Bendera Kesultanan Aceh (Alam Peudeung Mirah) | DOK Wikipedia

Tema Utama

Tonggak Aliansi Aceh-Turki

Demi mengusir Portugis, Aceh Darussalam meminta dukungan militer Utsmaniyah.

OLEH HASANUL RIZQA

Kesultanan Aceh Darussalam berdaulat sejak awal abad ke-16. Dalam sejarahnya, Tanah Rencong membangun relasi erat dengan Turki Utsmaniyah. Kekhalifahan itu mendukungnya dalam mengusir penjajah dari Nusantara.

 

Aceh Darussalam sudah menjadi sebuah negeri berdaulat di Kepulauan Nusantara jauh sebelum zaman kolonialisme Eropa. Menurut ulama Aceh dari abad ke-16 Syekh Nuruddin ar-Raniri, seperti dikutip Prof Raden Hussein Jayadiningrat dalam Kesultanan Aceh (1982), sultan Aceh yang pertama bernama Ali Mughayat Syah.

Ia naik takhta pada 1 Jumadil Awal 913 Hijriah atau 8 September 1507 Masehi. Sebelumnya, tidak ada raja di Aceh, melainkan kepala-kepala daerah (meurah) yang berkuasa secara lokal.

Penulis kitab Bustan al-Salatin (Taman Raja-raja) itu juga menerangkan, Sultan Ali Mughayat Syah turut berjasa dalam menyebarkan Islam di seluruh daerah kekuasaannya. Syiar agama tauhid memang sudah lama kukuh di Aceh setidaknya sejak abad ke-13. Pada 1267, Meurah Silu menguasai pesisir utara Aceh atau daerah sepanjang Sigli hingga Lhokseumawe kini.

Pendiri Kerajaan Samudra Pasai itu menjadikan daerah antara Sungai Jambu Air dan Sungai Pasai (Krueng Pase) sebagai pusat pemerintahan. Sejak memeluk Islam, gelarnya berubah menjadi al-Malik as-Shalih.

Hanya berselang empat tahun sejak pembentukan Kesultanan Aceh Darussalam, pada 1511 bangsa Portugis menduduki Melaka. Mereka dipimpin Afonso de Albuquerque yang pada setahun sebelumnya telah menaklukkan Goa, India.

photo
Peta Nusantara pada masa silam. Jauh sebelum kolonialisme mencengkeram Bumi Pertiwi, Aceh sudah menjadi sebuah negeri yang merdeka dan berdaulat. Dalam sejarahnya, kesultanan tersebut membina hubungan diplomatik dengan banyak negara luar, terutama Kekhalifahan Turki Utsmaniyah. - (DOK OTTOMAN WORLD MAP)

Sejak saat itu, Portugal selalu menjadi ancaman bagi negeri-negeri Muslim di Nusantara, khususnya Aceh yang berdekatan secara geografis dengan Melaka. Kerajaan Katolik tersebut membawa semangat Perang Salib. Prof Amirul Hadi dalam Aceh: Sejarah, Budaya dan Tradisi (2010) mengatakan, salah satu rumusan politik Portugal kala itu diistilahkan sebagai parado, yang bermakna “perang tak mengenal belas-kasihan dalam melawan orang-orang Islam.”

Rasa permusuhan Portugis terhadap Islam sangat besar. Sebelum mencapai India, Afonso merebut Hormuz pada 1508. Dari sana, ia sempat berencana menyerang Makkah, tetapi akhirnya berpaling menuju ke timur. Selama menguasai Goa, laksamana kelahiran tahun 1453 itu juga menerapkan peraturan yang keras atas kaum Muslimin setempat.

Begitu pula ketika dirinya menguasai Melaka. Terhadap bangsa Aceh, Portugis berulah antara lain dengan membantai 300 warga Aceh dan puluhan orang Arab yang menumpangi sejumlah kapal di perairan dekat kerajaan Islam itu. Para korban merupakan jamaah haji yang sedang dalam perjalanan pulang dari Tanah Suci.

Sejak kepemimpinan Sultan Ali Mughayat Syah, Aceh Darussalam berhasil menyatukan seluruh pesisir ujung utara Pulau Sumatra. Politik ekspansinya didukung kekuatan militer yang mumpuni. Dengan begitu, Aceh tidak hanya mampu merebut kendali atas kerajaan-kerajaan kecil lokal—seperti Pasai, Lamuri, Pidie, Peudada, Meulaboh, dan Daya—tetapi juga berdaya menghalau gangguan Portugis.

 
Sejak kepemimpinan Sultan Ali Mughayat Syah, Aceh Darussalam berhasil menyatukan seluruh pesisir ujung utara Pulau Sumatra.
 
 

Sebagai contoh, pada tahun 1519 dan 1521 Aceh melakukan serangan atas konvoi-konvoi Portugis di perairan Aceh. Dalam hal ini, Tanah Rencong didukung koalisi Muslim lainnya, yakni sejumlah kesultanan di Semenanjung Malaya, Jawa, dan bahkan Maluku.

Menurut Hadi, kekuatan militer Aceh saat itu bertumpu tidak hanya pada senjata tradisional, seperti pelbagai jenis pedang dan pasukan gajah. Kerajaan Islam tersebut juga mengandalkan senjata jenis artileri.

Bahkan, menurut sejarawan Portugis dari abad ke-16 Fernao Lopez de Castanheda, ketika itu pasukan Aceh memiliki lebih banyak artileri dibanding jumlah senjata yang sama yang dimiliki Portugis di Melaka. Di samping itu, Aceh pun mendapatkan dukungan persenjataan dari negara-negara luar, seperti Cina, Gujarat, dan Turki.

photo
Salah satu meriam yang dimiliki Kesultanan Aceh. - (DOK Wikipedia)

Lada Sicupak

Ribuan kilometer terbentang antara Turki dan Aceh. Namun, jarak geografis itu bukanlah kendala bagi pemimpin masing-masing negeri untuk menjalin hubungan yang erat. Setidaknya sejak abad ke-16, Aceh Darussalam berinisiatif mendapatkan dukungan dari kerajaan Islam terbesar di Timur Tengah atau bahkan penjuru dunia itu. Sultan Ali Mughayat Syah memerlukan aliansi dengan Daulah Turki Utsmaniyah untuk mengusir Portugis dari Nusantara.

Mehmet Ozay dalam buku Kesultanan Aceh dan Turki: Antara Fakta dan Legenda (2013) mengatakan, sang sultan mengirimkan sejumlah delegasi ke Konstantinopel, pusat pemerintahan Kekhalifahan Turki Utsmaniyah. Mereka membawa sejumlah besar komoditas berharga untuk diberikan kepada penguasa setempat, Sultan Suleiman I al-Qanuni.

Begitu tiba di tujuan, para utusan Aceh tersebut tidak bisa langsung menemui Sultan al-Qanuni. Sebab, pemimpin Utsmaniyah itu sedang memimpin pasukannya yang bertempur melawan Hungaria di Balkan dalam Perang Szigetwar. Alhasil, mereka menghabiskan waktu lebih lama di Konstantinopel sembari menunggu usainya pertempuran tersebut.

Dengan usaha sendiri, mereka menyewa tempat dan mencari penghasilan dengan menjual berbagai komoditas yang dibawanya. “Setelah Selim II, putra Sultan Sulaiman I, selesai dilantik, barulah utusan Aceh memperoleh kesempatan untuk melakukan kunjungan resmi ke Istana, yakni dua tahun setelah kedatangan mereka di Turki,” tulis Ozay.

Pertemuan itu terjadi pada 7 Januari 1565. Sebelumnya, para delegasi Aceh dengan sangat terpaksa sudah menjual semua komoditas lada yang mereka miliki, termasuk bagian yang sesungguhnya diniatkan sebagai hadiah kepada sultan Turki. Yang tersisa di tangan mereka hanyalah secupak lada (1 cupak sama dengan seperempat gantang). Itulah yang dapat mereka tawarkan kepada Sultan Selim II.

Sultan Turki Usmani kemudian memutuskan untuk mengusahakan bantuan militer kepada Aceh. Tidak hanya ratusan personel pasukan, tetapi juga berbagai bentuk persenjataan yang canggih pada masanya. Di antaranya adalah sebuah meriam yang belakangan dinamakan sebagai Lada Sicupak demi mengenang momen historis tersebut.

photo
Meriam raksasa Turki yang digunakan pada masa Kesultanan Utsmaniyah. - (DOK Wikipedia)

Peristiwa Lada Sicupak itu akhirnya meningkatkan hubungan politik-militer antara kekuatan Timur Tengah dan mitranya di Asia Tenggara. Upaya sultan Aceh itu sangat berpengaruh hingga mengalihkan perhatian Konstantinopel dari Samudra Hindia wilayah barat ke Nusantara, tepatnya Sumatra. Memang, Portugis sudah menjadi musuh bagi Kekhalifahan Turki Utsmaniyah, terutama sejak kerajaan Katolik itu berhasil menguasai Ceuta pada 1415 dan Hormuz pada 1507.

Menurut Ozay, sultan Turki Utsmaniyah tidak meminta Aceh supaya mengirimkan upeti tahunan. Padahal, Konstantinopel biasanya mengharuskan negeri-negeri yang meminta dukungan kepadanya untuk menyerahkan persembahan. Hal itu menandakan, Aceh bukanlah negeri bawahan (vassal) bagi kekhalifahan tersebut.

“Bantuan ini bukanlah semacam belas kasihan yang diberikan oleh pusat kekuasaan di Istanbul, tetapi suatu pertimbangan politik secara khusus sebagai hibah politik kepada Kesultanan Aceh untuk menyempurnakan kedaulatannya,” kata sejarawan tersebut.

Sesampainya di Aceh, para personel militer Turki membuat semacam lembaga pendidikan untuk melatihg rakyat dan pasukan Aceh. Tujuannya agar masyarakat lokal dapat menguasai taktik dan strategi peperangan yang andal. Orang-orang Aceh juga diajarkan untuk membuat meriam dan kapal yang bisa menampung meriam di dalamnya.

Merujuk pada Hikayat Meukuta Alam, Meriam Lada Sicupak terus dipakai balatentara Aceh sampai pecahnya perang melawan Belanda pada 1874. Ozay mengatakan, ada beberapa artikel yang terbit di Turki pada medio abad ke-20 yang menceritakan tentang meriam itu.

Sayangnya, bukti simbolis hubungan antara Aceh dan Turki itu tak bertahan lama. Pada 1873, Belanda berhasil melancarkan invasi kedua atas Banda Aceh. Berbagai artefak dan persenjataan Aceh, termasuk Meriam Lada Sicupak, kemudian dikirimnya ke negara asal mereka di Eropa.

 
Berbagai artefak dan persenjataan Aceh, termasuk Meriam Lada Sicupak, kemudian dikirimnya ke negara asal mereka di Eropa.
 
 

Namun, benda bersejarah itu kini disebut-sebut sudah berada di Aceh, tepatnya disimpan di Desa Blang Balok, Peureulak, Kabupaten Aceh Timur.

Hadi menjelaskan, berkat sokongan Turki Utsmaniyah, perkembangan militer Aceh menjadi lebih maju bila dibandingkan kerajaan-kerajaan lainnya di Nusantara. Aspek taktik dan strategi militer Aceh juga sangat dipengaruhi oleh kekhalifahan tersebut. Tercatat, Aceh berulang kali menggempur Portugis di Melaka, yakni pada tahun-tahun 1737, 1547, 1568, 1573 dan 1577. Bangsa Eropa itu pun sering kali mengambil cara bertahan.

Sebagai contoh, Hadi mengatakan, pertempuran besar yang pecah antara kedua belah pihak pada 20 Januari 1568. Pasukan Aceh dipimpin Sultan Alauddin Ri’ayat Syah. Kekuatan militernya cukup lengkap, terdiri atas 300 kapal perang, 15 ribu personel, 400 orang pasukan elite Turki, dan 200 unit meriam.

Serangan dilakukan secara mendadak ketika orang-orang Portugis sedang merayakan hari ulang tahun Raja Sebastian di Benteng Melaka. Waktu itu, bandar tersebut hanya dijaga 1.500 orang, yakni sekitar 200 orang Portugis dan selebihnya pasukan yang direkrut dari penduduk lokal non-Muslim.

Panglima Portugis di Melaka, Dom Lionis Pereira, kemudian meminta dukungan militer dari Johor dan Kedah. Namun, bantuan tersebut baru tiba di Melaka ketika Portugis sudah berhasil menangkal gerak laju pasukan Aceh. Dalam catatan Portugis, perang tersebut menewaskan sekitar 4.000 orang prajurit Aceh, termasuk Abdullah anak Sultan Aceh yang menjadi penguasa Aru.

Mengetahui bahwa Johor telah mengirim pasukannya untuk membantu Portugis, Sultan Alauddin sangat marah. Pasukan Aceh lalu membakar beberapa desa di Johor dalam perjalanan pulang.

Dalam setiap peperangan besar di daratan, Aceh selalu tampil lebih dahulu, sedangkan Portugis bersikap menunggu dan bertahan. Keadaannya berbeda tatkala masing-masing kubu bertemu di lautan. Hadi menerangkan, inisiatif penyerangan tampaknya diambil kedua belah pihak secara bersamaan.

Markas Portugis di Goa juga berupaya menghalangi masuknya bala bantuan Turki yang berlayar dari Laut Merah ke Aceh. Akan tetapi, usaha tersebut sering kali gagal.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat