KH Anas Mahfudz merupakan salah seorang murid Hadratussyekh KH Hasyim Asyari | DOK NU LUMAJANG

Mujadid

KH Anas Mahfudz, Pencetak Kader Ulama

Di lingkungan Nahdliyin, KH Anas Mahfudz dikenal sebagai seorang organisatoris yang andal.

OLEH MUHYIDDIN

Syiar Islam telah mengakar kuat di Lumajang, Jawa Timur, sejak berabad silam. Dalam sejarahnya, kabupaten yang diapit tiga gunung berapi itu—Semeru, Bromo, dan Lamongan—juga memunculkan banyak alim ulama teladan.

Di antaranya adalah KH Anas Mahfudz. Meskipun perawakan tubuhnya terbilang kurus, sorot matanya yang tajam memancarkan karisma. Masyarakat setempat pun mengenangnya sebagai sosok mubaligh yang tawadhu, mengayomi, dan pejuang.

Sepanjang hayatnya, Kiai Anas bertanggung jawab dalam kaderisasi ulama dan pejuang Islam khususnya di daerah Lumajang. Pada zaman penjajahan Belanda dan Jepang, ia mengobarkan semangat juang kaum Muslimin, terutama kelompok santri. Berdirinya Laskar Hizbullah-Sabilillah di sana pada masa mempertahankan kemerdekaan juga tidak luput dari peran pentingnya.

Sesudah proklamasi Republik Indonesia pada 17 Agustus 1945, gerilya laskar pejuang dan rakyat sangat krusial untuk membela kedaulatan negeri. Khususnya di Jawa, peranan itu diperkuat lagi oleh berbagai strategi warga Nahdliyin dalam mengonsolidasi persatuan umat.

Sebagai seorang figur Jam’iyah Nahdlatul Ulama (NU), Kiai Anas pun ikut membentuk Markas Oelama Djawa Timur (MODT). Bahkan, dirinya didaulat untuk menjadi ketuanya. Di antara kawan seperjuangannya ialah Kiai Faqih Gambiran, Kiai Wiryasari, Kiai Madani, dan Kiai Masrap Kunir. Demikian mengutip artikel Gus Lancip yang dimuat dalam Buletin an-Nahdlah LTN-NU Lumajang.

KH Anas Mahfudz memiliki nama lengkap Anas Mahfudz bin Zen bin Idris. Ia lahir di Lumajang pada 1328 Hijriah atau bertepatan pada 27 November 1907. Silsilah nasabnya bersambung hingga ke salah seorang wali songo —kelompok ulama yang merintis syiar Islam di Tanah Jawa— yaitu Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Djati.

Anas merupakan anak sulung dari 12 bersaudara. Ayahnya bernama KH Zen bin Idris, seorang pendatang yang hijrah dari daerah Pasuruan ke Lumajang. Awalnya, Kiai Zen bekerja sebagai buruh tani. Nafkahnya berasal dari menggarap dan menjaga sawah milik beberapa tuan tanah.

Atas kerja kerasnya, Kiai Zen pun tidak lagi menjadi petani sewaan. Bahkan, ia akhirnya memiliki sawah sendiri dan menjadi salah seorang juragan di Lumajang. Bagaimanapun, masyarakat setempat menghormatinya bukan lantaran kekayaannya, tetapi watak dan laku pribadinya. Ayahanda Anas itu juga karena keilmuannya dalam bidang agama Islam.

Lahir dari keluarga berkecukupan, Anas Mahfudz kemudian menempuh pendidikannya dari pesantren ke pesantren. Pada mulanya, ia belajar kepada orang tuanya sendiri. Berikutnya, ia menuntut ilmu kepada pamannya yang juga seorang ulama karismatik pada masa itu, KH Ghozali bin Abror Gambiran.

 
Ia menuntut ilmu kepada pamannya yang juga seorang ulama karismatik pada masa itu, KH Ghozali bin Abror Gambiran.
 
 

Karena masih haus akan ilmu pengetahuan, pada usia 14 tahun ia mulai memberanikan diri untuk merantau jauh dari kampung halamannya. Pada 1920, Anas pergi untuk menimba ilmu ke Pondok Pesantren Jamsaren Solo. Pesantren tersebut pada saat itu sudah menerapkan kurikulum dan metode modern dalam pembelajarannya.

Setelah itu, dia meneruskan pencarian ilmunya ke Pondok Pesantren Tebuireng yang saat itu diasuh pendiri NU Hadratus Syekh KH Hasyim Asy’ari. Di sana, ia dikenal sebagai salah seorang santri yang cerdas dan tekun.

Saat nyantri di Tebuireng, Anas juga mendapat pujian dari gurunya, Kiai Hasyim Asy’ari. Pahlawan nasional yang kelak menyerukan Resolusi Jihad 1945 itu menggolongkan remaja dari Lumajang itu sebagai ustaz muda. Tak jarang ketika sang hadratusy syekh sedang berhalangan hadir, Anas-lah yang didaulat menjadi penggantinya untuk mengajarkan ilmu kepada santri-santri Tebuireng.

 
Tak jarang ketika sang hadratusy syekh sedang berhalangan hadir, Anas-lah yang didaulat menjadi penggantinya.
 
 

Tidak berhenti di situ, ia juga melanjutkan rihlah keilmuannya sampai ke Makkah. Di Tanah Suci, ia bermukim cukup lama. Sayangnya, keadaan politik lokal tak cukup mendukung kondusifnya situasi pelajar di sana.

Wahabisme mulai menyeruak di Jazirah Arab. Pengaruhnya terasa hingga ke Haramain. Perselisihan antara paham Wahabi dan tradisionalis Islam pun berujung kepada banyaknya penangkapan dan pengusiran ulama-ulama Sunni yang tidak sepaham dengan semangat penguasa.

Kaum Wahabi saat itu didukung kekuatan militer Ibnu Su’ud yang memperoleh dukungan Inggris. Pada 1924, mereka berhasil menguasai Hijaz. Beberapa tahun kemudian, Kerajaan Arab Saudi pun terbentuk.

Peran kaderisasi

KH Anas Mahfudz memperdalam ilmu agama di Pesantren Tebuireng Jombang antara tahun 1923 dan 1928. Setelah itu, ia merintis Madrasah Nurul Islam di Lumajang. Pembangunannya berlangsung sejak 1929 hingga 1940. Masyarakat setempat sangat mendukungnya sampai-sampai mengusulkan berdirinya sebuah pondok pesantren baru yang nantinya diasuh Kiai Anas.

Namun, sang kiai kurang berkenan dengan usulan tersebut. Dirinya cenderung senang mengasuh sebuah madrasah. Menurut dia, sistem klasikal madrasah yang mulai diperkenalkan sebagai metode-pengajaran baru kala itu lebih cepat dalam mencetak kader-kader ulama dan tenaga pengajar. Akselerasi itu diharapkan dapat segera terasa hingga ke pelosok-pelosok daerah.

Dalam hal ini, tampak jelas pemikiran Kiai Anas Mahfuzh yang mengarah pada kemajuan. Ia tidak antiperubahan, tetapi justru mendorong kaum Muslimin agar selalu siap berinovasi.

Dalam menyampaikan gagasannya, sang alim tidak pernah memakai cara-cara konfrontatif. Kepada setiap kiai, ia selalu memberikan semangat untuk terus melestarikan metode pendidikan pesantren yang sudah ada.

Pilihan Kiai Mahfudz untuk mencetak kader ulama lewat sistem pendidikan madrasah ini terbukti sukses. Dari tahun ke tahun, semakin banyak alumni Madrasah Nurul Islam yang kemudian menjadi alim ulama atau penggerak syiar Islam di Lumajang maupun Nusantara umumnya.

Beberapa kiai hasil kaderisasinya adalah KH Barizi, KH Khudlori, KH Anshori, KH Baichuni, dan KH Usman. Di samping itu, ada pula beberapa nama lain, seperti KH Sami’an, KH Nawawi, KH Amak Fadloli, KH Halimi, dan KH Basuni.

Tidak berhenti di situ, KH Anas Mahfudz masih bercita-cita untuk mencetak kader ulama yang mengasuh pesantren. Keinginan itu tak jarang disampaikan kepada murid-muridnya di madrasah.

Perkataan Kiai Anas lantas menjadi pelecut semangat mereka untuk lebih tekun dalam belajar. Tak sedikit dari mereka yang akhirnya berhasil mendirikan dan mengasuh lembaga-lembaga pendidikan Islam.

Mayoritasnya bersedia menjadi cabang Madrasah Nurul Islam di daerahnya masing-masing. Cabang-cabang institusi itu antara lain terdapat di daerah Srebet dengan KH Mahfuzh sebagai pendirinya. Selain itu, ada juga di Bades Pasirian dengan asuhan KH Thohir Arifin.

Selain berkiprah di dunia pendidikan agama Islam, Kiai Anas juga piawai dalam aktivitas berorganisasi. Di lingkungan Nahdliyin, ia dikenal sebagai seorang organisatoris yang andal.

Pada waktu Muktamar NU ke-24 di Banyuwangi, Jawa Timur, ia bersama-sama dengan para kiai setempat merintis pembentukan NU Cabang Lumajang. Pada 1934, rencana itu pun terwujud sehingga mengukuhkan konsolidasi jam’iyah NU di kawasan tersebut.

Peresmiannya dibuka oleh Rais Akbar KH Hasyim Asy’ari dan Katib Syuriah KH Wahab Hasbullah. Meskipun terlibat banyak dalam perintisan NU Cabang Lumajang, Kiai Anas lebih memilih amanah sebagai sekretaris. Adapun posisi Rais Syuriah NU Lumajang periode pertama diserahkan kepada KH Ghozali Gambiran. Sementara itu, ketua tanfizh-nya adalah KH Zen bin Idris.

Pada periode kedua, barulah kemudian posisi Kiai Anas Mahfudz naik menjadi ketua tanfizh. Setelah perode ketiga, ia kemudian diminta untuk duduk sebagai rais syuriah NU Lumajang. Misi ini diembannya selama 34 tahun, sejak 1950 sampai akhir 1984.

photo
Masjid Agung KH Anas Machfudz yang berada di pusat Kota Lumajang, Jawa Timur - (Tangkapan layar)

Aktif di politik

Pada zaman Presiden Sukarno, banyak tokoh umat Islam yang terjun ke dunia politik. Masyumi menjadi satu-satunya kendaraan politik bagi kaum Muslimin di Tanah Air, sebelum NU akhirnya menyatakan keluar. Bagaimanapun, kelompok-kelompok politik berideologi Islam memiliki lawan bersama, yakni kubu komunis yang berpusat di Partai Komunis Indonesia (PKI).

KH Anas Mahfudz terpilih sebagai anggota Konstituante selepas Pemilihan Umum (Pemilu) 1955. Belum tuntas melaksanakan tugasnya dalam menyusun undang-undang dasar, lembaga itu kemudian dibubarkan Bung Karno pada 1959.

Setelah itu, Kiai Anas seperti beberapa koleganya tak lagi aktif di dunia politik. Ia lebih konsen pada berbagai acara keagamaan yang diadakan NU, baik di masjid maupun rumah para kader.

Selain itu, Kiai Mahfudz juga menggelar pengajian khusus di rumahnya pada malam-malam tertentu. Dinamakan pengajian khusus karena para pesertanya terdiri dari para kiai pesantren. Hingga kemudian, rutinitas itu terhenti dengan meletusnya peristiwa G-30-S/PKI pada 1965.

Kiai Mahfudz bersama beberapa temannya juga memperjuangkan berdirinya Pengadilan Agama di Lumajang agar dapat menyelesaiakan sengketa Nikah, Talak, Cerai dan Rujuk ( NTCR ) di kalangan umat Islam. Hingga akhirnya, Kiai Mahfudz menjabat sebagai Ketua Pengadilan Agama Lumajang sejak 1950 sampai 1959.

Kiai Mahfudz telah banyak berkontibusi untuk memajukan agama dan negaranya. Hingga akhirnya, ia dipanggil oleh Allah Swt pada 1989 pada usia 82 tahun. Ratusan ribu pentakziah dari dalam maupun luar Lumajang saat itu membanjiri Alun-alun Lumajang untuk mengantarkan dan mendoakannya. Jenazahnya dikebumikan di pemakaman umum Jogoyudan Lumajang, Jawa Timur.

Sebagai ulama yang paling berpengaruh di Lumajang, nama KH Anas Mahfudz diabadikan menjadi nama masjid di kabupaten tempat kelahirannya, yakni Masjid Agung KH Anas Mahfudz. Ia sendiri merupakan perintis didirikannya Masjid Agung tersebut, sekaligus perawat masjid setelah didirikan oleh Laskar Diponegoro.

photo
Salah satu jasa KH Anas Mahfudz ialah mendirikan kampus keagamaan di Lumajang, Jawa Timur, yakni cabang dari IAIN Surabaya - (DOK UINSA)

Mendirikan Kampus Islam di Lumajang 

KH Anas Mahfudz merupakan seorang ulama Nusantara yang karismatik, moderat, dan pengayom umat Islam. Hampir seluruh hidupnya dihabiskan untuk berjuang di jalan Allah. Kiai yang menghabiskan separuh hayatnya pada masa penjajahan ini juga berjasa dalam memajukan pendidikan Islam khususnya di Lumajang, Jawa Timur.

Ia merintis berdirinya Madrasah Nurul Islam. Tidak berhenti di situ, ulama kelahiran tahun 1907 itu juga mendirikan sebuah perguruan tinggi Islam yang menjadi kebanggan masyarakat Lumajang masa itu. Dengan semangatnya yang tinggi, Kiai Mahfudz mendirikan kampus Islam itu pada 1968 di bawah naungan Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Surabaya.

Dalam mendirikan IAIN Surabaya Cabang Lumajang, sang kiai disokong seorang besannya, yakni KH Amak Fadholi. Bermula dari audiensi yang dilakukan Kiai Amak kepada rektor IAIN Sunan Ampel Surabaya saat itu, Prof Ismail Ya’kub. Setelah berkonsultasi, Kiai Amak Fadholi dan Kiai Anas Mahfudz kemudian membentuk kepanitiaan yang bertugas mengurus berbagai keperluan administratif dan teknis untuk merintis cabang kampus tersebut di Lumajang.

Setelah semua persyaratan terpenuhi, panitia tersebut bertransformasi menjadi pengurus IAIN Surabaya Cabang Lumajang. Pendaftaran calon mahasiswa baru pun dibuka. Informasinya segera menyebar ke seluruh kabupaten tersebut dalam waktu cukup singkat.

Setelah kuota mencukupi, dibukalah perkuliahan untuk pertama kalinya. Lembaga itu saat itu baru mengadakan Fakultas Tarbiyah.Tempat kuliahnya pun meminjam ruangan di Gedung Muallimat NU, Jalan Kyai Ilyas, Lumajang.

Dalam perkembangan berikutnya, Fakultas Tarbiyah itu diubah menjadi Fakultas Syariah IAIN Sunan Ampel Cabang Lumajang. Keputusan itu berdasarkan pertimbangan para pengurus, keberadaan fakultas tarbiyah sudah cukup banyak di Jawa Timur.

Kiai Anas Mahfudz kemudian didaulat menjadi dekan Fakultas Syari’ah IAIN Sunan Ampel Cabang Lumajang pada 1970. Hingga lima tahun kemudian, pada 1975 Fakultas Syariah IAIN Sunan Ampel Cabang Lumajang dibubarkan.

 
Kiai Anas Mahfudz kemudian didaulat menjadi dekan Fakultas Syari’ah IAIN Sunan Ampel Cabang Lumajang pada 1970.
 
 

Cabang IAIN Sunan Ampel yang didirikan Kiai Anas Mahfudz bersama Kiai Amak Fadholi ini dibubarkan karena adanya kebijakan baru dari Kementerian Agama di bawah arahan Prof Mukti Ali. Cabang-cabang IAIN Sunan Ampel Surabaya yang dibatalkan saat itu tidak hanya di Lumajang, tetapi juga beberapa daerah lain.

Dengan sepak terjangnya di dunia pendidikan itu, KH Anas Mahfudz dikenal sebagai seorang ulama besar di Lumajang. Ia berperan penting dalam kemajuan bidang pendidikan Islam di sana terutama pada 1928-1984.

Peran Kiai Anas dalam memajukan kehidupan kaum Muslimin, khususnya di Lumajang, akan terus dikenang. Semangatnya dalam berorganisasi di NU juga selalu menjadi teladan generasi kini dan nanti. Visinya untuk mencetak kader-kader dai yang intelek sekaligus bermental tangguh juga seyogianya dilanjutkan saat ini.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat