Massa melakukan melakukan aksi mengecam Presiden Prancis Emmanuel Macron di Jalan Merdeka, Kota Bandung, Rabu (4/11). | ABDAN SYAKURA/REPUBLIKA

Opini

Anomali Kebebasan Prancis

Macron, sebagai pemimpin besar, seharusnya belajar menjadi pemimpin yang layak dihormati.

AHMAD ROFIQ, Guru Besar Pascasarjana UIN Walisongo Semarang

Harian Republika, Sabtu (31/10), memuat tulisan Dubes Prancis untuk Indonesia, Olivier Chambard, yang berjudul “Maksud Presiden Macron”.

Tulisan itu yang diawali pernyataan, “Semua negara demokrasi dan hampir semua negara anggota OKI memerangi radikalisme” harus dibaca secara cerdas. Tulisan tersebut menyanggah pemahaman yang salah atau bias terhadap pidato Emmanuel Macron, tutur Chambard.

Ada pemahaman tentang demokrasi, toleransi, dan kebebasan Prancis bersifat anomali, logikanya tidak lurus, dan bila tidak direvisi, selamanya akan menimbulkan reaksi dan kegaduhan. Bukan tidak mungkin, melahirkan radikalisme baru.

Apalagi, ada kecenderungan mengulang-ulang kasus yang sama. Chambard menyebut “Islamisme radikal”. Kalau dia bijak, tidak seharusnya secara vulgar, menyebut “Islamisme radikal”, cukup dengan radikalisme.

 
Ada pemahaman tentang demokrasi, toleransi, dan kebebasan Prancis bersifat anomali, logikanya tidak lurus, dan bila tidak direvisi, selamanya akan menimbulkan reaksi dan kegaduhan.
 
 

Sebab realitasnya, radikalisme bisa muncul dari kelompok agama mana pun. Seakan-akan, radikalisme itu hanya muncul dari kelompok Islam. Semua negara setuju, radikalisme harus ditiadakan atau kalaupun ada, perlu diselesaikan secara bijak.

Pascapernyataan Macron yang membela Samuel Paty, gara-gara menunjukkan kartun Nabi Muhammad SAW di majalah satire Charlie Hebdo di depan kelas, dengan dalih ekspresi kebebasan dan toleransi Prancis, memicu Abdoullakh Anzorov (18) “tersinggung”.

Bagi Anzorov, Nabi Muhammad adalah sosok idola, panutan yang sangat dicintai dan diteladan karena itu harus dihormati dan tidak boleh dilecehkan oleh siapa pun. Karena itulah, Anzorov memenggal Paty.

Tentu apa yang dilakukan Anzorov tidak bisa dibenarkan karena dalam kehidupan modern ini, tidak ada seorang pun yang dapat dibenarkan melakukan “eksekusi” tanpa melalui proses hukum.

Namun, dalam waktu berurutan, Macron yang merespons insiden tersebut, justru mengatakan, “Negaranya tidak akan berhenti menerbitkan atau membicarakan kartun yang menggambarkan Nabi Muhammad.’’

 
Seakan-akan, Macron mengatakan, “Kita menghormati kebebasan, toleransi, dan persaudaraan, tetapi kalau mau menghina saya, itu hak Anda”.
 
 

Tampaknya, Macron tidak menyadari, pernyataan itu, sesungguhnya “radikalisme” oleh pemimpin negara. Seakan-akan, Macron mengatakan, “Kita menghormati kebebasan, toleransi, dan persaudaraan, tetapi kalau mau menghina saya, itu hak Anda”.

Karena menghina itu, menurut dia, adalah ekspresi kebebasan. Kata Chambard, “Prancis membela kebebasan fundamental, termasuk kebebasan berpendapat dan beragama atau berkeyakinan bagi semua orang, apa pun agama yang dianut. Ini berlaku bagi warga Prancis yang beragama Islam, seperti juga bagi semua warga Prancis lainnya. Faktanya, banyak warga Muslim Prancis, menunjukkan solidaritas terhadap kartunis yang terbunuh, meskipun mereka tidak mendukung kebijakan Charlie Hebdo menerbitkan karikatur”.

Chambard sebenarnya sadar, warga Muslim Prancis tidak mendukung kebijakan Charlie Hebdo, tetapi ironisnya, majalah tersebut masih melakukan “pelecehan” dan “penistaan” terhadap Nabi Muhammad.

Itu sudah dilakukannya pada 2015, yang menimbulkan insiden terbunuhnya 12 orang. Mencermati alur berpikir Macron dan Chambard, soal memerangi radikalisme, kebebasan berpendapat, demokrasi, dan persaudaraan, kiranya tidak ada yang perlu ditolak.

 
Bagaimana mungkin, menyatakan menghargai kebebasan, persaudaraan, dan toleransi jika mendukung “penistaan” Nabi Muhammad, tokoh sentral dalam Islam?
 
 

Namun, pernyataan Macron, “Negaranya tidak akan berhenti menerbitkan atau membicarakan kartun yang menggambarkan Nabi Muhammad ” dan pernyataan Chambard, “Faktanya, banyak warga Muslim Prancis, menunjukkan solidaritas terhadap kartunis yang terbunuh, meskipun mereka tidak mendukung kebijakan Charlie Hebdo menerbitkan karikatur” adalah anomali pemikiran.

Kebebasan dan demokrasi, meniscayakan moralitas dan akhlak yang tinggi, termasuk menghargai sesembahan, sosok yang sangat dihormati, dan simbol agama lain.

Karena simbol-simbol agama ini ketika disinggung, sangat sensitif menyulut reaksi dan pembelaan sangat serius. Emmanuel Macron seharusnya meminta maaf kepada kaum Muslim, supaya reaksi boikot atas produk Prancis berakhir.

Macron, sebagai pemimpin besar, seharusnya belajar menjadi pemimpin yang layak dihormati. Bagaimana mungkin, menyatakan menghargai kebebasan, persaudaraan, dan toleransi jika mendukung “penistaan” Nabi Muhammad, tokoh sentral dalam Islam?

Jika memang tidak bisa menghormati Nabi Muhammad, cukup janganlah menista dan jangan pula mendukung si penista. Pengelola majalah Charlie Hebdo silakan berkreasi membuat kartun, tetapi hentikanlah menistakan sosok dan simbol agama.

Kebebasan, persaudaraan, dan toleransi akan tumbuh subur manakala setiap orang bisa menjunjung tinggi kehormatan. Dunia ini butuh konstruksi kebebasan dan makna persaudaraan yang hakiki.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat