

Sejak lebih dari 2.000 tahun silam, bangsa itu umumnya hidup nomaden sebagai kelompok-kelompok pengembara. Persebarannya cukup merata di kawasan yang sangat luas antara Dataran Tinggi Mongolia di timur hingga Laut Hitam di Barat, serta Siberia di utara dan Pegunungan Hindu Kush di selatan.

Pada pertengahan abad keenam, suku-suku bangsa Turki bersatu dan membentuk federasi pertama yang disebut Kekhanan Gokturk (552-581 M). Berbagai manuskrip Cina pada masa itu menyebutnya sebagai Tujue (harfiah: helm perang). Sebab, bentangan pegunungan Altai tempat mereka tinggal dipandang menyerupai sebuah penutup kepala pasukan pertempuran.

Meskipun sempat dilanda perpecahan politik dan bahkan perang saudara, Kekhanan Gokturk kembali stabil menjelang akhir abad ketujuh. Sejak tahun 682 M, pusat pemerintahan bangsa Turki itu pindah ke Otuken, dekat Sungai Orkhon—sekitar 350 km arah barat Ulan Bator. Wilayahnya membentang di seluruh Mongolia hingga Transoxiana.

photo
Sejarah bangsa Turk sebelum abad ke-14 dalam lukisan seorang seniman. - (DOK Wikipedia)

Sementara itu, dari arah barat daya negeri tersebut Kekhalifahan Islam berkembang sangat pesat. Sejak pertengahan abad ketujuh, Khalifah Umar bin Khattab memimpin upaya penaklukan atas Imperium Sasaniyah di Persia (Iran). Misi tersebut akhirnya sukses pada masa pemerintahan Utsman bin Affan, tepatnya tahun 650 M. Tamatlah riwayat kerajaan yang telah berusia lebih dari empat abad itu.

Musnahnya Sasaniyah membuka jalan bagi perkembangan dakwah Islam di wilayah seberang Sungai Jaihun atau Amu Darya di Asia Tengah. Syiar agama ini juga diterima dengan tangan terbuka oleh suku-suku bangsa Turki yang menghuni kawasan tersebut. Sejak era Mu’awiyah bin Abu Sufyan—pendiri Dinasti Umayyah—Muslimin berhasil menguasai Asia Tengah lebih jauh hingga ke Samarkand.

Jumlah orang Turki yang masuk dalam lingkaran elite pemerintahan Islam semakin banyak pada zaman Dinasti Abbasiyah. Mereka mengisi berbagai jabatan dan peran, termasuk ilmuwan, birokrat, tentara, hingga komandan militer.

Khalifah Abbasiyah kedelapan, Al-Mu’tashim Billah, mengawali tradisi perekrutan pengawal pribadi dari kalangan orang-orang Turki. Mereka diberikan berbagai kedudukan penting, bahkan tak jarang turut mempengaruhi kebijakan negara.

Dengan kebijakannya itu, putra Sultan Harun al-Rasyid tersebut berupaya menyingkirkan pengaruh orang-orang Persia di jajaran pemerintahan. Hal itu lantas mengundang polemik, sampai-sampai sang khalifah memindahkan ibu kota Abbasiyah ke sebuah kota baru, Samarra di Irak Tengah.

Kerajaan Seljuk

Turki Oghuz menghuni kawasan timur Laut Kaspia. Suku bangsa itu memiliki banyak klan, antara lain Qiniq. Pada 990, lahirlah seorang tokoh dari kelompok etnis tersebut, yakni Tughril Bey.

Tahun 1055 menjadi masa puncak kariernya. Sebagai pemimpin militer, ia berhasil merebut Baghdad dari tangan orang-orang Syiah, Bani Buyah. Kedaulatan Abbasiyah sebagai dinasti Sunni pun terpulihkan.

Bagaimanapun, sultan Abbasiyah kala itu cenderung sebagai penguasa boneka. Pemerintahan sejatinya berada di bawah kendali Tughril. Inilah awal riwayat Kerajaan Seljuk.

Tughril tutup usia pada 1062. Raja berikutnya merupakan putranya sendiri, yaitu Muhammad. Gelarnya adalah Alp Arslan, yang berarti 'Singa Pemberani'. Seperti ayahnya, ia menjadi komandan militer yang jenius.

Berkat upayanya, panji-panji Islam pun berkibar di berbagai wilayah yang tadinya dikuasai Romawi Timur (Bizantium). Pengaruhnya juga berhasil melepaskan Makkah dan Madinah dari hegemoni Dinasti Fatimiyah yang berhaluan Syiah.

Setelah dirinya wafat, sosok penggantinya ialah Malik Shah. Tidak hanya berhasil memadamkan pemberontakan, putra Alp Arslan itu juga memperluas wilayah Seljuk hingga ke Afghanistan di timur dan Anatolia (Turki) di barat. Dirinya juga sukses menghalau pasukan Salib dari Yerusalem.

Seperti halnya raja-raja Islam pada era keemasan, para penguasa Seljuk sangat mendukung perkembangan ilmu pengetahuan. Tatkala Alp Arslan dan anaknya berkuasa, ada seorang perdana menteri yang begitu gemilang, yaitu Nizham al-Mulk. Ia merintis berbagai universitas besar di Baghdad, Nishapur, dan Thus.

Ibnu Katsir berkata, “Dia (Nizham al-Mulk) adalah seorang pemimpin dengan perjalanan hidup yang luar biasa. Putranya (Imaduddin Zanki) menjadi yang pertama berjihad melawan tentara Salib. … Keluarga merekalah yang telah meletakkan fondasi dan bibit kemenangan Shalahuddin, Zhahir Bibris, dan Qalawun dalam melawan pasukan Salib.”

photo
Lukisan miniatur bergambar Malik Shah I - (DOK Wikipedia)

Seiring wafatnya Malik Shah pada 1092, Seljuk pun mengalami degradasi. Pertikaian di kalangan internal elite makin membesar menjadi perang saudara. Negeri yang tadinya begitu luas kini terpecah menjadi kerajaan-kerajaan kecil. Masing-masing bersifat independen. Tidak ada kerja sama di antara mereka.

Sejak awal abad ke-12, ada delapan wilayah berdaulat yang muncul dari perpecahan Seljuk. Yang terkemuka di antaranya ialah Kesultanan Rum. Pendirinya bernama Sulaiman bin Qutulmisy, seorang sepupu jauh Malik Shah. Dua tahun setelah memenangkan Pertempuran Manzikert, ia mendirikan pusat pemerintahan baru di Iznik.

Kesultanan Rum berhasil menguasai sebagian besar Anatolia. Meskipun dapat menghalau beberapa kali pasukan Salib, kerajaan tersebut tak mampu membendung invasi bangsa Mongol pada 1200-an. Sultan Rum terpaksa menyerah dan meletakkan kedaulatan negerinya di bawah kendali pihak penjajah.

Dalam periode ini, dunia Islam memang betul-betul dilanda musibah besar. Keganasan bangsa dari Asia Timur itu tak kenal ampun. Pada 1258, balatentara Mongol bahkan membumihanguskan Baghdad, jantung negeri Kekhalifahan Abbasiyah.

Osman Ghazi

Krisis yang melanda dunia Islam kala itu justru menjadi peluang bagi dinasti-dinasti Turki untuk tampil di muka. Pada 1250, misalnya, kaum elite militer keturunan budak yang berkebangsaan Turki berhasil merebut kekuasaan dari Ayyubiyah di Mesir. Mereka lalu mendirikan Dinasti Mamluk di kawasan delta Sungai Nil itu.

Konsolidasi bangsa Turki juga terjadi di Anatolia pasca-Kesultanan Rum. Proses tersebut menjadi latar belakang naiknya seorang pemimpin baru. Sumber-sumber dari era Bizantium menyebut namanya sebagai Atman atau Atouman. Adapun manuskrip-manuskrip Arab dari zaman yang sama menamakannya Uthman.

Sosok tersebut belakangan lebih populer dengan sebutan Osman Ghazi. Dialah pendiri Kesultanan Utsmaniyah —kerajaan yang sejak 1517 menjadi sebuah kekhalifahan Islam.

photo
Lukisan bergambar Osman Ghazi - (DOK Wikipedia)

Bagaimanapun, sumber-sumber historis yang kredibel tentang Osman Ghazi sangat langka. Sejarawan Colin Imber dalam artikelnya, “The Legend of Osman Gazi”, bahkan menyimpulkan, sumber-sumber sejarah awal berdirinya Kesultanan Utsmaniyah begitu gelap, bagaikan sebuah lubang hitam (black hole). Demikian pula dengan riwayat sang pendirinya.

Tidak ada yang tahu pasti kapan dan di mana Osman Ghazi dilahirkan. Teks-teks mengenai dirinya kebanyakan bersumber dari tradisi oral masyarakat setempat yang penuh nuansa rekaan. Otoritas Turki Utsmaniyah pun “baru” menulis sejarah baku tentang bapak bangsa mereka pada abad ke-15 atau lebih dari 100 tahun sejak kematian Osman Ghazi.

Yang jelas, darinya-lah nama kesultanan Utsmaniyah berasal. Selain itu, menurut hikayat-hikayat tradisional, Osman Ghazi datang dari klan Kayi. Alhasil, sosok historis ini masih keturunan suku bangsa Turki Oghuz. Ia disebutkan lahir di sebuah wilayah Kesultanan Rum. Ayahnya bernama Urthughril atau Ertugrul, sedangkan kakeknya ialah Suleiman Shah.

Prof Ali Muhammad ash-Shallabi dalam Bangkit dan Runtuhnya Khilafah Utsmaniyah (2003) menuturkan sebuah hikayat lokal mengenai tokoh ini. Pada 617 Hijriah atau 1220 M, Suleiman Shah menyelamatkan diri dan keluarganya dari serbuan pasukan Mongol.

Dari Kurdistan—sekitar Irak utara—mereka hijrah ke Kota Akhlath, tepian Danau Van, Anatolia. Pada 628 H/1230 M, Suleiman wafat dan digantikan oleh putranya, Ertugrul.

photo
Koin bergambar Ertugul - (DOK Wikipedia)

Ertugrul memimpin eksodus kabilahnya yang terdiri atas 100 kepala keluarga dan 400 pasukan berkuda. Kali ini, tujuannya adalah Anatolia barat laut. Dalam perjalanan, ia mendapati keributan tak jauh dari tempatnya singgah. Ternyata, dirinya berada dekat dengan lokasi pertempuran antara pasukan Muslimin dan Nasrani. Waktu itu, Bizantium sedang digdaya di tengah merosotnya militer Seljuk.

Menyadari hal itu, Ertugrul pun bergabung dengan prajurit Islam. Pertempuran itu berakhir dengan kemenangan pihak Muslimin. Komandan pasukan Seljuk memberi penghargaan atas bantuan Ertugrul dan rombongannya. Ia pun diberikan sebidang tanah di Anatolia barat, dekat wilayah perbatasan Bizantium.

Ertugrul dan kaumnya lantas menetap di area pemberian orang-orang Seljuk itu. Aliansi dengan Seljuk terjalin dengan erat. Setiap ekspedisi jihad yang melawan pasukan Salib atau Bizantium pun selalu diikutinya.

Pada 699 H/1299 M, Ertugrul wafat. Putranya tampil sebagai pemimpin baru. Dialah Osman Ghazi. Dalam menjalankan roda pemerintahan, sang peletak fondasi Kesultanan Utsmaniyah itu mengikuti kebijakan ayahnya, termasuk dalam memperluas wilayah kekuasaan hingga ke kota-kota jajahan Bizantium.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat