Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) Intan Jaya di Papua, Senin (12/10). | Dok. Kemenko Polhukam

Nasional

Komnas HAM: Yeremia Disiksa dan Ditembak

Komnas HAM menyimpulkan, rangkaian peristiwa itu berakhir pada kematian Yeremia.

JAKARTA -- Tim pemantauan dan penyelidikan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (HAM) mengungkap rangkaian peristiawa kekerasan dan pembunuhan di Disktrik Hitadipa, Intan Jaya, Papua pada September 2020. Komnas HAM menyimpulkan, rangkaian peristiwa itu berakhir pada kematian Pendeta Yeremia Zanambani yang diduga akibat penyiksaan dan penembakan oleh oknum anggota TNI pada 19 September lalu. 

"Laporan disusun dari seluruh temuan, merekonstruksi peristiwa dengan melakukan olah tempat kejadian peristiwa (TKP), sudut, lubang, dan jarak tembak, mengindetifikasi karakter tembakan, permintaan keterangan saksi-saksi dan informasi terkait lainnya serta mengujinya dengan keterangan ahli," kata Komisioner Pemantauan dan Penyelidikan Komnas HAM, Choirul Anam, di Jakarta, Senin (2/11) . 

Anam membeberkan, terdapat rangkaian peristiwa menjelang kematian Pendeta Yeremia pada 17 September hingga 19 September 2020. Kematian Yeremia berawal dari penembakan, pembunuhan, dan perampasan senjata Serka Sahlan pada 17 September oleh Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat-Organisasi Papua Merdeka (TPNPB-OPM) yang juga disebut kelompok kriminal separatis bersenjata (KKSB).

Kematian anggota TNI itu mendorong pencarian senjata oleh anggota TNI. Warga Hitadipa dikumpulkan dan diberi pesan agar senjata segera dikembalikan dalam kurun waktu 2-3 hari.

"Dalam pengumpulan massa tersebut, nama Pendeta Yeremia Zanambani disebut-sebut beserta lima nama lainnya dan dicap sebagai musuh salah satu anggota Koramil di Distrik Hitadipa," ungkap Anam.

Pada 19 September sekitar pukul 13.10 WIT, terjadi penembakan terhadap anggota Satgas Apter Koramil di pos Koramil Persiapan Hitadipa, Pratu Dwi Akbar Utomo. Dwi Akbar dinyatakan meninggal setelah dievakuasi ke RSUD Kabupaten Intan Jaya. 

Penembakan Pratu Dwi Akbar memicu rentetan tembakan hingga sekitar pukul 15.00 WIT. Tim TNI yang terdapat Wakil Danramil Hitadipa, Alpius Hasim Madi, melakukan penyisiran. Alpius disebut menuju kandang babi sekitar waktu penembakan terhadap Yeremia. 

"Sekitar pukul 17.50 WIT, korban (Yeremia) ditemukan istri korban di dalam kandang babi dengan posisi telungkup dan banyak darah di sekitar tubuh korban. Di lengan kiri korban terdapat luka terbuka (diduga ditembak) dan mengeluarkan darah," ujar Anam. Korban masih hidup hingga 6 jam pasca ditemukan. 

Anam mengatakan, menurut ahli, penyebab kematian korban karena kehabisan darah. Hal ini dilihat dari luka korban yang bukan di titik yang mematikan. Diduga kuat adanya penyiksaan yang bertujuan meminta pengakuan korban soal senjata yang hilang atau keberadaan TPNPB.

Diduga Yeremia ditembak dengan senjata jenis pistol pada jarak kurang dari 1 meter. 

Komnas HAM menyimpulkan, Alpius sebagai pelaku langsung yang melakukan penyiksaan dan atau extra judicial killing terhadap Pendeta Yeremia. "Diduga bahwa pelaku adalah Alpius, wakil Danramil Hitadipa, sebagaimana pengakuan langsung korban sebelum meninggal dunia kepada dua orang saksi, dan juga pengakuan saksi-saksi lainnya yang melihat Alpius berada di sekitar TKP pada waktu kejadian dan 3 atau 4 anggota lainnya," kata Choirul Anam.

Anam mengungkapkan dugaan pelaku merupakan anggota TNI dari koramil persiapan Hitadipa dilihat dari bekas luka tembakan yang diduga dengan jarak kurang dari 1 meter, ruang terbatas pada kandang babi, tembakan berasal dari senjata api jenis shoot gun atau pistol atau jenis lainnya yang memungkinkan digunakan dalam ruang tersebut. 

Dengan melihat kronologi atas peristiwa yang dialami Pendeta Yeremia Zanambani, patut diduga terdapat perintah pencarian senjata yang telah dirampas pada peristiwa tgl 17 dan anggota TPNB/OPM. "Pemberi perintah ini, patut diduga merupakan pelaku tidak langsung," kata Anam. 

Pendeta Yeremia diduga ditembak menggunakan senjata laras pendek saat berlutut. Tak hanya itu, Pendeta Yeremia, juga diduga mengalami tindakan kekerasan lain berupa jeratan, baik menggunakan tangan ataupun alat berupa tali dan lainnya untuk memaksa korban berlutut yang dibuktikan dengan jejak abu tungku yang terlihat pada lutut kanan korban. 

"Dan atau kematian pendeta Yeremia dilakukan dengan serangkaian tindakan yang mengakibatkan hilangnya nyawa di luar proses hukum atau extra judicial killing," ujar Anam.

Komnas HAM juga menduga Pendeta Yeremia sudah menjadi target atau dicari oleh terduga pelaku dan mengalami penyiksaan dan atau tindakan kekerasan lainnya untuk memaksa keterangan dan atau pengakuan dari korban atas keberadaan senjata yang dirampas TPNPB/OPM maupun keberadaan anggota TPNPB/OPM lainnya.

photo
Pasukan TPNPB-OPM menunjukkan peluru-peluru, telepon genggam, dan pakaian tempur yang mereka klaim direbut dari sejumlah posko TNI-Polri di Kabupaten Nduga, pertengahan Mei 2020. - (Istimewa/TPNPB-OPM)

Hal ini secara tegas disampaikan Alpius, anggota TNI Koramil Hitadipa, yang menyebutkan nama Pendeta Yeremia Zanambani sebagai salah satu musuhnya.  "Pendeta  Yeremia Zanambani juga cukup vokal dalam menanyakan keberadaan hilangnya dua orang anggota keluarganya kepada pihak TNI," tutur Anam. 

Komnas HAM juga menyimpulkan bahwa terdapat upaya mengalihkan atau mengaburkan fakta-fakta peristiwa penembakan di TKP berupa sudut dan arah tembakan yang tidak beraturan. Hal itu  dibuktikan dengan banyak titik lubang tembakan dengan diameter yang beragam, baik dari luar TKP yakni sekitar pohon, di bagian luar dan dalam serta bagian atap/seng kandang babi. " Komnas HAM meyakini bahwa tembakan dilakukan dalam jarak dekat jarak 9–10 meter dari luar  kandang," kata Anam.

Komnas HAM juga menyimpulkan bahwa terdapat barang bukti berupa pengambilan proyektil peluru dari lubang kayu balok di TKP yang tidak diketahui keberadaannya saat ini. Selain itu terdapat upaya agar  korban segera dikuburkan tidak lama setelah kejadian juga sebagai upaya untuk tidak dilakukan pemeriksaan terhadap jenazah korban untuk menemukan penyebab kematian. 

"Kami juga menyimpulkan terdapat fakta pendekatan keamanan yang melanggar hukum dan tata kelola keamanan yang kurang tepat di Hitadipa atau wilayah Intan Jaya secara umum, " ungkap Anam. "Salah satu contohnya adalah menggunakan masyarakat menjadi bagian dari kekerasan bersenjata, menstigma yang menimbulkan rasa ketakutan dan ketidak percayaan," tambah Anam. 

photo
Pendeta Yeremia Zanambi - (Istimewa)

Anam menambahkan, laporan penyelidikan Komnas HAM akan disampaikan kepada Presiden dan Menkopolhukam. Komnas HAM berharap pengungkapan peristiwa kematian Pendeta Yeremia secara transparan, proses keadilan yang professional dan kredible dapat diselenggrakan. 

Kepala Penerangan Komando Gabungan Wilayah Pertahanan III, Kolonel Czi IGN Suriastawa mengatakan, TNI menjunjung tinggi proses hukum yang berlaku. Itu termasuk apabila terdapat keterlibatan oknum prajurit di dalam kejadian yang menyebabkan meninggalnya Pendeta Yeremia. 

Suriastawa mengingatkan, rangkaian kejadian di Intan Jaya pada September lalu itu menelan lima korban jiwa, yakni tiga warga sipil dan dua anggota TNI. Seperti rekomendasi TGPF, kata dia, TNI mendukung pengusutan tuntas seluruh kasus ini. "Jangan hanya fokus pada satu kasus dan menyampingkan kasus lainnya, karena ini adalah satu rangkaian kejadian," kata dia dalam keterangan tertulis, Senin (2/11).

Menurut dia, mengesampingkan seluruh fakta dari rangkaian kejadian itu akan mengaburkan masalah yang paling mendasar. "Persoalan keberadaan gerombolan kriminal bersenjata, sumber masalah di Papua ini," kata dia. 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat