Petugas berbincang dengan warga di Ruang Publik Terpadu Ramah Anak (RPTRA) Kenanga, Cideng, Gambir, Jakarta, Selasa (20/10). | Republika/Putra M. Akbar

Opini

Mencegah Kekerasan pada Anak

Pandemi Covid-19 menstimulasi tindak kekerasan terhadap anak, yang makin intens dan parah.

BAGONG SUYANTO, Guru Besar dan Dosen Sosiologi Anak di FISIP Universitas Airlangga

Dalam peristiwa apa pun, tak terkecuali pandemi Covid-19, anak selalu menjadi korban pertama yang paling menderita akibat perubahan yang terjadi.

Akibat ketidakberdayaannya, anak-anak biasanya tidak mampu melawan situasi yang menjejasnya. Terutama, ketika pelaku tindak kekerasan terhadap anak tersebut justru adalah orang-orang terdekat korban.

Kementerian Sosial (Kemensos) melaporkan kasus terkait anak dan kekerasan anak melonjak saat masa pandemi Covid-19 (Republika, 15 Oktober 2020). Kemensos mencatat, dalam tiga bulan terakhir kasus anak yang berhadapan dengan hukum meningkat tajam.

 
Kasus anak korban kejahatan seksual pada Juni tercatat sebanyak 1.433, melonjak menjadi 2.214 kasus pada Juli, dan Agustus tercatat sebanyak 2.489 kasus.
 
 

Pada Juni 2020, ada 3.555 kasus dan bertambah menjadi 4.928 kasus pada Juli. Selain anak yang berhadapan dengan hukum, yang naik cukup tinggi juga adalah kasus anak korban kejahatan seksual, perlakuan salah, dan penelantaran.

Kasus anak korban kejahatan seksual pada Juni tercatat sebanyak 1.433, melonjak menjadi 2.214 kasus pada Juli, dan Agustus tercatat sebanyak 2.489 kasus.

Sementara itu, kasus anak korban perlakuan salah dan penelantaran sebanyak 766 kasus pada Juni, naik 1.116 kasus pada Juli, dan Agustus bertambah menjadi 1.247 kasus. Total dari 17 jenis kasus anak yang ditangani pada Juni-Agustus 2020 mencapai 32.911 kasus.

Sejumlah faktor

Apakah peningkatan kasus tindak kekerasan terhadap anak itu karena dipicu pandemi Covid-19 atau tidak, tentu masih harus dikaji lebih mendalam.

Namun, kita bisa melihat bahwa angka kejadian anak yang menjadi korban tindak kekerasan lumayan naik tajam dalam tujuh bulan terakhir dibanding pada tahun lalu.

Ketika sekolah diliburkan dan sebagian besar orang tua terpaksa bekerja di rumah (work from home), diakui atau tidak, hal itu justru berisiko menempatkan anak dalam situasi yang sulit.

Berbeda dengan kondisi sebelumnya. Anak-anak biasanya menghabiskan waktu terbesarnya untuk belajar di sekolah. Tetapi, ketika pandemi Covid-19 makin meluas, anak-anak terpaksa belajar secara mandiri di rumah.

Bagi anak yang sudah menjelang dewasa, setingkat SMP atau SMA, misalnya, barangkali tidak terlalu menjadi masalah jika mereka harus belajar secara mandiri di rumah.

Namun, lain soal jika anak-anak itu masih duduk di bangku SD dan masih membutuhkan pendampingan orang tua dalam belajar. Ada sejumlah faktor yang ditengarai menyebabkan anak menjadi korban tindak kekerasan dan penelantaran selama pandemi Covid-19.

 
Banyak studi telah membuktikan, pandemi Covid-19 tidak hanya berdampak pada aspek kesehatan keluarga, tetapi juga kondisi kejiwaan masyarakat, baik orang tua maupun anak-anak.
 
 

Pertama, ketika orang tua tidak siap mendampingi anak-anak belajar di rumah, bukan tidak mungkin cara orang tua mendidik dan mendampingi anaknya belajar justru bersifat intimidatif, menekan, dan jauh dari suasana belajar yang menyenangkan.

Orang tua yang terbiasa bekerja di luar rumah dan tidak memiliki pengalaman mendampingi anak belajar, tentu tidak hanya kikuk, tetapi juga kemungkinan tidak memahami cara mendidik dan mendampingi anak yang benar dalam aktivitas belajar di rumah.

Kedua, orang tua tengah mengalami masalah selama masa pandemi Covid-19. Seperti diketahui, tidak sedikit orang tua akibat efek domino Covid-19 terpaksa harus kehilangan usaha dan pekerjaan, menjadi korban PHK dan lain-lain.

Kondisi tersebut menyebabkan orang tua harus menghadapi beban yang berat, terutama memastikan kelangsungan hidup keluarganya.

Banyak studi telah membuktikan, pandemi Covid-19 tidak hanya berdampak pada aspek kesehatan keluarga, tetapi juga kondisi kejiwaan masyarakat, baik orang tua maupun anak-anak.

Orang tua yang kehilangan pekerjaan, bukan tidak mungkin menjadi rawan stres dan mudah kehilangan kesabarannya, dalam mendampingi anak belajar di rumah.

Survei kesehatan jiwa yang dilakukan Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI) menyebutkan, 68 persen masyarakat yang melakukan swaperiksa mengalami gangguan kesehatan jiwa sejak Maret 2020. 

Ketiga, orang tua menjadi korban Covid-19 dan terpaksa menjalani isolasi mandiri ataupun pengobatan di rumah sakit. Tidak sedikit kasus memperlihatkan, pengasuhan anak menjadi terputus, terutama ketika orang tua terpapar Covid-19 dan harus menjalani isolasi atau bahkan meninggal dunia.

Menurut data, ada sekitar 800-an anak kini yang mengalami kesulitan dalam pengasuhan karena orang tuanya tengah diisolasi, tidak ada yang mengurus, atau bahkan meninggal dunia karena Covid-19.

Anak-anak yang kehilangan orang tuanya, baik sementara maupun permanen, tentu akan berpotensi menjadi korban penelantaran. Anak-anak yang kehilangan orang tuanya dan menjadi piatu atau yatim piatu, tentu kemungkinan proses tumbuh-kembangnya terganggu menjadi sangat besar.

Mencegah 

Untuk mencegah agar anak tidak menjadi korban tindak kekerasan, harus diakui bukan hal yang mudah. Di Indonesia, tindak kekerasan terhadap anak boleh dikata merupakan fenomena gunung es.

Tidak sedikit orang tua menyembunyikan tindak kekerasan yang mereka lakukan dari amatan publik, dan menganggap mendidik anak adalah hak dan urusan pribadi orang tua yang tidak perlu dicampuri orang lain.

Sebelum pandemi Covid-19 meluas, tindak kekerasan terhadap anak adalah kasus yang lazim terjadi, dalam skala yang berbeda antarkeluarga satu dan keluarga yang lain.

Anak-anak biasanya bukan hanya menjadi korban kekerasan verbal atau psikis, melainkan juga sebagian tidak jarang menjadi korban tindak kekerasan fisik. Situasi pandemi Covid-19 adalah faktor yang menstimulasi terjadinya tindak kekerasan terhadap anak, yang makin intens dan parah.

 
Semoga dengan pembentukan desk konseling yang berbasis pada pendekatan community support system, penderitaan anak korban tindak kekerasan selama pandemi Covid-9 akan dapat teratasi. 
 
 

Memastikan agar kasus kekerasan terhadap anak tidak makin melonjak, selain dibutuhkan intervensi program perlindungan dari pemerintah, yang tak kalah penting adalah bagaimana merevitalisasi peran berbagai lembaga sosial keagamaan, partisipasi kelompok sekunder di masyarakat, dan keterlibatan kelompok yang peduli hak dan perlindungan anak.

Kementerian Sosial saat ini dilaporkan telah membuka desk konseling bagi perempuan dan anak, yang menjadi korban tindak kekerasan dalam keluarga.

Di luar layanan desk konseling ini, ada baiknya jika berbagai potensi di tingkat lokal, seperti NU, Muhammadiyah, kelompok pengajian, pondok pesantren, lembaga gereja, ibu-ibu PKK, Dharma Wanita, Karang Taruna, PGRI, dan berbagai lembaga sosial-keagamaan lain adalah bagian dari jejaring yang perlu digandeng dalam meningkatkan layanan dan manfaat desk konseling.

Semoga dengan pembentukan desk konseling yang berbasis pada pendekatan community support system, penderitaan anak korban tindak kekerasan selama pandemi Covid-9 akan dapat teratasi. 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat